JAYAPURA-Kontak tembak yang terjadi di Kabupaten Nduga berujung pada tewasnya seorang pelajar SMA diketahui bernama Parinus Lokbere (16), sampai juga di telinga Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (Pembela Ham) Theo Hesegem.
Jauh hari sebelumnya, Theo sudah mengimbau kepada aparat TNI-Polri dan OPM untuk tidak menganggu warga sipil dalam kontak senjata yang dilakukan. Mengingat sejak Maret 2022 lalu, terjadi penyerangan yang dilakukan TPNPB dan OPM terhadap Pos-pos TNI yang berada di Kabupaten Nduga.
“Sipil di daerah konflik harus menjalani kehidupan mereka tanpa harus mengalami tindakan kekerasan konflik bersenjata. Namun rupanya bukan seperti itu yang diharapkan. Sipil kerap kali menjadi korban dari kontak senjata yang dilakukan TNI-Polri dan OPM,” terang Theo saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos, Senin (11/4).
Tewasnya pelajar 16 tahun dianggap Theo sebagai dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oknum aparat terhadap masyarakat sipil di Nduga. Dimungkinkan menurut Theo, anak yang ditembak tersebut diklaim bagian dari kelompok TPNPB atau OPM. Namun, semua itu mestinya dibuktikan dengan pembuktian yang kuat.
“Saya pikir anggota melakukan penembakan secara semena-mena. Kita sadar itu juga bagian dari emosional mungkin dikarenakan anggota sedang emosi lantaran sebelumnya pos mereka diserang KKB. Tetapi kelompok yang melakukan penyerangan bukan masyarakat sipil, melainkan dari OPM. Harusnya target aparat, OPM atau TPNPB, kenapa masyarakat sipil dijadikan target,” sesalnya.
Menurut Theo, aparat sudah salah bertindak. Aparat keluar jalur lantaran menembak masyarakat sipil. “Saya pikir ini bagian dari menghilangkan emosi aparat yang mungkin karena mereka merasa berturut-turut menjadi korban, dan karena mereka juga diserang sehingga itu bagian dari emosional,” terangnya.
Semestinya lanjut Theo, aparat yang ada di lapangan tindakannya harus terukur, bukan tindakan semena-mena. Aparat harus menggunakan SOP yang berlaku.
“Anggota sudah jelas-jelas melakukam pelanggaran HAM, karena anak sekolah yang ditembak yang tidak tahu menahu masalah penembakan sebelumnya. Ini masuk dalam kategori dugaan pelanggaran HAM,” tegasnya.
Dikatakan Theo, anak yang tewas ditembak kehilangan hak-haknya untuk berpendidikan. Haknya dibatasi dengan tindakan penembakan dan orang tuanya juga merasa rugi.
“Menurut saya, masyarakat sipil apalagi anak sekolah jangan diganggu dalam kondisi perang sekalipun. Anggota harus melakukan penembakan terukur,” pintanya.
Tindakan ini menurut Theo, semakin jauh harapan pengungsi Nduga yang ada di Jayawijaya dan beberapa kabupaten lainnya untuk kembali ke kampung mereka sendiri di Nduga. Padahal, rencana pemerintah ingin memulangkan mereka ke kampungnya di Nduga yang sejak lama ditinggal pergi.
“Anak sekolah yang ditembak membuat anak sekolah Nduga lainnya mengalami trauma, terlebih mereka sudah merasakan peristiwa 2018 lalu. Pendidikan sudah sulit dibuat trauma lagi dengan penembakan terhadap pelajar,” ucap Theo.
Theo mengaku dari beberapa warga Nduga yang berhasil ia mintai keterangan, masyarakat Nduga mengaku diselimuti rasa trauma sejak tanggal 22 Maret hingga saat ini. Hal ini diperparah lagi dengan anggota DPRD dan Pemda yang tidak berada di tempat.
Secara terpisah, Ketua Departemen Pemuda Nduga Gereja Kingmi, Pdt Sipe Kelmea mengaku kontak senjata yang masih terjadi di Kabupaten Nduga saat ini berpotensi pada pengungsi Nduga yang ada di Wamena semakin takut untuk kembali ke Nduga.
Padahal menurut Pdt Sipe, warga Nduga sudah merindukan kampung halamnnya yang ditinggal pergi sejak tahun 2018 lalu. “Harapan kami dalam doa, pengungsi Nduga yang ada di beberapa kabupaten di Papua harus kembali ke Nduga,” harapnya.
Menurut Pdt Sipe, Nduga akan aman tanpa adanya kontak senjata jika pasukan non organik yang ada di Kabuaten Nduga ditarik. Lalu membiarkan pasukan organik yang sudah biasa hidup dengan masyarakat setempat.
“TNI-Polri non organik yang ada di tingkat distrik ditarik, supaya pengungsi bisa kembali. Sudah menjelang lima tahun nasib pengungsi Nduga terkatung katung dengan konflik di Nduga yang masih terjadi,” ucapnya.
Ia juga mengingatkan TNI dan OPM agar tidak boleh masuk dalam kota Kenyam atau distrik yang menjadi pemukiman warga untuk melakukan kontak senjata. Namun mencari tempat tempat tertentu untuk melakukan kontak senjata. Dalam artian, tidak melakukan kontak senjata di pemukiman warga.
“Kami minta TNI-Polri dan OPM tidak lagi melakukan kontak senjata, supaya masyarakat bebas berkebun, bebas masuk kantor dan bisa melayani di gereja,” tegasnya. (fia/nat)