Saturday, April 20, 2024
24.7 C
Jayapura

Coret Angka Kematian Dari Evaluasi Pandemi Covid-19 Disoal

Rekor Tertinggi 35.628 Kasus Kematian Dalam Sebulan

JAKARTA, Jawa Pos – Rencana pemerintah mencoret angka kematian karena Covid-19 dalam evaluasi penanganan pandemi menuai sorotan. Sebab langkah pemerintah ini dinilai diambil tanpa dasar kajian ilmiah.

Sorotan terhadap rencana pemerintah itu disampaikan anggota Komisi IX DPR (membidangi kesehatan) Netty Prasetiyani Aher. Menurut dia, angka kematian adalah indikator penting dan harus dihitung dalam penanganan pandemi Covid-19. ’’Pastikan setiap kebijakan harus ada landasan ilmiahnya. Jangan asal gampangnya saja,’’ katanya kemarin (11/8).

Netty mempertanyakan standar yang digunakan pemerintah ketika mengeluarkan angka kematian dari indikator penanganan Covid-19. Jika alasannya karena data kematian menyebabkan distorsi, maka proses input dan sistemnya harus dibenahi. Jika ada masalah data, dia yakin bukan hanya pada angka kematian, tapi statistik data juga perlu dipertanyakan.

Angka kematian, kata Netty, dapat memberi gambaran tingkat keparahan pandemi di suatu daerah dan bagaimana sistem kesehatan merespon kondisi tersebut . Justru berbahaya, jika data kematian dikeluarkan dari indikator, karena dapat melenakan para pengambil kebijakan. “Seolah kondisi aman dan terkendali, padahal mengandung bom yang siap meledak,” ungkapnya.

Menurut Netty, kebijakan dikeluarkannya angka kematian dari indikator penanganan Covid-19 harus menjadi kode keras bagi pemerintah agar mengembalikan penanganan pandemi kepada pihak atau lembaga kredibel.

Politisi PKS itu menegaskan bahwa leading sector penanganan pendemi adalah Kemenkes dan Satgas Covid-19. Jangan serahkan urusan bencana kesehatan kepada pihak atau lembaga yang bukan bidangnya.

Netty meminta agar pemerintah tidak membuat kebijakan pandemi yang tidak berdasar. Penanganan pandemi menyangkut keselamatan ratusan juta rakyat. Jika salah dalam membuat kebijakan, taruhannya adalah nyawa rakyat. “Tolong selipkan jiwa welas asih, empati dan kasih sayang dalam memutuskan setiap kebijakan,” tegasnya.

Rencana pemerintah menghapus angka kematian dalam evaluasia penanganan pandemi Covid-19 disampaikan Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Pertimbangan pemerintah karena adanya kesalahan dalam memasukkan data kematian di sejumlah kabupaten atau kota. Adanya kesalahan memasukkan data kematian itu, mengganggu penilaian evaluasi PPKM.

Baca Juga :  Indonesia Disebut Telah Mengakui Keberadaan Negara Federal

Idealnya ketika ada kesalahan dalam memasukkan data kematian, sistem memasukkan data kematian tersebut diperbaiki. Sehingga tidak terjadi kesalahan input data lagi. Tetapi ini pemerintah justru menghapus data kematian dalam evaluasi penanganan Covid-19.

LaporCovid-19 mendesak agar pemerintah tidak mengabaikan data kematian sebagai indikator evaluasi pemberlakukan PPKM.Analis Data LaporCovid-19 Said Fariz Hibban menyatakan data perlu diketahui warga agar tidak abai risiko. “Pemerintah wajib membenahi teknis pendataan, serta memasukan data kematian probabel, bukan menghilangkannya,” ungkapnya.

Dia menegaskan data kematian tidak patut dihilangkan. Sikap pemerintah inkpatut dipertanyakan. “Sebab, data kematian adalah indikator yang sangat penting untuk melihat seberapa efektif penanganan pandemi Covid-19 yang telah dilakukan pemerintah,” beber Said.

Data kematian yang tidak akurat, menurutnya, seharusnya tidak menjadi alasan bagi pemerintah untuk mengabaikan data tersebut. Said menekankan pemerintah seharusnya berupaya memperbaiki data tersebut agar benar-benar akurat. “Apalagi, data kematian yang selama ini diumumkan oleh pemerintah pun sebenarnya belum cukup untuk menggambarkan betapa besarnya dampak pandemi Covid-19,” ujarnya.

Menurit pantauan LaporCovid19 jumlah kematian yang diumumkan pemerintah pusat ternyata masih jauh lebih sedikit dibanding data yang dilaporkan pemerintah daerah. Ada lebih dari 19.000 kematian akibat Covid-19 yang dilaporkan pemda namun tidak dicatat pemerintah pusat. “Pemerintah juga seharusnya mempublikasikan jumlah warga yang meninggal dengan status probable agar masyarakat memahami secara lebih akurat dampak pandemi yang terjadi,” ungkapnya. .

Di sisi lain, jumlah kematian yang terjadi di luar rumah sakit belum tercatat secara baik dalam sistem pencatatan milik pemerintah. Padahal, berdasar data yang dikumpulkan tim LaporCovid19, banyak warga yang meninggal saat menjalani isolasi mandiri di rumah atau tempat lain. Sejak awal Juni hingga 7 Agustus 2021, tim LaporCovid19 mencatat sedikitnya 3.007 warga meninggal di luar rumah sakit. “Jumlah kematian yang sesungguhnya bisa jadi jauh lebih banyak karena data itu baru berasal dari 108 kota/kabupaten di 25 provinsi,” tuturnya.

Baca Juga :  Masyarakat dan Keluarga Korban  Minta Presiden Pulangkan TNI dari Rumah Mereka

Sementara itu dari BNPB sendiri masih melakukan analisis data kematian dalam penanganan pandemi Covid-19. Seperti dalam paparan yang disampaikan Ketua Bidang Data dan IT Satgas Penanganan Covid-19 Dewi Nur Aisyah dalam peluncuran Program Keluarga Tangguh Inisiatif Zakat Indonesia (IZI) di Jakarta kemarin (11/8).

Dalam paparannya kasus kematian tertinggi Covid-19 terjadi pada Juli 2021 lalu sebanyak 35.629 kasus. Angka ini naik sekitar 255 kali lipat dibandingkan data Maret 2021 atau bulan pertama Covid-19 melanda Indonesia. Pada Maret tahun lalu angka kematian Covid-19 di Indonesia tercatat ada 136 kasus.

Dewi mengatakan puncak kasus Covid-19 terjadi pada 24 Juli lalu. Pada saat itu ada 574 kasus aktif. Angka ini tiga kali lipat dari kasus aktif periode sebelumnya. ’’Sekarang sudah turun 23 persen dari puncak yang terjadi di akhir Juli 2021 lalu,’’ tuturnya. Dia menjelaskan jumlah kasus aktif itu menunjukkan jumlah orang yang sedang sakit. Baik itu yang butuh penanganan di RS, isolasi mandiri, maupun karantina terpusat.

Dia menambahkan di Juli ini kasus melandai. Tetapi kasus kematian justru meningkat. Setelah dilakukan analisa, kebanyakan kasus kematian karena keterlambatan penanganan di RS. Kebanyakan kasus meninggal adalah gejala berat dan kritis serta meninggal saat berada di ruangan IGD.

’’Ini artinya pasien tersebut datang dalam kondisi parah,’’ tuturnya. Untuk itu isolasi mandiri harus tetap dalam pemantauan dokter. Sehingga tidak lagi ada kasus pasien kritis dibawa ke RS. Saat itu banyak pasien dengan saturasi oksigen sudah di bawah 80 persen dilarikan ke RS kemudian tidak tertolong. (wan/lum/lyn/mia)

Rekor Tertinggi 35.628 Kasus Kematian Dalam Sebulan

JAKARTA, Jawa Pos – Rencana pemerintah mencoret angka kematian karena Covid-19 dalam evaluasi penanganan pandemi menuai sorotan. Sebab langkah pemerintah ini dinilai diambil tanpa dasar kajian ilmiah.

Sorotan terhadap rencana pemerintah itu disampaikan anggota Komisi IX DPR (membidangi kesehatan) Netty Prasetiyani Aher. Menurut dia, angka kematian adalah indikator penting dan harus dihitung dalam penanganan pandemi Covid-19. ’’Pastikan setiap kebijakan harus ada landasan ilmiahnya. Jangan asal gampangnya saja,’’ katanya kemarin (11/8).

Netty mempertanyakan standar yang digunakan pemerintah ketika mengeluarkan angka kematian dari indikator penanganan Covid-19. Jika alasannya karena data kematian menyebabkan distorsi, maka proses input dan sistemnya harus dibenahi. Jika ada masalah data, dia yakin bukan hanya pada angka kematian, tapi statistik data juga perlu dipertanyakan.

Angka kematian, kata Netty, dapat memberi gambaran tingkat keparahan pandemi di suatu daerah dan bagaimana sistem kesehatan merespon kondisi tersebut . Justru berbahaya, jika data kematian dikeluarkan dari indikator, karena dapat melenakan para pengambil kebijakan. “Seolah kondisi aman dan terkendali, padahal mengandung bom yang siap meledak,” ungkapnya.

Menurut Netty, kebijakan dikeluarkannya angka kematian dari indikator penanganan Covid-19 harus menjadi kode keras bagi pemerintah agar mengembalikan penanganan pandemi kepada pihak atau lembaga kredibel.

Politisi PKS itu menegaskan bahwa leading sector penanganan pendemi adalah Kemenkes dan Satgas Covid-19. Jangan serahkan urusan bencana kesehatan kepada pihak atau lembaga yang bukan bidangnya.

Netty meminta agar pemerintah tidak membuat kebijakan pandemi yang tidak berdasar. Penanganan pandemi menyangkut keselamatan ratusan juta rakyat. Jika salah dalam membuat kebijakan, taruhannya adalah nyawa rakyat. “Tolong selipkan jiwa welas asih, empati dan kasih sayang dalam memutuskan setiap kebijakan,” tegasnya.

Rencana pemerintah menghapus angka kematian dalam evaluasia penanganan pandemi Covid-19 disampaikan Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Pertimbangan pemerintah karena adanya kesalahan dalam memasukkan data kematian di sejumlah kabupaten atau kota. Adanya kesalahan memasukkan data kematian itu, mengganggu penilaian evaluasi PPKM.

Baca Juga :  TPNPB-OPM Dinilai Mulai Frustasi

Idealnya ketika ada kesalahan dalam memasukkan data kematian, sistem memasukkan data kematian tersebut diperbaiki. Sehingga tidak terjadi kesalahan input data lagi. Tetapi ini pemerintah justru menghapus data kematian dalam evaluasi penanganan Covid-19.

LaporCovid-19 mendesak agar pemerintah tidak mengabaikan data kematian sebagai indikator evaluasi pemberlakukan PPKM.Analis Data LaporCovid-19 Said Fariz Hibban menyatakan data perlu diketahui warga agar tidak abai risiko. “Pemerintah wajib membenahi teknis pendataan, serta memasukan data kematian probabel, bukan menghilangkannya,” ungkapnya.

Dia menegaskan data kematian tidak patut dihilangkan. Sikap pemerintah inkpatut dipertanyakan. “Sebab, data kematian adalah indikator yang sangat penting untuk melihat seberapa efektif penanganan pandemi Covid-19 yang telah dilakukan pemerintah,” beber Said.

Data kematian yang tidak akurat, menurutnya, seharusnya tidak menjadi alasan bagi pemerintah untuk mengabaikan data tersebut. Said menekankan pemerintah seharusnya berupaya memperbaiki data tersebut agar benar-benar akurat. “Apalagi, data kematian yang selama ini diumumkan oleh pemerintah pun sebenarnya belum cukup untuk menggambarkan betapa besarnya dampak pandemi Covid-19,” ujarnya.

Menurit pantauan LaporCovid19 jumlah kematian yang diumumkan pemerintah pusat ternyata masih jauh lebih sedikit dibanding data yang dilaporkan pemerintah daerah. Ada lebih dari 19.000 kematian akibat Covid-19 yang dilaporkan pemda namun tidak dicatat pemerintah pusat. “Pemerintah juga seharusnya mempublikasikan jumlah warga yang meninggal dengan status probable agar masyarakat memahami secara lebih akurat dampak pandemi yang terjadi,” ungkapnya. .

Di sisi lain, jumlah kematian yang terjadi di luar rumah sakit belum tercatat secara baik dalam sistem pencatatan milik pemerintah. Padahal, berdasar data yang dikumpulkan tim LaporCovid19, banyak warga yang meninggal saat menjalani isolasi mandiri di rumah atau tempat lain. Sejak awal Juni hingga 7 Agustus 2021, tim LaporCovid19 mencatat sedikitnya 3.007 warga meninggal di luar rumah sakit. “Jumlah kematian yang sesungguhnya bisa jadi jauh lebih banyak karena data itu baru berasal dari 108 kota/kabupaten di 25 provinsi,” tuturnya.

Baca Juga :  Nekat Habisi Mantan Istri Lantaran Ajakan Rujuk Ditolak

Sementara itu dari BNPB sendiri masih melakukan analisis data kematian dalam penanganan pandemi Covid-19. Seperti dalam paparan yang disampaikan Ketua Bidang Data dan IT Satgas Penanganan Covid-19 Dewi Nur Aisyah dalam peluncuran Program Keluarga Tangguh Inisiatif Zakat Indonesia (IZI) di Jakarta kemarin (11/8).

Dalam paparannya kasus kematian tertinggi Covid-19 terjadi pada Juli 2021 lalu sebanyak 35.629 kasus. Angka ini naik sekitar 255 kali lipat dibandingkan data Maret 2021 atau bulan pertama Covid-19 melanda Indonesia. Pada Maret tahun lalu angka kematian Covid-19 di Indonesia tercatat ada 136 kasus.

Dewi mengatakan puncak kasus Covid-19 terjadi pada 24 Juli lalu. Pada saat itu ada 574 kasus aktif. Angka ini tiga kali lipat dari kasus aktif periode sebelumnya. ’’Sekarang sudah turun 23 persen dari puncak yang terjadi di akhir Juli 2021 lalu,’’ tuturnya. Dia menjelaskan jumlah kasus aktif itu menunjukkan jumlah orang yang sedang sakit. Baik itu yang butuh penanganan di RS, isolasi mandiri, maupun karantina terpusat.

Dia menambahkan di Juli ini kasus melandai. Tetapi kasus kematian justru meningkat. Setelah dilakukan analisa, kebanyakan kasus kematian karena keterlambatan penanganan di RS. Kebanyakan kasus meninggal adalah gejala berat dan kritis serta meninggal saat berada di ruangan IGD.

’’Ini artinya pasien tersebut datang dalam kondisi parah,’’ tuturnya. Untuk itu isolasi mandiri harus tetap dalam pemantauan dokter. Sehingga tidak lagi ada kasus pasien kritis dibawa ke RS. Saat itu banyak pasien dengan saturasi oksigen sudah di bawah 80 persen dilarikan ke RS kemudian tidak tertolong. (wan/lum/lyn/mia)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya