JAYAPURA-Adanya surat edaran Kementerian Kesehatan Republik Indonesia terkait harga standar rapid tes yang ditetapkan sebesar Rp 150 ribu untuk satu alat tersebut dianggap belum layak untuk diterapkan di Papua.
Tingkat perekonomian masyarakat Papua yang masih terbilang rendah sehingga kurang tepat jika pemerintah kembali membebankan pembayaran tes rapid ini kepada masyarakat. Disamping itu penduduk Papua tidak sebanyak penduduk diluar sehingga yang dibutuhkan juga masih bisa terjangkau.

Hal ini sebagaimana disampaikan Wakil Ketua II DPR Papua, Yulianus Rumboirussy yang melihat bahwa untuk Papua sebaiknya jangan dulu diberlakukan tarif. Mengingat pemahaman masyarakat soal kesehatan juga belum sebaik daerah – daerah luar. Bisa – bisa masyarakat berpikir untuk apa mengeluarkan uang kalau akhirnya negatif. Uang ini lebih baik digunakan untuk membeli bahan makanan.
“Saya berharap untuk Papua tetap gratis. Sebab kalau diterapkan Rp 150 ribu bisa – bisa masyarakat malas. Selain itu orang bisa takut lebih dulu,” kata Rumboirussy, Jumat (10/7) di kantor DPR Papua.
Meski demikian ia melihat ada sisi positifnya dimana ada harga yang diseragamkan sehingga ketika masyarakat akan melakukan tes ia sudah tahu berapa nominal yang akan dikeluarkan. “Jadi tidak ada permainan harga lagi, ini positifnya. Ini juga menunjukkan bahwa Indonesia juga telah mampu membuat produk rapid sendiri sebab jika menggunakan dari luar tentunya akan lebih mahal,” imbuhnya.
Senada disampaikan Wakil Ketua Komisi V DPR Papua, Jack Komboy yang meminta masyarakat tidak dibebankan dengan harus membayar alat rapid.
“Saya pikir kita baik pemerintah maupun negara masih mampu membantu hal-hal seperti ini. Jangan lagi masyarakat dibebankan untuk itu (membayar). Sebab kondisi ekonomi belum benar-benar pulih,” pungkasnya.
Secara terpisah Kepala Dinas Kesehatan Kota Jayapura dr Ni Nyoman Sri Antari mengungkapkan, untuk di 13 Puskesmas di Kota Jayapura sampai saat ini belum bisa melayani pemeriksaan rapid test kepada warga.
Hal ini dikarenakan keterbatasan alat rapid test di Tim Gugus Tugas Covid-19. Sehingga jika warga ingin melakukan rapid test bisa dilakukan di rumah sakit atau fasilitas kesehatan yang melayaninya.
Termasuk untuk layanan pemeriksaan rapid test antibodi sesuai dengan batasan tarif tertinggi Rp 150 ribu per orang, berdasarkan petunjuk Menteri Kesehatan RI. Untuk di Kota Jayapura juga belum bisa diterapkan.
Menurut dr. Sri Antari, sampai saat ini pemerintah Kota Jayapura melalui tim Gugus Tugas Covid-19 Kota Jayapura masih fokus dalam melakukan rapid test massal bagi pedagang di pasar dalam memutus mata rantai penyebaran Covid-19 dan inipun alat rapid test diberikan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Papua, karena di kota mengalami keterbatasan dana.
“Untuk melakukan rapid test berbayar dibutuhkan pengadaan alat rapid test dari Pemkot. Tapi kami sendiri belum mempunyai dana untuk membelinya,” jelasnya, Jumat (10/7)kemarin.
Untuk itu, jika ada daerah yang memang sudah melayani pemeriksaan rapid test dan mengenakan tarif ini bisa dilakukan di daerah tertentu dan di Kota Jayapura belum bisa.
Namun dr. Sri Antari tetap optimis, jika memang ada dana, pemerintah bisa membeli alat rapid test sendiri. Karena ini sangat dibutuhkan warga untuk kebutuhan tertentu tentu bisa dilakukan dan ini juga harus minta petunjuk kepada pimpinan. Dan saat ini bantuan rapid test dari provinsi tidak mungkin dikomersilkan untuk warga.
Senada disampaikan, Karumkit Rumah Sakit Bhayangkara, Kompol dr Andi Mappaodang. Menurutnya hingga saat ini pihaknya belum memberlakukan tarif kepada mereka yang melakukan rapid test di Rumah Sakit Bhayangkara.
“Kami sementara belum menarik tarif, karena kami mendapat subsidi dari Dinas Kesehatan Provinsi. Jika nanti subsidi tersebut habis dan kami melakukan pengadaan, berarti kami bisa memungut biaya,” jelas Karumkit dr. Mappaodang saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos, Jumat (10/7).
Terkait dengan orang yang memilik inisiatif sendiri untuk melakukan rapid test, Karumkit mengaku selama ini tidak dipungut biaya.
“Yang jelas ada indikasi alasan apa alasan dia mau rapid test, apakah yang bersangkutan melakukan kontak dengan pasien Covid-19. Sehingga perlu dilakukan rapid dan itu diberlakukan gratis,” terangnya.
Sementara itu, Sekretaris Dinas Kabupaten Jayapura, Edward Manik Sihotang, mengatakan, rapid tes yang dilakukan Pemkab Jayapura di kantor Dinas Kesehatan hanya untuk kepentingan survailens. “Yang kita lakukan hanya rapid tes khusus keperluan surveilans bagi masyarakat di Kabupaten Jayapura,” jelasnya.
Sementara untuk kepentingan keberangkatan keluar daerah, Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura masih mengikuti surat edaran Gubernur Papua. Dimana untuk rapid tes bagi warga yang ingin keluar daerah hanya dilakukan di bandara atau di laboratorium kesehatan daerah provinsi Papua.
“Kemarin kami rapat untuk menyepakati membantu mengurai antrian rapid bagi mereka yang mau berangkat khusus masyarakat Kabupaten Jayapura. Namun ternyata saat hasil reaktif, banyak yang menghilang tanpa jejak dan ada yang tidak mau lanjut protokol untuk pengambilan swab,”jelasnya.
Bahkan kata dia, ada juga kelompok masyarakat yang sengaja tes untuk upayakan hasil non reaktif agar bisa berangkat. Jadi kalau di kota positif maka mau coba coba ke kabupaten. Akhirnya pihaknya sepakat tidak membuka pelayanan untuk kepentingan berangkat sampai dengan surat edaran gubernur dicabut.
Sementara itu, RS Yowari juga melayani rapid tes tapi khusus bagi ODP dan PDP, yaitu pasien yang datang dengan gejala gangguan pernafasan.
Untuk Puskesmas juga lakukan screaning untuk ODP, PDP dan pasien rujuk.
“Rapid di Dinkes bagi yang tanpa gejala atau untuk umum yang ingin mengetahui status kesehatan. Semua layanan itu gratis karena menggunakan dana BTT sektor kesehatan,” tambahnya.
Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Merauke langsung melakukan penyesuaian dengan menurunkan biaya rapid test dari sebelumnya Rp 200.000 menjadi Rp 150.000.
Kepala Puskesmas Mopah Baru Merauke, Sugino, SKM, M.Kes, ditemui media ini mengungkapkan, bahwa meski surat edaran bupati terkait dengan biaya rapid test belum direvisi, namun pihaknya telah memberlakukan tarif sesuai dengan surat edaran Menkes atas perintah dari Gugus Tugas Covid-19 Kabupaten Merauke.
“Surat edaran bupati tersebut tetap akan direvisi. Meski itu belum direvisi tapi karena ada instruksi dari gugus tugas sehingga kita menyesuaikan. Untuk revisi surat edaran bupati mungkin masih dalam proses,’’ kata Sugino ditemui di Puskesmas Mopah Baru, Jumat (10/7) kemarin.
Sugino mengakui bahwa ada kebigungan di masyarakat soal biaya rapid test tersebut yang pada tahap awal sebesar Rp 250.000, kemudian turun menjadi Rp 200.000 dan sekarang Rp 150.000. “Kita tidak tahu apakah harga itu sudah atau kedepannya bisa turun lagi. Tapi harapan kita kalau bisa turun lagi. Tapi, kita berharap, masyarakat tidak alergi dengan perubahan dan berprasangka yang tidak-tidak. Karena harga yang dipatok tersebuut disesuaikan dengan belanja dari pemda. Kalau awal-awal, memang harga rapid test mahal, tapi mungkin seiring dengan produksi rapid test secara massal sehingga harganya turun dan harganya berpengaruh kepada masyarakat,’’ jelasnya.
Sugiono juga meminta masyarakat yang akan melakukan rapid test tersebut jika memang tidak mampu untuk mengajukan permohonan kepada pemerintah daerah, kemungkinan bisa dibantu atau tidak. “Misalnya suatu tindakan yang akan dilakukan namun harus terlebih dahulu dirapid test. Sementara tidak ditanggung oleh BPJS Kesehatan, maka silakan ajukan permohonan tidak mampu ke pemerintah daerah. Mudah-mudahan bisa dibantu. Karena kebijakannya ada di pemerintah daerah. Kalau kita di sini hanya melaksanakan sesuai dengan aturan yang ada,” tutupnya. (gr/ade/dil/fia/roy/ulo/nat)