Saturday, April 27, 2024
28.7 C
Jayapura

Polisi Libatkan TNI

Pasca Penetapan Lukas Enembe jadi Tersangka

*Karena Gubernur di Koya, Polsek Muara Tami Akan Mobile dan Pantau Perkembangan

JAYAPURA – Pasca penetapan tersangka yang diberikan KPK terhadap Gubernur Lukas Enembe ada kekhawatiran dari masyarakat terkait kelompok massa pendukung gubernur yang berkumpul dan menolak proses penetapan tersebut. Mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan, pihak kepolisian juga mulai memetakan dan mengantisipasi terjadinya hal – hal yang tak diinginkan.

“Kami sudah sampaikan kepada kelompok-kelompok massa ini agar jangan sampai mengganggu lingkungan dan justru membuat ketidaknyamanan bagi orang lain. Kami juga meningkatkan patroli  dan mencegah terjadinya hal – hal yang tak diinginkan,” kata Kapolresta Jayapura Kota, Kombes Pol Victor Mackbon melalui ponselnya, Kamis (15/9) kemarin.

Tak hanya patroli, kata mantan Kapolres Jayapura ini pihaknya juga telah berkoordinasi dengan  pihak Kodam XVII Cenderawasih, Korem 172/PWY dan Lantamal X untuk membackup jika situasi kurang bersahabat.

“Ya, kami sudah berkoordinasi dengan teman – teman TNI untuk membantu bila ada situasi yang memang harus ditangani lebih serius dan membutuhkan personil lebih,” jelas Mackbon.

Sementara disinggung soal basis massa pendukung Lukas Enembe, kata Mackbon massa pendukung ada di semua distrik namun saat ini posisi gubernur ada di  Koya, Distrik Muara Tami dan Kapolsek Muara Tami ditugaskan untuk mobile dan tetap memantau.

“Selain itu kami juga meminta dari para tokoh agar bisa menjaga keamanan masing-masing wilayahnya dan mari hormati proses hukum. Jika tidak  setuju bisa melalui instrumen hukum yang sudah disiapkan,” imbuhnya.

Sementara itu Tim Hukum Gubernur Papua menolak tawaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang siap memfasilitasi pengobatan kliennya, baik di dalam maupun luar negeri.

“Terima kasih kepada KPK yang mau memfasilitasi Pak Gubernur, tapi perlu saya ingatkan bahwa Bapak Gubernur sudah difasilitasi Pemda untuk pengobatan, jadi saya kira KPK tidak perlu berbaik hati karena semua fasilitasnya sudah dibiayai oleh APBD Provinsi Papua,” kata Tim Hukum Gubernur Papua Roy Rening kepada wartawan, Kamis (15/9) kemarin

Lanjut Roy, hal lain yang membuat Lukas Enembe menolak tawaran tersebut adalah karena ia menganggap penetapan status tersangka yang dilakukan KPK adalah bentuk kriminalisasi. Sebagaimana sudah ada tiga usaha kriminalisasi yang dilakukan aparat penegak hukum selama Lukas Enembe menjadi Gubernur Papua.

“Persoalan Gubernur Papua bukan persoalan kriminal murni, bukan persoalan korupsi tapi persoalan politik. Bahkan Gubernur sudah tiga kali mengalami kriminalisasi, yang pertama dana beasiswa 2017-2018 di Bareskrim Mabes Polri, kedua OTT yang gagal di Hotel Borobudur dan sekarang penetapan tersangka tanpa prosedur,” terangnya.

Baca Juga :  Masih Tunggu Jadwal Pendaftaran CPNS dari Kemenpan

Roy menyebut kliennya itu sudah memutuskan tidak akan berpergian selama kasus ini belum selesai, jangan sampai Pak Gubernur dijebak oleh oknum-oknum yang berkonspirasi ini.

Sebelumnya, KPK akan mengabulkan permintaan Gubernur Papua, Lukas Enembe untuk melakukan pengobatan. Namun, sebelum berobat, Gubernur harus menjadi tahanan KPK terlebih dahulu.

“Terkait izin sakit, kami sebenarnya bisa memfasilitasi yang bersangkutan, tapi, ya, itu tadi, statusnya harus jadi tahanan KPK,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (14/9) lalu.

Di tempat terpisah, salah satu praktisi hukum yang juga advokat, Thomas Ch. Syufi mengatakan pencekalan yang dilakukan oleh KPK  terhadap Gubernur Provinsi Papua Lukas Enembe (LE), untuk berobat ke luar negeri telah melanggar UUD 1945, pasal 28 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), juga tentang Deklarasi Universal HAM (DUHAM) 10 Desember 1948 yang menjadi lex superior derogat legi inferiori dimana undang undang yg lebih tinggi menyampingkan atau mengalahkan UU yang lebih rendah derajatnya.

Kata Thomas Ch. Syufi pada dasarnya keselamatan jiwa merupakan hukum tertinggi yang tidak bisa dibatasi atas dasar apapun. Walaupun warga negara itu melakukan pelanggaran hukum.

  Terpisah, Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua DR. A.G. Socratez Yoman mengungkapkan tiga kali Komisi Pembrantasan Korupsi (KPK) berusaha mengkriminalisasi Lukas Enembe Gubernur Papua. Upaya kriminalisasi Gubernur Papua Lukas Enembe murni tujuan atau agenda politik Tahun 2024, bukan persoalan hukum.

Kelihatannya ada partai politik lain di Indonesia merasa tidak nyaman dan tidak percaya diri untuk memasuki proses politik pada Tahun 2024 di Provinsi Papua.

Selama ini ada yang melihat, mengamati dan merasakan, bahwa keberadaan Lukas Enembe Gubernur Papua menjadi ancaman dan hambatan bagi partai politik lain untuk menuju orang nomor satu provinsi Papua.

Cara untuk merobohkan benteng yang kuat Gubernur Papua dan juga Ketua DPD Demokrat Provinsi Papua, Lukas Enembe tidak ada jalan lain, maka KPK dipakai oleh partai politik tertentu untuk kriminalisasi Lukas Enembe Gubernur Papua.

“Pada Rabu, 14 September, saya bertemu dengan Gubernur Papua, bapak Lukas Enembe di kediamannya di Koya Timur dan beliau sampaikan kepada saya, Pak Yoman masalah sekarang sudah jelas. Ini bukan masalah hukum, tapi ini masalah politik. Pak Budi Gunawan Kepala BIN dan PDIP menggunakan KPK kriminalisasi saya. Pak Yoman harus tulis artikel supaya semua orang harus tahu kejahatan ini. Lembaga Negara kok bisa menjadi alat partai politik tertentu,”ungkapnya melalui rilis yang diterima Cenderawasih Pos, Kamis (15/9)

Baca Juga :  Arko Jago Melacak Narkotika dan Bahan Peledak

Menurutnya ini domainnya para politisi yang selalu saling menjatuhkan satu dengan lain dengan berbagai bentuk cara demi mencapai tujuan dan misi politik. Tetapi, kalau benar, PDIP dan Budi Gunawan Ketua BIN ikut berperan “mengkompori” Lembaga Negara seperti KPK untuk kriminalisasi Lukas Enembe Gubernur Papua, berarti Indonesia hidup tanpa hukum dan hukum sedang dihancurkan.

Menurutnya ada tiga kali KPK berusaha untuk kriminalisasi Lukas Enembe Gubernur Papua, yakni pertama, pada 2 Februari 2017 lalu KPK kalah karena niat kriminalisasi Gubernur Papua gagal. Kedua, pada 2 Februari 2018 di Hotel Borobudur Jakarta. Upaya KPK untuk OTT terhadap Gubernur Enembe Gagal total, sebaliknya 2 orang staf KPK ditangkap dan diserahkan kepada Polda Metro Jaya.

Ketiga adalah September 2022. KPK tanpa memeriksa (klarifikasi) terhadap Gubernur Papua tiba-tiba umumkan Gubernur Papua sebagai Tersangka.

“Rakyat Papua dan rakyat Indonesia, kita tunggu usaha-usaha kriminalisasi berikut dari KPK karena tiga kali usaha kriminalisasi sudah terbuka ke publik,”tegasnya.

Ia menilai  KPK menetapkan Lukas Enembe Gubernur Papua sebagai tersangka tanpa diminta keterangan. Hukum apa yang dipakai KPK? apakah ada undang-undang bahwa seseorang ditetapkan sebagai tersangka sebelum diperiksa dan diminta keterangan.

Ia juga mengatakan saat berkunjung kerumah Gubernur Papua Lukas Enembe Gubernur dan Istri Gubernur Yulce W. Enembe menyaampaikan kepadanya bahwa rekening mereka diblokir dan sudah memasuki tiga bulan. Pemblokiran itu tanpa memberitahukan kepada keluarga Gubernur sebagai pemilik rekening sehingga membuat keluarga tidak bisa berbuat apa-apa.

Pada kesempatan itu Gubernur Papua juga menyampaikan tentang uang Rp 1 miliar kepada Socratez Yoman, dimana pada bulan Maret 2019, Gubernur berangkat ke Jakarta pada malam hari karena kesehatannya  semakin buruk. Pada waktu itu lockdown karena Covid-19. Waktu berangkat, Gubernur menyiimpan uang di kamar Rp1 milyar. Setelah tiga bulan di Jakarta, pada bulan Mei 2019, Gubernur menelepon Tono yang biasa menata rumah dan halaman.

“Saya minta Tono ke kamar saya dan ambil uang di kamar nilai Rp 1 milyar. Saya minta Tono kirim lewat rekening BCA. Itu uang saya, bukan uang hasil korupsi. KPK ini sembarang saja. Itulah yang diungkapkan Bapak Gubernur Kepada Saya”ungkap Socratez Yoman.

  Yoman menilai apa yang dilakukan KPK ini murni persoalan politik bukan persoalan hukum. KPK telah menjadi media atau sarana politik untuk partai politik PDIP.  (ade/fia/rel/oel/wen)

Pasca Penetapan Lukas Enembe jadi Tersangka

*Karena Gubernur di Koya, Polsek Muara Tami Akan Mobile dan Pantau Perkembangan

JAYAPURA – Pasca penetapan tersangka yang diberikan KPK terhadap Gubernur Lukas Enembe ada kekhawatiran dari masyarakat terkait kelompok massa pendukung gubernur yang berkumpul dan menolak proses penetapan tersebut. Mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan, pihak kepolisian juga mulai memetakan dan mengantisipasi terjadinya hal – hal yang tak diinginkan.

“Kami sudah sampaikan kepada kelompok-kelompok massa ini agar jangan sampai mengganggu lingkungan dan justru membuat ketidaknyamanan bagi orang lain. Kami juga meningkatkan patroli  dan mencegah terjadinya hal – hal yang tak diinginkan,” kata Kapolresta Jayapura Kota, Kombes Pol Victor Mackbon melalui ponselnya, Kamis (15/9) kemarin.

Tak hanya patroli, kata mantan Kapolres Jayapura ini pihaknya juga telah berkoordinasi dengan  pihak Kodam XVII Cenderawasih, Korem 172/PWY dan Lantamal X untuk membackup jika situasi kurang bersahabat.

“Ya, kami sudah berkoordinasi dengan teman – teman TNI untuk membantu bila ada situasi yang memang harus ditangani lebih serius dan membutuhkan personil lebih,” jelas Mackbon.

Sementara disinggung soal basis massa pendukung Lukas Enembe, kata Mackbon massa pendukung ada di semua distrik namun saat ini posisi gubernur ada di  Koya, Distrik Muara Tami dan Kapolsek Muara Tami ditugaskan untuk mobile dan tetap memantau.

“Selain itu kami juga meminta dari para tokoh agar bisa menjaga keamanan masing-masing wilayahnya dan mari hormati proses hukum. Jika tidak  setuju bisa melalui instrumen hukum yang sudah disiapkan,” imbuhnya.

Sementara itu Tim Hukum Gubernur Papua menolak tawaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang siap memfasilitasi pengobatan kliennya, baik di dalam maupun luar negeri.

“Terima kasih kepada KPK yang mau memfasilitasi Pak Gubernur, tapi perlu saya ingatkan bahwa Bapak Gubernur sudah difasilitasi Pemda untuk pengobatan, jadi saya kira KPK tidak perlu berbaik hati karena semua fasilitasnya sudah dibiayai oleh APBD Provinsi Papua,” kata Tim Hukum Gubernur Papua Roy Rening kepada wartawan, Kamis (15/9) kemarin

Lanjut Roy, hal lain yang membuat Lukas Enembe menolak tawaran tersebut adalah karena ia menganggap penetapan status tersangka yang dilakukan KPK adalah bentuk kriminalisasi. Sebagaimana sudah ada tiga usaha kriminalisasi yang dilakukan aparat penegak hukum selama Lukas Enembe menjadi Gubernur Papua.

“Persoalan Gubernur Papua bukan persoalan kriminal murni, bukan persoalan korupsi tapi persoalan politik. Bahkan Gubernur sudah tiga kali mengalami kriminalisasi, yang pertama dana beasiswa 2017-2018 di Bareskrim Mabes Polri, kedua OTT yang gagal di Hotel Borobudur dan sekarang penetapan tersangka tanpa prosedur,” terangnya.

Baca Juga :  Dramatis, Tim Sepak Bola Papua Lolos ke PON

Roy menyebut kliennya itu sudah memutuskan tidak akan berpergian selama kasus ini belum selesai, jangan sampai Pak Gubernur dijebak oleh oknum-oknum yang berkonspirasi ini.

Sebelumnya, KPK akan mengabulkan permintaan Gubernur Papua, Lukas Enembe untuk melakukan pengobatan. Namun, sebelum berobat, Gubernur harus menjadi tahanan KPK terlebih dahulu.

“Terkait izin sakit, kami sebenarnya bisa memfasilitasi yang bersangkutan, tapi, ya, itu tadi, statusnya harus jadi tahanan KPK,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (14/9) lalu.

Di tempat terpisah, salah satu praktisi hukum yang juga advokat, Thomas Ch. Syufi mengatakan pencekalan yang dilakukan oleh KPK  terhadap Gubernur Provinsi Papua Lukas Enembe (LE), untuk berobat ke luar negeri telah melanggar UUD 1945, pasal 28 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), juga tentang Deklarasi Universal HAM (DUHAM) 10 Desember 1948 yang menjadi lex superior derogat legi inferiori dimana undang undang yg lebih tinggi menyampingkan atau mengalahkan UU yang lebih rendah derajatnya.

Kata Thomas Ch. Syufi pada dasarnya keselamatan jiwa merupakan hukum tertinggi yang tidak bisa dibatasi atas dasar apapun. Walaupun warga negara itu melakukan pelanggaran hukum.

  Terpisah, Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua DR. A.G. Socratez Yoman mengungkapkan tiga kali Komisi Pembrantasan Korupsi (KPK) berusaha mengkriminalisasi Lukas Enembe Gubernur Papua. Upaya kriminalisasi Gubernur Papua Lukas Enembe murni tujuan atau agenda politik Tahun 2024, bukan persoalan hukum.

Kelihatannya ada partai politik lain di Indonesia merasa tidak nyaman dan tidak percaya diri untuk memasuki proses politik pada Tahun 2024 di Provinsi Papua.

Selama ini ada yang melihat, mengamati dan merasakan, bahwa keberadaan Lukas Enembe Gubernur Papua menjadi ancaman dan hambatan bagi partai politik lain untuk menuju orang nomor satu provinsi Papua.

Cara untuk merobohkan benteng yang kuat Gubernur Papua dan juga Ketua DPD Demokrat Provinsi Papua, Lukas Enembe tidak ada jalan lain, maka KPK dipakai oleh partai politik tertentu untuk kriminalisasi Lukas Enembe Gubernur Papua.

“Pada Rabu, 14 September, saya bertemu dengan Gubernur Papua, bapak Lukas Enembe di kediamannya di Koya Timur dan beliau sampaikan kepada saya, Pak Yoman masalah sekarang sudah jelas. Ini bukan masalah hukum, tapi ini masalah politik. Pak Budi Gunawan Kepala BIN dan PDIP menggunakan KPK kriminalisasi saya. Pak Yoman harus tulis artikel supaya semua orang harus tahu kejahatan ini. Lembaga Negara kok bisa menjadi alat partai politik tertentu,”ungkapnya melalui rilis yang diterima Cenderawasih Pos, Kamis (15/9)

Baca Juga :  10.333 Anggota Polda Papua dan Keluarga Terdaftar JKN-KIS 

Menurutnya ini domainnya para politisi yang selalu saling menjatuhkan satu dengan lain dengan berbagai bentuk cara demi mencapai tujuan dan misi politik. Tetapi, kalau benar, PDIP dan Budi Gunawan Ketua BIN ikut berperan “mengkompori” Lembaga Negara seperti KPK untuk kriminalisasi Lukas Enembe Gubernur Papua, berarti Indonesia hidup tanpa hukum dan hukum sedang dihancurkan.

Menurutnya ada tiga kali KPK berusaha untuk kriminalisasi Lukas Enembe Gubernur Papua, yakni pertama, pada 2 Februari 2017 lalu KPK kalah karena niat kriminalisasi Gubernur Papua gagal. Kedua, pada 2 Februari 2018 di Hotel Borobudur Jakarta. Upaya KPK untuk OTT terhadap Gubernur Enembe Gagal total, sebaliknya 2 orang staf KPK ditangkap dan diserahkan kepada Polda Metro Jaya.

Ketiga adalah September 2022. KPK tanpa memeriksa (klarifikasi) terhadap Gubernur Papua tiba-tiba umumkan Gubernur Papua sebagai Tersangka.

“Rakyat Papua dan rakyat Indonesia, kita tunggu usaha-usaha kriminalisasi berikut dari KPK karena tiga kali usaha kriminalisasi sudah terbuka ke publik,”tegasnya.

Ia menilai  KPK menetapkan Lukas Enembe Gubernur Papua sebagai tersangka tanpa diminta keterangan. Hukum apa yang dipakai KPK? apakah ada undang-undang bahwa seseorang ditetapkan sebagai tersangka sebelum diperiksa dan diminta keterangan.

Ia juga mengatakan saat berkunjung kerumah Gubernur Papua Lukas Enembe Gubernur dan Istri Gubernur Yulce W. Enembe menyaampaikan kepadanya bahwa rekening mereka diblokir dan sudah memasuki tiga bulan. Pemblokiran itu tanpa memberitahukan kepada keluarga Gubernur sebagai pemilik rekening sehingga membuat keluarga tidak bisa berbuat apa-apa.

Pada kesempatan itu Gubernur Papua juga menyampaikan tentang uang Rp 1 miliar kepada Socratez Yoman, dimana pada bulan Maret 2019, Gubernur berangkat ke Jakarta pada malam hari karena kesehatannya  semakin buruk. Pada waktu itu lockdown karena Covid-19. Waktu berangkat, Gubernur menyiimpan uang di kamar Rp1 milyar. Setelah tiga bulan di Jakarta, pada bulan Mei 2019, Gubernur menelepon Tono yang biasa menata rumah dan halaman.

“Saya minta Tono ke kamar saya dan ambil uang di kamar nilai Rp 1 milyar. Saya minta Tono kirim lewat rekening BCA. Itu uang saya, bukan uang hasil korupsi. KPK ini sembarang saja. Itulah yang diungkapkan Bapak Gubernur Kepada Saya”ungkap Socratez Yoman.

  Yoman menilai apa yang dilakukan KPK ini murni persoalan politik bukan persoalan hukum. KPK telah menjadi media atau sarana politik untuk partai politik PDIP.  (ade/fia/rel/oel/wen)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya