JAYAPURA – Tak dapat dipungkiri satu penyebab lahirnya konflik horisontal di Papua adalah soal batas wilayah. Banyak contoh kasus terjadinya perang suku atau pertikaian yang dikarenakan sikap saling klaim antar dua kelompok. Kondisi ini dikatakan masih berpotensi terus terjadi selama tak ada data konkrit yang menerangkan secara tertulis dan legal terkait peta satu kawasan dan kepemilikan.
Nah ironisnya lagi kebanyakan batas wilayah ini hanya diketahui secara turun temurun oleh orang tua yang disampaikan kepada anak cucu. Selain itu tak ada tapal batas yang betul – betul bisa digunakan sebagai penanda. Biasanya hanya menggunakan tanda yang disediakan alam seperti kali, sungai, batu, pohon maupun bukit dimana jika terjadi pergeseran maka pengakuan terkait titik batas bisa juga ikut berubah. Kantor Badan Pertanahan sendiri tidak tinggal diam mengingat ada prinsip yang dipegang yakni setiap jengkal tanah sebisa mungkin diketahui siapa pemiliknya dan dilengkapi dengan surat yang sah.
Hanya diakui untuk melakukan penataan bukanlah hal yang mudah mengingat kebanyakan hanya mengklaim. Selain itu hal klasik lainnya adalah persoalan jual di atas jual. Ini yang akhirnya melahirkan persoalan yang berujung keributan bahkan gugatan hukum. Satu dampak lainnya adalah investor atau pemodal enggan untuk menanamkan modal usahanya karena persoalan sengketa kepemilikan lokasi tersebut. Terkait ini, Kepala Kantor Pertahanan Kota Jayapura, Keliopas Fenitiruma S.Sit, M.H menyampaikan bahwa Pedasus terkait tanah ulayat sejatinya sudah ada sejak 2008 lalu.
Hanya sayangnya hingga kini penerapan atau pengaplikasiannya di lapangan masih jauh dari harapan. Perdasus Nomor 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah Adat belum banyak memberi manfaat padahal semakin lama tak terpetakan sementara pembangunan tak bisa ditahan maka potensi konflik tetap terbuka. “Prinsip kami adalah setiap jengkal tanah ini harus bisa disertifikat. Harus ketahuan siapa yang punya. Hanya saja untuk memetakan semua itu tidak mudah. Selain itu harus didukung dengan anggaran juga.
Keliopas mencontohkan soal sengketa tanah di Teluk Yotefa antara dua suku, dari Engros dan Nafri dan sempat terjadi keributan hingga Kapolda juga turun tangan. Menurutnya agak sedikit aneh jika adat melawan adat kemudian dibawa ke peradilan negara sebab ada struktur peradilan yang memang terpisah terkecuali melahirkan sebuah Perda dan Perda tersebut melahirkan aturan hukum positif atas penetapan sebuah wilayah adat kemudian dijadikan gugatan di pengadilan maka itu bisa diproses. “Tapi kalau adat dengan adat sebaiknya lembaga adat yang difungsikan. Mungkin MRP bisa membantu,” paparnya.
Ia mencontohkan pernah ada yang datang menyampaikan soal lokasi tanah adat yang dimiliki dan meminta BPN memfasilitasi dan setelah dicek ternyata tanah tersebut sudah bersertifikat. Nah kalau yang begini dimediasi kemudian tak menemukan kalimat sepakat disarankan untuk lanjut ke pengadilan. Ia menyebut bahwa BPN tetap serius menuntaskan proses sertifikasi lokasi termasuk yang berkaitan dengan pemetaan tanah adat. Hanya saja memulai untuk memetakan ini mudah akan tetapi untuk menjadikan sebuah proses pemetaan itu yang kadang ada kendala.
Keliopas sendiri mendengar soal Perdasus yang sudah ada sejak tahun 2008 namun hingga sekarang dirinya belum mendengar soal lokasi yang sudah dipetakan. “Saya sendiri tidak tahu datanya seperti apa padahal aturannya sudah ada sejak 2008. Harusnya sudah ada yang diterapkan atau dipecahkan dari lahirnya Perdasus ini,” tambahnya. Keliopas menaruh harap pemerintah Kota Jayapura dan Provinis Papua mulai memetakan tanah ulayat sehingga ada investor yang mau masuk dan membangun ia sudah tahu siapa pemiliknya.
“Ini yang penting jadi pemodal atau investor yang mau menanamkan modalnya sebelum usaha itu ia paham lokasi tersebut milik siapa dan akan berurusan dengan siapa dalam lokasi tadi. Ini menyangkut jaminan kepastian, jangan investor masuk ternyata ada ribut – ribut,” singgungnya. Ia mencontohkan soal lokasi di Stadion Lukas Enembe yang sudah mau dipakai tetapi masih juga ada pemalangan. “Jadi kami sendiri sudah memberitahuan terkait pentingnya pemetaan wilayah adat ini bahkan wakil menteri sudah 2 kali ke Jayapura dan menyampaikan tapi belum juga ada tindak lanjut hingga 5 kali pergantian Kakanwil ternyata persoalan lokasi ulayat masih begini – begini saja. Selalu menimbulkan polemic berkepanjangan bahkan konflik horizontal,” sindirnya.
Secara moril kata Keliopas harusnya Perdasus ini ter break down ke bawah sebab jika kasus tanah tidak terpecahkan maka akan ada saling klaim. Aturan main tadi sepatutnya diaplikasikan di lapangan dengan berbagai persoalan yang ada untuk menghindari terjadinya konflik tadi. “Kami juga berpesan bahwa jika memiliki tanah itu sebaiknya dijaga atau segera dikelola. Minimal dipatok dan ada aktifitas sebab jika ditinggal pergi bertahun – tahun inilah yang berpotensi diserobot dan akhirnya muncul sertipikat di atas sertipikat dimana pastinya ada pihak yang dirugikan,” imbuhnya. (ade/luc)