Pada bagian lain di tanah air, dari pertambangan serupa di Morowali, Sulawesi, Maluku, hingga konflik agraria di Sumatera Utara antara pelaku industri dan komunitas adat menjadi bukti bagaimana industri berkarakter ekstraktif kerap kali mengorbankan hak-hak masyarakat adat dan menciptakan ketegangan sosial yang berlarut. Belum lagi persoalan aktivitas penanaman monokultur tanaman industri dan penebangan hutan yang telah mengancam biodiversitas alam. Kasus-kasus ini menjadi potret nyata betapa industri ekstraktif di Indonesia belum ramah lingkungan dan memenuhi visi pemeliharaan alam berkelanjutan.
Apa yang terjadi akhir-akhir ini memperlihatkan praktik-praktik eksploitasi sumber daya atas nama hilirisasi, namun berlangsung secara destruktif, tanpa visi pemulihan, penciptaan keadilan, dan pertimbangan moral-spiritualitas ekologis. Bukan hanya di Raja Ampat dan Danau Toba, praktik-praktik serupa juga kita ketahui terjadi di Teluk Weda, Halmahera (pertambangan nikel), di Pulau Kei Besar, Maluku Tenggara (pertambangan pasir dan batu), di Morowali, Sulawesi Tengah (pertambangan nikel), di Pulau Sangihe, Sulawesi Utara (pertambangan emas), di Kepulauan Bangka Belitung (pertambangan timah), di Pulau Buru, Maluku (pertambangan emas), dan di daerah-daerah lain di tanah air.
“Dalam hal spiritualitas ekologis, PGI menegaskan bahwa alam adalah ciptaan Allah yang sakral, tempat di mana Allah turut berdiam bersama dengan manusia dan segala ciptaan. Karenanya, umat manusia dipanggil untuk mengusahakan dan memelihara alam secara bertanggung jawab dan berkelanjutan (bdk. Kejadian 2:15), alih-alih mengeksploitasi dalam nafsu kerakusan,” ungkapnya.
PGI menentang teologi antroposentris tentang alam. Manusia bukan pusat dan pemilik mutlak alam, tetapi merupakan bagian dari alam yang adalah rumah bersama dengan makhluk hidup lainnya. Dalam rumah itu, manusia harus berbagi kehidupan dengan makhluk lain dalam keseimbangan ekologis. ” Itulah nilai kehidupan yang juga diwariskan para pendahulu kita melalui kearifan lokal masyarakat adat.
Kehidupan manusia bergantung pada keberlanjutan alam dan ekosistemnya. Manusia bukan tuan atas alam, melainkan sahabat penatalayan (steward), yang wajib merawat dan mendukung keseimbangan ekologis demi keberlangsungan hidup semua makhluk di bumi,” ujarnya.