Saturday, April 27, 2024
31.7 C
Jayapura

Young: Propaganda Aktifis Papua Merdeka Justru Gagal

Marinus Yaung ( FOTO: Dokumen)

Soal Kunjungan Presiden Jokowi ke Australia

JAYAPURA-Adanya pemberitaan yang menyebut bahwa Presiden Joko Widodo dalam agendanya ke Australia pada Minggu (9/2) dipermalukan oleh parlemen Australia dan dianggap gagal dalam membangun hubungan diplomasi dua negara ditanggapi oleh  pengamat sosial politik Universitas Cenderawasih, Marinus Yaung. 

Marinus Yaung berpendapat bahwa ada salah kaprah yang ditangkap oleh media-media yang memberitakan isu tersebut. Akademisi Fisip Uncen ini menyebut bahwa berita yang menyebut Jokowi dipermalukan ini ditulis oleh media massa yang tak paham soal keberhasilan dalam diplomasi internasional. 

Menurutnya seorang kepala negara dipermalukan dalam diplomasi internasional itu ketika ia tiba di sebuah negara dan ia tak disambut secara kenegaraan. “Apakah ini terjadi? Tidak. Pak Jokowi disambut dengan upacara kenegaraan, oleh  Gubernur Jenderal Australia. Lalu yang kedua, bila dipermalukan,   bentuknya bisa seperti ketika berbicara di parlemen Australia tiba-tiba kelompok opisisi seperti Partai Green mengibarkan bintang kejora sekaligus bendera merah putih di depan presiden.  Ini baru bisa dibilang dipermalukan di parlemen Australia secara diplomasi,” beber melalui ponselnya, Kamis (13/2). 

 Ia balik mempertanyakan apa itu semua terjadi?  Yang terjadi menurutnya justru presiden mendapat standing aplaus yang luar biasa dari parlemen usai menyampaikan pidatonya. Parlemen bahkan berterimakasih  kepada Indonesia karena TNI ikut diturunkan dalam pemadaman kebakaran hutan beberapa waktu kemarin. “Standing aplaus juga terjadi  sehingga apa yang dibilang dipermalukan?,” sindirnya. 

Baca Juga :  Terperangkap di Kamar, Pelajar Tewas Terbakar

Hal lainnya, seorang kepala negara bisa disebut dipermalukan jika setelah kunjungan presiden ini kemudian parlemen kembali mengundang Benny Wenda dan Veronika Koman seperti yang dilakukan kepada Presiden Jokowi. 

 “Nah ini jika itu dilakukan maka itu sebuah penghinaan. Tapi kita lihat nanti seperti apa. Jika tidak maka yang terjadi justru keberhasilan diplomasi dan kegagalan propaganda isu Papua merdeka yang dilancarkan oleh aktifis Papua merdeka dan Veronika Koman di sana. Kalau mereka kemarin berhasil maka tentunya perjanjian yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi dan Perdana Menteri Scott Morrison tidak akan terjadi,” bebernya. 

Apalagi dikatakan perjanjian ini merupakan kerja sama ekonomi Indonesia dan Australia dan terbilang kesepakatan bilateral tertinggi dalam diplomasi dua negara. “Jadi saya hanya meluruskan pemahaman yang muncul bahwa yang terjadi justru  Presiden Jokowi berhasil dalam diplomasinya,” pungkasnya. 

Frits Ramandey ( FOTO: Gratianus Silas/Cepos)

Sementara itu, cuitan Veronica Koman di akun twitternya yang menyebutkan telah berhasil menyerahkan dokumen-dokumen masalah HAM di Papua kepada Presiden Jokowi saat berada di Australia, menurut Kepala Perwakilan Komnas HAM Papua, Frits Ramandey, hal itu merupakan kepedulian Veronika Koman sebagai warga negara Indonesia terhadap penyelesaian kasus-kasus HAM, terutama di Papua, oleh pemerintah Indonesia, harus diapresiasi sebagai kontrol sosial. 

Baca Juga :  RSUD Abepura Masih Tangani 3 Ibu Hamil Positif Covid

“Yang terpenting ialah tanggung jawab negara. Pasalnya, kalau kita memperbaiki situasi hukum, mengupayakan penegakkan HAM, kita tidak bisa mengabaikan instrumen nasional, walaupun kita terikat dalam instrumen internasional,” terang Frits Ramandey kepada Cenderawasih Pos, Rabu (12/2) kemarin.

Menurut Ramandey, tugas pemerintah, termasuk lembaga negara, Menkopolhukam, Kepolisian, Komnas HAM, serta pembantu presiden lainnya, untuk dapat melakukan verifikasi terhadap persoalan HAM, serta pula proses hukum yang sedang berlangsung.

“Itu yang paling penting, dalam hal ini proses hukum dan penegakkan HAM di Indonesia, di mana ada keprihatinan dari Veronica sebagai warga negara Indonesia terhadap situasi hukum dan HAM yang harus diapresiasi sebagai kontrol sosial,” pungkasnya. (ade/gr/nat)

Marinus Yaung ( FOTO: Dokumen)

Soal Kunjungan Presiden Jokowi ke Australia

JAYAPURA-Adanya pemberitaan yang menyebut bahwa Presiden Joko Widodo dalam agendanya ke Australia pada Minggu (9/2) dipermalukan oleh parlemen Australia dan dianggap gagal dalam membangun hubungan diplomasi dua negara ditanggapi oleh  pengamat sosial politik Universitas Cenderawasih, Marinus Yaung. 

Marinus Yaung berpendapat bahwa ada salah kaprah yang ditangkap oleh media-media yang memberitakan isu tersebut. Akademisi Fisip Uncen ini menyebut bahwa berita yang menyebut Jokowi dipermalukan ini ditulis oleh media massa yang tak paham soal keberhasilan dalam diplomasi internasional. 

Menurutnya seorang kepala negara dipermalukan dalam diplomasi internasional itu ketika ia tiba di sebuah negara dan ia tak disambut secara kenegaraan. “Apakah ini terjadi? Tidak. Pak Jokowi disambut dengan upacara kenegaraan, oleh  Gubernur Jenderal Australia. Lalu yang kedua, bila dipermalukan,   bentuknya bisa seperti ketika berbicara di parlemen Australia tiba-tiba kelompok opisisi seperti Partai Green mengibarkan bintang kejora sekaligus bendera merah putih di depan presiden.  Ini baru bisa dibilang dipermalukan di parlemen Australia secara diplomasi,” beber melalui ponselnya, Kamis (13/2). 

 Ia balik mempertanyakan apa itu semua terjadi?  Yang terjadi menurutnya justru presiden mendapat standing aplaus yang luar biasa dari parlemen usai menyampaikan pidatonya. Parlemen bahkan berterimakasih  kepada Indonesia karena TNI ikut diturunkan dalam pemadaman kebakaran hutan beberapa waktu kemarin. “Standing aplaus juga terjadi  sehingga apa yang dibilang dipermalukan?,” sindirnya. 

Baca Juga :  RSUD Abepura Masih Tangani 3 Ibu Hamil Positif Covid

Hal lainnya, seorang kepala negara bisa disebut dipermalukan jika setelah kunjungan presiden ini kemudian parlemen kembali mengundang Benny Wenda dan Veronika Koman seperti yang dilakukan kepada Presiden Jokowi. 

 “Nah ini jika itu dilakukan maka itu sebuah penghinaan. Tapi kita lihat nanti seperti apa. Jika tidak maka yang terjadi justru keberhasilan diplomasi dan kegagalan propaganda isu Papua merdeka yang dilancarkan oleh aktifis Papua merdeka dan Veronika Koman di sana. Kalau mereka kemarin berhasil maka tentunya perjanjian yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi dan Perdana Menteri Scott Morrison tidak akan terjadi,” bebernya. 

Apalagi dikatakan perjanjian ini merupakan kerja sama ekonomi Indonesia dan Australia dan terbilang kesepakatan bilateral tertinggi dalam diplomasi dua negara. “Jadi saya hanya meluruskan pemahaman yang muncul bahwa yang terjadi justru  Presiden Jokowi berhasil dalam diplomasinya,” pungkasnya. 

Frits Ramandey ( FOTO: Gratianus Silas/Cepos)

Sementara itu, cuitan Veronica Koman di akun twitternya yang menyebutkan telah berhasil menyerahkan dokumen-dokumen masalah HAM di Papua kepada Presiden Jokowi saat berada di Australia, menurut Kepala Perwakilan Komnas HAM Papua, Frits Ramandey, hal itu merupakan kepedulian Veronika Koman sebagai warga negara Indonesia terhadap penyelesaian kasus-kasus HAM, terutama di Papua, oleh pemerintah Indonesia, harus diapresiasi sebagai kontrol sosial. 

Baca Juga :  Lukas Enembe Pastikan Hadir di Sidang Perdana

“Yang terpenting ialah tanggung jawab negara. Pasalnya, kalau kita memperbaiki situasi hukum, mengupayakan penegakkan HAM, kita tidak bisa mengabaikan instrumen nasional, walaupun kita terikat dalam instrumen internasional,” terang Frits Ramandey kepada Cenderawasih Pos, Rabu (12/2) kemarin.

Menurut Ramandey, tugas pemerintah, termasuk lembaga negara, Menkopolhukam, Kepolisian, Komnas HAM, serta pembantu presiden lainnya, untuk dapat melakukan verifikasi terhadap persoalan HAM, serta pula proses hukum yang sedang berlangsung.

“Itu yang paling penting, dalam hal ini proses hukum dan penegakkan HAM di Indonesia, di mana ada keprihatinan dari Veronica sebagai warga negara Indonesia terhadap situasi hukum dan HAM yang harus diapresiasi sebagai kontrol sosial,” pungkasnya. (ade/gr/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya