Sementara itu, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Papua dengan tegas menolak RUU draft RUU Penyiaran dikarenakan berpotensi menghilangkan kebebasan pers.
“Kami dengan tegas menolak RUU tersebut, sebab berpotensi menghilangkan kebebasan pers,” tegas Ketua PWI Hans Bisay, saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos, Rabu (15/5).
Memurut Hans, dalam draft RUU Penyiaran per Maret 2024, tertulis dalam Pasal 50B ayat 2 bahwa selain memuat panduan kelayakan isi siaran dan konten siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Dimana standar isi siaran (SIS) memuat larangan mengenai
Isi siaran dan konten siaran terkait narkotika, psikotropika, zat adiktif, alkohol, dan perjudian. Isi siaran dan konten siaran terkait rokok dan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
“Pada rancangan tersebut, sangat jelas larangan mengenai penanyangan ekslusif jurnalistik investigasi. Intinya RUU tersebut bertentangan dan menghambat hak Kemerdekaan pers sebagaimana diatur UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,” ujarnya.
“RUU Penyiaran kita tolak dengan tegas karena bila ditetapkan dan diberlakukan maka peran pers bakal dibatasi, dan kita kembali ke masa lalu dimana pers dan lembaganya dibatasi dan potensi pembredelan dan larangan penyiaran sangat terbuka,” sambungnya menegaskan.
Menurut Hans, kondisi ini bertentangan dengan UU Pers nomor 40 tahun 1999, pada Bab II asas, fungsi, kewajiban dan peranan pers. Dimana pasal 4 disitu disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
Sementara itu, Ketua IJTI Papua, Meirto Tangkepayung, menilai ada sejumlah pasal yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers. Sehingga itu, IJTI meminta DPR mengkaji ulang draf Revisi UU Penyiaran.
“IJTI menyayangkan draf revisi UU Penyiaran terkesan disusun secara tidak cermat dan berpotensi mengancam kemerdekaan pers telebih penyusunan tidak melibatkan berbagai pihak seperti organisasi profesi jurnalis atau komunitas pers.
“Dalam draf revisi UU Penyiaran, terdapat sejumlah pasal yang menjadi perhatian khusus bagi IJTI,” kata Meirto, dalam rilis yang dikirimnya kepada Cenderawasih Pos, Rabu (15/5).
Pertama, Pasal 50 B ayat 2 huruf c yang melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi. IJTI memandang pasal tersebut telah menimbulkan banyak tafsir dan membingungkan.
“Pertanyaan besarnya mengapa RUU ini melarang televisi menayangkan secara eksklusif karya jurnalsitik investigasi?,” tanya Nugi.
Menyikapi RUU Penyiaran, IJTI menyatakan sikap yakni menolak dan meminta sejumlah pasal dalam draf revisi RUU Penyiaran yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers dicabut. Termasuk meminta DPR mengkaji kembali draf revisi RUU Penyiaran dengan melibatkan semua pihak termasuk organisasi jurnalis serta publik.
Meminta kepada semua pihak untuk mengawal revisi RUU Penyiaran agar tidak menjadi alat untuk membungkam kemerdekaan pers serta kreativitas individu di berbagai platform. (fia/wen)
Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos
BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS https://www.myedisi.com/cenderawasihpos