JAYAPURA–Kasus dugaan penganiayaan yang mengakibatkan meninggalnya satu warga Kampung Kabupaten Mappi bernama Bruno Kimko mulai dilirik Komnas HAM Papua.
Hari ini (Jumat,16/9) sebanyak tiga penyidik dan dua anggota Komnas HAM lainnya akan bertolak ke Merauke untuk selanjutnya menuju Mappi guna menelusuri kasus tersebut.
Bruno Kimko tewas dengan dugaan penyiksaan yang melibatkan oknum prajurit TNI Satgas Yonif Raider 600/Modang yang ngepos di Bade Kampung Mememu, Distrik Edera, Kabupaten Mappi.
Korban tewas dengan sejumlah luka di bagian punggung. Tak hanya itu, informasi lain menyebut korban tak hanya 1 melainkan 3 orang namun 2 lainnya yang salah satunya bernama Nobertus Kanggun mengalami luka parah.
“Kami besok (hari ini) akan bertolak ke Mappi untuk menelusuri kasus tersebut. Kami sudah berkoordinasi dengan Pangdam dan seluruh perangkatnya dan diberi respon positif untuk kasus ini. Intinya pihak TNI tak mau menutup nutupi kasusnya dan ingin semua dibuka transparan,” kata Kepala Kantor Komnas HAM Papua, Frits Ramandey melalui ponselnya, Kamis kemarin.
Frits melihat seperti ada fenomena kekerasan yang melibatkan aparat keamanan. Yang pertama kasus mutilasi di Timika dan beberapa hari kemudian ada penyiksaan di Mappi. Para korban tewas.
Dan kata Frits untuk wilayah selatan sejatinya bukan kali ini saja kasus pembunuhan yang dilakukan oknum aparat TNI. “Sebelumnya ada 5 orang korban di Fayit tahun 2018 dimana 3 orang meninggal dunia, 1 cacat permanen karena tangannya putus akibat tembakan dan 1 orang lainnya mengalami trauma dan kali ini kembali terjadi,” beber Frits.
Ia menegaskan untuk kasus Bade harus diindaklanjuti apakah tindakan para pelaku ini sesuai kewenangan atau melampaui kewenangan dari satuan TNI sebab kata mantan wartawan ini TNI seharusnya mengayomi dan memiliki standart dalam tindakan.
Pihaknya menduga ada tindakan di luar kontrol yang mengakibatkan korban meninggal. Komnas HAM juga telah mengantongi sejumlah keterangan maupun aspirasi yang disampaikan pihak keluarga meski dirinya melihat ada tekanan yang dirasa oleh pihak keluarga pasca kasus ini.
“Saya berpendapat bahwa masih banyak masyarakat yang trauma. Di Papua jika membaca catatan komnas HAM saat Daerah Operasi Militer (DOM) berlaku, banyak pelanggaran yang dilakukan oknum TNI sehingga banyak masyarakat di kampung yang masih menyimpan trauma,” singgung Frits.
Pada kasus di Mappi kata Frits ketika membaca laporan publik yang dipublikasi, ia melihat ada rangkaian kekerasan yang dilakukan. Lalu meski ada upaya perdamaian, ini tidak serta merta menggugurkan tindakan yang dilalukan apalagi jumlah pelaku disebut ada 18 orang. Komnas HAM sendiri akan menemui pihak korban lebih dulu kemudian mengkronfontir ke pihak para pelaku.
“Yang jelas kasus ini juga mendapat atensi dari pimpinan negeri, Kemarin pak Presiden maupun Panglima TNI juga sudah berbicara dan memberi catatan kasus ini sedangkan untuk kasus Timika ini telah diperbincangkan dalam dunia internasional dan para kedutaan,” tambah Frits.
Disinggung soal kasus kekerasan oknum aparat yang mulai sering terjadi kata Frits ini menunjukkan bahwa aparat mulai secara brutal melakukan tindakan penyiksaan, aniaya, pembunuhan di luar proses hukum.
“Saya pikir satus penugasan juga perlu dipertanyakan termasuk proses rekrutmen. Jangan – jangan prosesnya salah. Lalu mekanisme di satuan tugas jika ada persoalan di tengah masyarakat juga perlu dilihat, tidak bisa pukul rata,” tutupnya.
Sekedar diketahui kasus penganiayaan disertai penyiksaan ini awalnya terjadi cek-cok antara korban dengan seorang wanita bernama Aurelia. Wanita ini kemudian melapor ke pos TNI dan pada 30 Agustus lalu berdasar laporan wanita ini aparat TNI kemudian merespon.
Menurut informasi dari pihak keluarga, penyiksaan terjadi dari pagi hingga pukul 22.00 WIT yang akhirnya satu korban bernama Bruno tewas. Saat dibawa ke rumah sakit di bagian punggungnya terdapat banyak luka. (ade/wen)