Sunday, April 28, 2024
27.7 C
Jayapura

Diselesaikan Secara Kekeluargaan

Kasus Dugaan Pelecehan Seksual Terhadap 4 Anak

JAYAPURA-Sempat hebohkan publik, kasus persetubuhan anak dibawah umur yang diduga dilakukan oknum pejabat di lingkungan Pemprov Papua terhadap empat siswi di salah satu sekolah di Kota Jayapura akhirnya diselesaikan secara kekeluargaan.

Pihak keluargapun dalam hal ini pelapor telah mencabut surat pengaduan yang sebelumnya sempat diadukan di Mapolda Papua pada Agustus lalu.

Dalam surat pencabutan pengaduan, pelapor menyatakan bahwa masalah dugaan persetubuhan terhadap 4 anak dibawah umur yang dilaporkan pada tanggal 25 Agustus 2021 akan  diselesaikan secara kekeluargaan. 

Oleh karena itu, sejak surat yang disampaikan tersebut dikeluarkan, pihaknya meminta surat pengaduan dari pihak keluarga korban  dicabut.

Sementara itu, dalam rilis yang diterima Cenderawasih Pos, pelapor mewakili keluarga korban dan juga korban dengan mempertimbangkan berbagai dinamika yang berkembang selama mendorong masalah ini sampai dengan puncaknya.

“Ketika kami memutuskan mengikuti permintaan penyelesaian secara kekeluargaan, maka masalah hukum terkait dugaan persetubuhan terhadap empat anak dibawah umur yang mentersangkakan beberapa orang telah diselesaikan melalui mekanisme kekeluargaan dengan hukum adat. Dengan demikian perkara asusila tersebut telah selesai,” ungkap pelapor melalui rilisnya yang diterima Cenderawasih Pos, Senin (11/10).

Disinggung alasan mencabut kasus ini dan memilih diselesaikan secara kekeluargaan, pelapor menyampaikan terlalu banyak alasan dan ia tak bisa menyebutnya satu persatu.

 “Terlalu banyak, saya tidak bisa sebut satu persatu alasannya. Tapi intinya semua aspek menjadi pertimbangan kami memilih mengikuti permintaan jalur kekeluargaan,” tulisnya kepada Cenderawasih Pos.

Baca Juga :  Wali Kota Ingatkan Momentum Desember

Secara terpisah Direktur LBH Apik Jayapura, Nur Aida Duwila menyayangkan kasus pelecehan seksual berujung dengan penyelesaian secara kekeluargaan. Hal ini tidak akan memberikan efek jera kepada terduga pelaku.

“Jika setiap kasus pelecehan seksual diselesaikan secara kekeluargaan, itu tidak memberikan efek jera kepada pelaku. Pelaku justru menganggap apa yang dilakukan merupakan hal yang biasa tanpa rasa bertanggung jawab. Tidak ada efek jera jika perbuatan pelaku tidak pernah ada konsekuansi hukuman yang diberikan kepada dia,” tegas Duwila kepada Cenderawasih Pos.

Menurut Duwila, Polisi sebenarnya masih punya kewajiban untuk tetap memproses hukum kasus ini kendati terjadi perdamaian antara korban dan pelaku. Hanya saja yang menjadi persoalan adalah, jika korban sendiri sudah tidak mau lagi memproses hukum pelaku.

“Perempuan yang ada di Papua punya kewajiban bersama mendorong semua kasus kasus pelecehan seksual agar diproses hukum, jangan  pernah terbersit dalam pikiran mereka untuk membantu pelaku,” tegas Nona.

Dikatakan Nona, dalam kasus kekerasan seksual dengan korban adalah anak dibawah umur  bukan kategori dilik aduan, melainkan pidana murni harus ada ancaman hukuman bagi pelakunya.

“Kalau memang ada penyelesaian secara kekelurgaan yang perlu dipikirkan bagaimana pemulihan psikososialnya korban. Psikososial bukan hanya psikologi anak, tetapi bagaimana masyarakat dan lingkungan sekitar menilai mereka. Para korban akan dianggap sebagai anak yang nakal, padahal kalau proses hukum berjalan ada pemulihan nama baik terhadap korban, setidaknya kedepannya para korban punya pertanggungjawaban terhadap tubuh mereka sendiri bukannya orang lain melecehkan mereka,” tuturnya. 

Baca Juga :  PN Jayapura Eksekusi Hotel Mutiara

Nona tak habis pikir dalam kasus ini setelah korban mendapatkan pelecehan masalah dianggap selesai. Ini justru tak memberikan efek jera bagi pelaku. “Jangan sampai ada bahasa ‘ini suatu kebiasan kami’ hal seperti ini tidak pantas diucapkan, tidak pantas ada kalimat seperti ini,” tegasnya.

Nona juga mengingatkan, dalam kasus pelecehan seksual jangan pernah menyalahkan orang tua korban karena kurang menjaga anak mareka.

“Semua orang terutama orang terdekat korban punya kewajiban melindungi anak, bukan hanya ibunya sebab ini aturan hukum yang bicara. Kita punya kewajiban untuk melindungi anak anak, jangan anak dipersalahkan. Dalam kasus ini, seakan korban yang disalahkan,” tegas Nona.

Sebelumnya, terjadi kasus dugaan pemerkosaan dan pelecehan seksual yang dialami empat korban terjadi di dua tempat yang berbeda di Kota Jayapura dan Jakarta. Dengan waktu April dan Juli tahun 2021.

Dalam kasus ini,  korban rata-rata berusia 16 tahun salah satunya mengalami pelecehan atau persetubuhan yang diduga dilakukan oknum pejabat di lingkungan Pemprov Papua. Sementara korban lainnya mengalami intimidasi, teror bahkan sempat dipukul.

Ketika korban membawa kasus ini ke Polda Papua, sempat ada ancaman teror melalui via whatsApp, SMS dan telfon dari pihak pelaku. Mereka meminta masalah ini diselesaikan secara kekeluargaan. (tim)

Kasus Dugaan Pelecehan Seksual Terhadap 4 Anak

JAYAPURA-Sempat hebohkan publik, kasus persetubuhan anak dibawah umur yang diduga dilakukan oknum pejabat di lingkungan Pemprov Papua terhadap empat siswi di salah satu sekolah di Kota Jayapura akhirnya diselesaikan secara kekeluargaan.

Pihak keluargapun dalam hal ini pelapor telah mencabut surat pengaduan yang sebelumnya sempat diadukan di Mapolda Papua pada Agustus lalu.

Dalam surat pencabutan pengaduan, pelapor menyatakan bahwa masalah dugaan persetubuhan terhadap 4 anak dibawah umur yang dilaporkan pada tanggal 25 Agustus 2021 akan  diselesaikan secara kekeluargaan. 

Oleh karena itu, sejak surat yang disampaikan tersebut dikeluarkan, pihaknya meminta surat pengaduan dari pihak keluarga korban  dicabut.

Sementara itu, dalam rilis yang diterima Cenderawasih Pos, pelapor mewakili keluarga korban dan juga korban dengan mempertimbangkan berbagai dinamika yang berkembang selama mendorong masalah ini sampai dengan puncaknya.

“Ketika kami memutuskan mengikuti permintaan penyelesaian secara kekeluargaan, maka masalah hukum terkait dugaan persetubuhan terhadap empat anak dibawah umur yang mentersangkakan beberapa orang telah diselesaikan melalui mekanisme kekeluargaan dengan hukum adat. Dengan demikian perkara asusila tersebut telah selesai,” ungkap pelapor melalui rilisnya yang diterima Cenderawasih Pos, Senin (11/10).

Disinggung alasan mencabut kasus ini dan memilih diselesaikan secara kekeluargaan, pelapor menyampaikan terlalu banyak alasan dan ia tak bisa menyebutnya satu persatu.

 “Terlalu banyak, saya tidak bisa sebut satu persatu alasannya. Tapi intinya semua aspek menjadi pertimbangan kami memilih mengikuti permintaan jalur kekeluargaan,” tulisnya kepada Cenderawasih Pos.

Baca Juga :  1000 Personil Disiapkan Jika Eskalasi Meningkat

Secara terpisah Direktur LBH Apik Jayapura, Nur Aida Duwila menyayangkan kasus pelecehan seksual berujung dengan penyelesaian secara kekeluargaan. Hal ini tidak akan memberikan efek jera kepada terduga pelaku.

“Jika setiap kasus pelecehan seksual diselesaikan secara kekeluargaan, itu tidak memberikan efek jera kepada pelaku. Pelaku justru menganggap apa yang dilakukan merupakan hal yang biasa tanpa rasa bertanggung jawab. Tidak ada efek jera jika perbuatan pelaku tidak pernah ada konsekuansi hukuman yang diberikan kepada dia,” tegas Duwila kepada Cenderawasih Pos.

Menurut Duwila, Polisi sebenarnya masih punya kewajiban untuk tetap memproses hukum kasus ini kendati terjadi perdamaian antara korban dan pelaku. Hanya saja yang menjadi persoalan adalah, jika korban sendiri sudah tidak mau lagi memproses hukum pelaku.

“Perempuan yang ada di Papua punya kewajiban bersama mendorong semua kasus kasus pelecehan seksual agar diproses hukum, jangan  pernah terbersit dalam pikiran mereka untuk membantu pelaku,” tegas Nona.

Dikatakan Nona, dalam kasus kekerasan seksual dengan korban adalah anak dibawah umur  bukan kategori dilik aduan, melainkan pidana murni harus ada ancaman hukuman bagi pelakunya.

“Kalau memang ada penyelesaian secara kekelurgaan yang perlu dipikirkan bagaimana pemulihan psikososialnya korban. Psikososial bukan hanya psikologi anak, tetapi bagaimana masyarakat dan lingkungan sekitar menilai mereka. Para korban akan dianggap sebagai anak yang nakal, padahal kalau proses hukum berjalan ada pemulihan nama baik terhadap korban, setidaknya kedepannya para korban punya pertanggungjawaban terhadap tubuh mereka sendiri bukannya orang lain melecehkan mereka,” tuturnya. 

Baca Juga :  PN Jayapura Eksekusi Hotel Mutiara

Nona tak habis pikir dalam kasus ini setelah korban mendapatkan pelecehan masalah dianggap selesai. Ini justru tak memberikan efek jera bagi pelaku. “Jangan sampai ada bahasa ‘ini suatu kebiasan kami’ hal seperti ini tidak pantas diucapkan, tidak pantas ada kalimat seperti ini,” tegasnya.

Nona juga mengingatkan, dalam kasus pelecehan seksual jangan pernah menyalahkan orang tua korban karena kurang menjaga anak mareka.

“Semua orang terutama orang terdekat korban punya kewajiban melindungi anak, bukan hanya ibunya sebab ini aturan hukum yang bicara. Kita punya kewajiban untuk melindungi anak anak, jangan anak dipersalahkan. Dalam kasus ini, seakan korban yang disalahkan,” tegas Nona.

Sebelumnya, terjadi kasus dugaan pemerkosaan dan pelecehan seksual yang dialami empat korban terjadi di dua tempat yang berbeda di Kota Jayapura dan Jakarta. Dengan waktu April dan Juli tahun 2021.

Dalam kasus ini,  korban rata-rata berusia 16 tahun salah satunya mengalami pelecehan atau persetubuhan yang diduga dilakukan oknum pejabat di lingkungan Pemprov Papua. Sementara korban lainnya mengalami intimidasi, teror bahkan sempat dipukul.

Ketika korban membawa kasus ini ke Polda Papua, sempat ada ancaman teror melalui via whatsApp, SMS dan telfon dari pihak pelaku. Mereka meminta masalah ini diselesaikan secara kekeluargaan. (tim)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya