
JAYAPURA-Pulangnya ratusan mahsiswa Papua yang sedang menuntut ilmu di berbagai daerah di Indonesia, membuat pusing Pemprov Papua dalam hal ini Gubernur Papua, Lukas Enembe, SIP., MH.
Ditemui wartawan di Gedung Negara, Dok V, Distrik Jayapura Utara, Gubernur Lukas Enembe mengaku pusing dengan kedatangan mahasiswa dari berbagai daerah.
Meski sempat mengeluarkan pernyataan untuk menarik kembali mahasiswa Papua namun menurut Gubernur Enembe itu dilakukan jika merasa tidak aman.
“Memang sudah ada imbauan bahwa jika negara NKRI tidak aman maka akan kami pulangkan. Namun jika negara aman buat apa pulang. Saat ini sudah sebagian besar pulang. Kami pusing mau ditaruh di mana. Sebab mereka pulang sendiri tanpa koordinasi,” jelas Gubernur Lukas Enembe.
Terkait pulangnya ratusan mahasiswa Papua ini, Gubernur Enembe mengagendakan akan mengundang Gubernur Papua Barat, MRP Papua Barat, Rektor Universitas Cenderawasih (Uncen) dan Rektor Universitas Papua (Unipa), untuk membicarakan hal ini.
“Bisa saja mereka kembali ke kampus namun harus dikoordinasikan dulu. Apalagi saya sudah mendengar ada sekitar 300 orang yang sudah kembali,” pungkasnya.
Sekira 700 mahasiswa Papua dari sejumlah daerah di Indonesia diinformasikan kembali ke kampung halamannya karena merasa tidak aman.
Polda Papua telah menerjunkan tim ke setiap daerah untuk meyakinkan para agar mahasiswa dapat mengikuti kegiatan belajar dengan aman dan tidak mendapatkan ujaran rasis.
Kapolda Papua Irjen Pol Rudolf Rodja mengatakan, Kapolri sudah menyampaikan kepada seluruh Polda untuk menjamin keamanan kepada mahasiswa Papua di manapun mereka kuliah di luar Papua. Untuk itu, tidak perlu mahasiswa yang kuliah di luar Papua merasa ketakutan.
“Kami berharap mahasiswa ini jangan menjadi korban dari kepentingan elit-elit atau kelompok kelompok tertentu. Ini harus kita cegah. Karena anak-anak ini adalah aset bangsa yang perlu kita perhatikan masa depannya,” tegas Kapolda Alberth Rodja kepada wartawan usai bertemu dengan Rektor Uncen di Mapolda Papua, Selasa (9/9).
Adapun ratusan mahasiswa Papua yang pulang ke Papua berasal dari Manado, Surabaya dan sebagian daerah lainnya. Rata-rata alasan mereka pulang karena merasa aman tidak terjamin.
Kabarnya, mereka disuruh oleh kelompok-kelompok tertentu untuk kembali, membaca media sosial dimana mereka nantinya akan kuliah di Universitas yang ada di Papua. “Saya harap mereka harus berpikir nasional,” ucap mantan Kapolda Papua Barat ini.
Sementara itu, Rektor Uncen Jayapura, Dr. Ir. Apolo Safanpo, ST., MT., mengatakan berkaitan dengan isu pemulangan mahasiswa Papua yang kuliah di luar Papua, perlu pertimbangkan kembali. Karena apabila alasan memulangkan mahasiswa yang ada di luar papua karena tidak aman, sebaiknya berkoordinasi dengan Polda Papua. Sehingga Kapolda bisa berkoordinasi dengan Polda-polda tempat di mana mahasiswa kuliah untuk meminta jaminan keamanan.
“Apabila mereka terpaksa pulang ke Papua harus memastikan di mana mereka akan melanjutkan kuliahnya. Karena apabila satu semester mereka tidak kuliah di kampus awalnya, maka kampus di mana mereka didik akan memberikan peringatan,” jelas Rektor Apolo Safanpo.
Artinya, kalau mahasiswa yang pulang ini tidak kuliah dengan baik di tempat kuliah awalnya belum tentu juga mereka bisa diterima di universitas yang ada di Papua. Karena daya tampung perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang ada di Papua sangat terbatas.
Hal ini juga bisa dibuktikan dengan Uncen yang tahun ini sebanyak 12.800 calon mahasiwa yang melamar dan mengikuti tes atau seleksi, namun yang bisa ditampung hanya 6 ribu mahasiswa.
“Walaupun daya tampung kami di Uncen hanya 4 ribu, tapi kami terpaksa membuka lebih kelas untuk menampung lebih banyak mahasiswa dari daya tampung yang ada,” jelasnya.
Alasan lainnya lanjut Apolo Safanpo, belum tentu juga jurusan dan program studi dari kampus asal mereka di luar Papua sama atau tersedia di kampus-kampus yang ada di Papua.
“Walupun ada jurusan atau program studi yang sama dari kampus asal dengan kampus di Papua, tapi untuk pindah program studi antara universitas itu harus memenuhi persyaratan-persyaratan teknis. Misalnya akreditasi program studinya minimal sama atau lebih tinggi dari pada akreditsi program studi yang akan dituju,” tambahnya.
Menurutnya, mahasiswa yang kuliah di perguruan tinggi swasta di luar Papua sesuai dengan peraturan perundangan tidak bisa masuk di perguruan tinggi negeri. Karena proses masuknya mahasiswa di perguruan tinggi negeri melelaui seleksi nasional.
“Ini yang harus kita pertimbangkan kembali bersama-sama. Baik itu pihak universitas di tanah Papua kemudian pemda, DPRP, MRP harus duduk kembali bersama dan dialog mencari solusi terbaik untuk anak-anak kita,” tuturnya.
Apabila mereka sudah terlanjur kembali ke Papua dan tidak bisa melanjutkan studi di Universitas yang ada di Papua, maka ini menjadi beban sosial bagi Pemda juga beban bagi perguruan tinggi yang ada.
Di tempat yang sama, Purek III USTJ Isak Rumbarar mengatakan pihaknya tetap pada peraturan bahwa ketika seseorang pindah dari perguruan tinggi asal maka ada persyaratan yang perlu dipenuhi.
“Kita juga melihat rekam pendidikannya. Jika di kampus asalnya kuliah kurang betul maka di sini bukan sebagai kampus penyelamat. Karena akan bertentangan dengan peraturan Dikti, kalaupun memenuhi syarat kemungkinan kecil lebih daripada 20 orang tidak mungkin kampus kami bisa menampung,” tuturnya.
Sementara itu, ratusan mahasiswa asal Kabupaten Mamberamo Tengah dikabarkan sedang mempersiapkan diri untuk pulang kembali ke daerahnya. Alasannya mereka merasa tidak nyaman dengan situasi di kota studi pasca kejadian di Surabaya dan Malang beberapa waktu lalu. Meski demikian sebagian besar masih tertahan di kota studi masing-masing dan masih menunggu uang tiket.
“Dari Manado ada 20 mahasiswa tapi yang sudah datang ada 60 an sedangkan daerah lain masih standby dan saat ini orang tua mendesak kami pemerintah untuk segera memulangkan anak-anak mereka karena tidak nyaman,” kata Bupati Mamberamo Tengah, Ricky Ham Pagawak, SH., M.Si., saat ditemui di Gedung Negara, Dok V Jayapura, Senin (9/9).
Dari kepulangan ini diakui Pemkab ikut dirugikan. Sebab pihaknya sudah terlanjur membayar kontrakan namun tak digunakan.
Bupati Ham Pagawak menyebut kepulangan atau eksodus mahasiswa Mamberamo Raya ini kemungkinan akan dilakukan seluruh kota studi mulai dari Sumatera, Bali, Kalimantan dan Sulawesi. “Jumlahnya ada sekira 500 mahasiswa dan yang sudah pulang kebanyakan masih di Jayapura. Ada yang di asrama di Organda Padang Bulan namun ada yang sudah pulang ke kampung,” bebernya.
Ia menyampaikan bahwa meski ada permintaan dari Panglima TNI dan Kapolri agar para bupati bisa mengembalikan mahasiswa yang sudah kembali ini namun pihaknya tak bisa memaksa mahasiswa untuk tetap berada di kota studi.
Ham menyebut bahwa saat ini masih sulit berkomunikasi dan meminta para mahasiswa ini untuk kembali ke kota studinya karena masih trauma. Selain itu para mahasiswa menurutnya meminta oknum aparat keamanan yang teriak rasis ikut diproses.
“Tinggal kami pikir jika mau menetap maka apakah akan bisa dimasukkan ke kampus yang ada di Jayapura atau seperti apa. Itu upaya untuk menyelamatkan SDM Papua dan hingga kini memang belum ada komunikasi dengan para rektor sebab kami masih menunggu respon pak gubernur,” bebernya.
Bupati Ham Pagawak juga mengaku agak dilema. Sebab dalam adat jika anak itu minta pulang dan tidak dipulangkan kemudian terjadi sesuatu maka pemerintah yang akan diprotes oleh orang tua. Karenanya perlu koordinasi yang baik termasuk menunggu petunjuk gubernur. “Di Manado tersisa 5 karena akan segera wisuda,” imbuhnya.
Secara terpisah, Bupati Jayapura Mathius Awoitauw, SE., M.Si., memastikan mahasiswa yang berasal dari Kabupaten Jayapura yang selama ini belajar di luar Papua tidak ada yang kembali. Hal ini sudah dilakukan pengecekan langsung oleh tim khusus yang dibentuk Pemda Jayapura.
“Kami sudah mengirim tim ke beberapa kota studi untuk memastikan, mengecek dan memberikan jawaban bahwa pemerintah masih membiayai,” kata Mathius Awoitauw kepada wartawan di Sentani, Senin (9/9).
Untuk itu, Pemkab Jayapura sudah meminta kepada seluruh mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan tinggi saat ini agar tetap menjalankan dan harus menyelesaikan tugas belajar.
“Tugas kalian hanya sekolah dan belajar, kalian tidak perlu berpikir atau terlibat dalam kegiatan yang ada di luar kampus,” tegasnya.
Saat ini Pemkab Jayapura sedang membiayai sekitar 200-an mahasiswa di beberapa kota studi di Indonesia termasuk di luar negeri. Pemerintah daerah juga menegaskan, apabila ada mahasiswa yang memilih pulang kampung ketimbang melanjutkan studinya maka yang bersangkutan dianggap tidak menjalankan komitmen yang sudah disepakati bersama dengan pemerintah daerah Kabupaten Jayapura. “Ada komitmen yang dia buat dengan pemerintah bahwa dia harus belajar dan menyelesaikannya tepat waktu,” tegasnya.
Untuk itu Pemkab Jayapura menegaskan baik kepada para orang tua mahasiswa dan juga mahasiswa itu sendiri bahwa hingga saat ini Pemkab Jayapura tidak mempunyai program untuk memulangkan mereka.
“Jadi anak-anak harus tetap ada di sana. Tim sudah ada disana sudah satu minggu untuk memastikan anak-anak ini tidak ada masalah. Kalau ada masalah, kami akan bicarakan dengan pemerintah setempat. Jadi sampai hari ini tidak ada masalah. Orang tua tenang saja, anak-anak juga tetap belajar karena persoalan yang kami hadapi saat ini menjadi tanggung jawab kalian nanti,” tambahnya.
Langkah yang sama juga dilakukan Wali Kota Jayapura, Dr. Benhur Tomi Mano, MM. Orang nomor satu di jajaran Pemkot Jayapura ini mengaku sudah berkoordinasi dengan sejumlah mahasiswa asal Kota Jayapura yang menempuh pendidikan di pulau Jawa dan luar negeri/Amerika untuk tidak terprovokasi isu-isu.
“Saya sudah imbau kepada mahasiswa asli Jayapura beberapa waktu lalu yang kuliah di Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah (Jateng) dan Amerika agar mereka fokus belajar saja,” ungkap Wali Kota Tomi Mano yang dihubungi via ponselnya, kemarin.
Dirinya berharap mahasiswa Jayapura tidak terprovokasi dengan isu-isu yang berkembang dan harus fokus belajar.
BTM mengakui bahwa saat ini sekira 200 lebih mahasiswa asli Jayapura yang dibiayai oleh Pemkot Jayapura Kota untuk kuliah di Salatiga, Jateng.”Selain di Salatiga, ada dua orang mahasiswa yang kami membiayai kuliah di Fakultas Kedokteran di Jakarta. Sedangkan di negara Amerika Serikat, ada 6 orang mahasiswa yang dibiayai untuk kuliah di sana,” tambahnya.
Di tempat terpisah, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib mengklarifikasi beredarnya selebaran di media sosial soal MRP menarik maklumat yang sudah dikeluarkan untuk menarik mahasiswa Papua.
“Terkait info penarikan ataupun revisi maklumat yang baru itu belum kami lakukan. Kami masih melakukan pembahasan di MRP. Jadi tidak benar informasi yang beredar,” singkat Ketua MRP. (ade/fia/roy/kim/nat)