Saturday, April 27, 2024
33.7 C
Jayapura

Strategi Menangkal Radikalisme dan Terorisme Sebagai Ancaman Disintegrasi Bangsa

Kapolda Papua Irjen pol. Drs. Paulus Waterpauw ketika mengulas topik “Strategi Menangkal Radikalisme dan Terorisme sebagai ancaman disintegrasi bangsa”, dihadapan peserta Intermediate Training lk II tingkat Nasional dan Milad HMI ke-73, Di Kotaraja, Jayapura (5/2). Foto: Paulus Waterpauw for Cepos

JAYAPURA – Kapolda Papua Irjen pol. Drs. Paulus Waterpauw mengulas topik “Strategi Menangkal Radikalisme dan Terorisme sebagai ancaman disintegrasi bangsa”, menyampaikan peserta Intermediate Training lk II tingkat Nasional dan Milad HMI ke-73 yang telah hadir dari berbagai wilayah di Indonesia.

  Sebelum Kapolda ingin flashback sejarah kehidupan kerukunan umat beragama di Papua yang telah ada sejak berabad-abad yang lalu tepatnya momentum masuknya injil di Ttanah Papua pada tanggal 5 Februari 1855 di Pulau Mansinam Manokwari oleh Carl Willem Otto and Johan Gottlod Geissler yang dikawal oleh pengawal kesultanan Tidore (Kerajaan Islam) dengan perintah raja “Kawallah 2 hamba Tuhan ini untuk membuka tabir kehidupan bagi saudara-saudara yang ada   di   Papa-ua   (Papua)   agar   mereka  bisa mendapatkan kehidupan sebagaimana dengan saudara-saudara di wilayah kepulauan lainnya”. 

  Kerajaan-kerajaan Islam di Papua sudah ada sejak tahun 1520 M, diantaranya wilayah semenanjung Bomberai Kerajaan Aiduma dan Kerajaan Kowiai (Namatota), wilayah semenanjung Onin Kerajaan Arguni, Atiati, Fatagar, Patipi, Rumbati, Sekar dan Wertuar, wilayah Kaimana kerajaan Kaimana, wilayah Raja Ampat kerajaan Misool, Sailolof, Salawati, Waigama dan Waigeo serta wilayah Fakfak terdapat kerajaan Sran Eman Muun.

Kehidupan antar umat beragama di Papua dari masa ke masa terbagi dalam beberapa periode

Pertama,  Periode Sebelum periode abad ke 20,  dimana simbol kerukunan antar umat beragama dapat kita lihat pada istilah satu tungku tiga batu yang merupakan dasar kerukunan di Fak-fak, Papua Barat. Tungku adalah simbol dari kehidupan, sedangkan tiga batu adalah simbol dari “kau”, “saya” dan “dia” yang membuhul (mengikat) perbedaan baik agama, suku, status sosial dalam satu wadah persaudaraan. Berasal dari satu rahim mama, jangan sampai terpecah hanya kerena  perbedaan.    Kekerabatan     harus dijaga karena kekerabatan usianya lebih tua dibandingkan agama yang kita kenal saat ini.

Kedua, periode abad ke 20.  Pada periode ini kerukunan antar umat beragama berkembang seiring dengan munculnya  pergerakan berbagai faham/aliran keagamaan yang dimulai sejak integrasi Papua ke Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1963, dimana berbagai institusi atau individu-individu penduduk Papua sendiri atau yang berasal dari luar Papua yang telah mendorong proses penyebaran berbagai agama yang cepat di seluruh kota-kota di Papua. Hadir pula organisasi keagamaan Islam di Papua, seperti Muhammadiyah, Nahdhalatu Ulama, Idii, dan pesantren-pesantren.  Pada tahun 1968 telah berdiri Yayasan Pendidikan Islam (Yapis) Papua. Keberadaan Yapis ini bukan saja mendapat respon positif dari kalangan Muslim, tapi juga orang tua non-Muslim, karena banyak dari mereka yang menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah ini, yang berjalan seiringan dengan kehadiran sekolah-sekolah pendidikan agama Kristen Katholik antara lain Yayasan   Pendidikan   Kristen,  Misi   Katolik dan sebagainya, melalui berbagai organisasi Islam dan Kristen serta lembaga pendidikan lainnya inilah kerukunan antar umat dapat terpelihara dengan baik di Papua.

Ketiga, periode abad ke 21. Seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi serta kehadiran kelompok radikal (radikalisme) diberbagai belahan dunia terutama didaerah Asia timur dan timur jauh dengan cepat memunculkan kelompok-kelompok radikal di Indonesia antara lain HTI (Hizbuh Tahrir Indonesia, JAD ( Jamaah Anshorut Daulaah) dan JAT (Jamaah Ansharut Tauhid), bahkan juga muncul di Papua sejak terjadinya peristiwa pembakaran kios yang berujung terbakarnya mushola di Kabupaten Tolikara pada tanggal 17 juli 2015 mengakibatkan pada bulan oktober 2015 datanglah kelompok ust. Jut (almarhum) yang mulai melakukan dakwah-dakwah dengan pemahaman-pemahaman permusuhan, namun tidak direspon dengan baik oleh kelompok umat pada umumnya sehingga tidak terjadi persoalan pertikaian antar umat. (pernah juga terjadi gesekan dengan umat Kristiani yang sedang merayakan Natal di Koya Kota Jayapura). 

  Kelompok radikal lainnya muncul pada tahun 2018 kelompok JAD (jamaah Anshorut Daulaah) di Kabupaten Mimika dan berhasil ditangkap 2 orang dan yang terakhir ditangani adalah penangkapan 7 (tujuh) terduga teroris pok JAD di Kemiri dan Doyo kabupaten Jayapura.

Radikalisme –  Terorisme

  Terorisme bukan persoalan siapa pelaku, kelompok dan jaringannya. Namun, lebih dari itu terorisme merupakan tindakan yang memiliki akar keyakinan, doktrin/dokma dan ideologi yang dapat menyerang kesadaran masyarakat. Tumbuh suburnya terorisme tergantung di lahan mana ia tumbuh dan berkembang. Jika ia hidup di tanah gersang, maka terorisme sulit menemukan tempat, sebaliknya jika ia hidup  di  lahan  yang  subur  maka ia akan cepat berkembang. Ladang subur tersebut menurut Hendropriyono adalah masyakarat yang dicemari oleh paham fundamentalisme ekstrim atau radikalisme keagamaan.

Radikalisme merupakan embrio lahirnya terorisme. Radikalisme merupakan suatu ideologi,  gagasan  atau  paham  dengan  cara  Ingin melakukan perubahan pada sistem sosial dan politik dengan menggunakan cara-cara kekerasan/ ekstrim. Inti dari tindakan radikalisme adalah sikap dan tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan dalam mengusung perubahan yang diinginkan. Kelompok radikal umumnya menginginkan perubahan tersebut dalam tempo singkat dan secara drastis serta bertentangan dengan sistem sosial yang berlaku. 

Baca Juga :  Kasus Masih Tinggi, Awas DBD !

Radikalisme sering dikaitkan dengan terorisme karena kelompok radikal dapat melakukan cara apapun agar keinginannya tercapai, termasuk meneror pihak yang tidak sepaham dengan mereka. Walaupun banyak yang mengaitkan radikalisme dengan agama tertentu, pada dasarnya radikalisme adalah masalah politik dan bukan ajaran agama.

Menurut menteri koordinator bidang politik, hukum, dan keamanan, mahfud md, radikalisme adalah setiap upaya untuk membongkar sistem yang sudah mapan, yang sudah ada dalam kehidupan bernegara, dengan cara kekerasan yang terbagi dalam tiga jenis radikal, yakni takfiri, jihadi, dan pemikiran atau ideologis.

Ada beberapa ciri yang bisa dikenali dari sikap dan paham radikal. 1) intoleran (tidak mau menghargai pendapat & keyakinan orang lain), 2) fanatisme (selalu merasa benar sendiri; menganggap orang lain salah), 3) eksklusifisme (membedakan diri dari umat lainnya) dan 4) revolusioner (cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan).

(undang-undang republik indonesia nomor 5 tahun 2018 tentang perubahan atas undang-undang nomor 15 tahun 2013 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme)

Memiliki sikap dan pemahaman radikal saja tidak mesti menjadikan seseorang terjerumus dalam paham dan aksi terorisme. Ada faktor lain yang memotivasi seseorang bergabung dalam jaringan terorisme. Motivasi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor.    Pertama,    faktor   domestik,   yakni

Kondisi dalam negeri antara lain faktor kemiskinan, ketidakadilan atau merasa kecewa dengan pemerintah. Kedua, faktor regional – internasional, yakni pengaruh lingkungan luar negeri yang memberikan daya dorong tumbuhnya sentiment keagamaan   seperti   ketidakadilan    global, Politik luar negeri yang arogan, dan imperialisme modern negara adidaya. Ketiga, faktor kultural yang sangat terkait dengan pemahaman keagamaan yang dangkal dan penafsiran kitab suci yang sempit dan leksikal (harafiyah). Sikap dan pemahaman yang radikal dan dimotivasi oleh berbagai faktor di atas seringkali menjadikan seseorang memilih untuk bergabung dalam aksi dan jaringan terorisme.

 Lalu kenapa radikalisme dan terorisme di Indonesia dapat tumbuh subur? Karena Indonesia dianggap sebagai “safe heaven” radikalisme dan terorisme. Alasan seseorang menjadi radikal yaitu biasanya karena kepentingan personal dan ideology finansial, kelompok radikal menyebarluaskan dengan menebar janji-janji kebutuhan finansial yang akan mencukupi seseoang dan juga propaganda politik yang menarik untuk seseorang. Tidak hanya itu faktor-faktor penyebab paham radikalisme bisa menyerang seseorang dikarenakan beberapa faktor, diantaranya 

1. Faktor pemikiran.  Segala sesuatunya harus dikembalikan ke agama walaupun dengan cara yang kaku dan menggunakan kekerasan. 

2. Faktor ekonomi. Sudah menjadi kodrat manusia untuk bertahan hidup, dan ketika terdesak karena masalah ekonomi maka manusia dapat melakukan apa saja, termasuk meneror manusia lainnya. 

3. Faktor politik. Pemikiran sebagian masyarakat bahwa seorang pemimpin negara hanya berpihak pada pihak tertentu, mengakibatkan munculnya kelompok-kelompok masyarakat yang terlihat ingin menegakkan keadilan. Kelompok-kelompok tersebut bisa dari kelompok sosial, agama, maupun politik. Alih-alih menegakkan keadilan, kelompok-kelompok ini seringkali justru memperparah keadaan. 

4. Faktor social. Sebagian masyarakat kelas ekonomi lemah umumnya berpikiran sempit sehingga mudah percaya kepada tokoh-tokoh yang radikal karena dianggap dapat membawa perubahan drastis pada hidup mereka. 

5. Faktor psikologis. Peristiwa pahit dalam hidup seseorang juga   dapat    menjadi    faktor   penyebab Radikalisme. Masalah ekonomi, masalah keluarga, masalah percintaan, rasa benci dan dendam, semua ini berpotensi membuat seseorang menjadi radikalis. 

6. Faktor pendidikan. Pendidikan yang salah merupakan faktor penyebab munculnya radikalis di berbagai tempat, khususnya pendidikan agama. Tenaga pendidik yang memberikan ajaran dengan cara yang salah dapat menimbulkan radikalisme di dalam diri seseorang. 

 Hasil    survei    Wahid Foundation potensi radikalisme dan intoleransi di Indonesia karena ada kelompok pendukung utama / garis keras melalui penggunaan medsos / internet yang membuat gerakan propaganda dan aksi-aksi terorisme internasional. Dalam dunia terorisme dikenal teologi maut memberikan daya tarik untuk berani mati namun takut hidup, memonopoli kebenaran bahwa diluar kami haram. Karena teologi maut tersebut beberapa negara hancur (Suriah, Irak).

Strategi dalam menangkal radikalisme  dan terorisme

Dalam rangka menangkal radikalisme dan terorisme pemerintah melaksanakan program deredikalsasi melalui kementerian/lembaga meliputi kementerian hukum   dan   hak    asasi    manusia,    Kejaksaan Republik Indonesia dan Polri yang dikoordinasikan oleh oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Target dari program deredikalisasi meliputi tersangka, terdakwa, terpidana, dan narapidana terorisme serta mantan narapidana terorisme dan orang atau kelompok orang yang terpapar paham radikal.

Baca Juga :  KPU Papua Tunggu Dasar Hukum DOB Disahkan

   Menurut Wakil Presiden Republik Indonesia Ma’ruf Amin penanggulangan radikalisme itu harus dilakukan secara komprehensif, dari hulu ke hilir, dan juga struktural maupun kultural. Tidak hanya menangani dari hilir, yaitu deradikalisasi, tapi juga harus melakukan kegiatan penangkalan dengan kontra-radikalisme untuk mencegah orang-orang supaya tidak terpapar.

Program deradikalisasi yang dilakukan kepada tersangka, terdakwa, terpidana, dan narapidana tindak pidana terorisme diberikan melalui tahapan Identifikasi dan penilaian  meliputi kegiatan inventarisasi data tersangka, wawancara, pengamatan, dan klarifikasi; dan pengolahan data serta monitoring dan evaluasi perilaku terdakwa, terpidana, atau narapidana;

  Rehabilitasi dapat berbentuk konseling individu dan pelaksanaan kelas kelompok. Rehabilitasi diberikan dengan materi paling sedikit mengenai psikologi, keagamaan, wawasan kebangsaan, serta hukum dan peraturan perundang-undangan.

   Reedukasi dalam bentuk penguatan pemahaman keagamaan dan pendidikan karakter.

  Reintegrasi sosial dilakukan dalam bentuk penguatan rasa percaya diri untuk kembali kepada masyarakat agar tidak takut atau bergantung lagi dengan kelompok atau jaringannya dan peningkatkan keterampilan untuk dapat menghidupi dirinya dan keluarganya.

   Program deradikalisasi kepada mantan narapidana terorisme dan orang atau kelompok orang yang terpapar paham radikal melalui tahapan pembinaan wawasan kebangsaan dapat berupa kegiatan bela negara dan pemantapan nilai kebangsaan.

   Pembinaan wawasan keagamaan dapat berupa pemahaman toleransi beragama dan harmoni sosial dalam kerangka kesatuan dan persatuan nasional; 

Program kewirausahaan dapat berupa pembimbingan, pendampingan, dan pendayagunaan dalam bidang berbagai bidang.

Refleksi :

  Peristiwa tanggal 5 Februari yang sekarang diperingati sebagai Hari Pekabaran Injil yang ke 165 dan juga bertepatan dengan milad HMI yang ke 73 di Papua ini merupakan refleksi yang nyata bagi kehidupan bermasyarakat, sosial dan beragama untuk saling menopang dan membuka tabir kehidupan di wilayah Papua dan Maluku Utara dan menjadi tauladan karena  dibalik  sebuah misi itu banyak unsur yang ikut mempengaruhi kehidupan kita bersama dan sebagai generasi muda     kita     tidak     boleh     lupa,      sebagai momentum untuk mengisi  sisi   yang    humanis dan penuh kekerabatan bersama, namun disisi lain ada beberapa fakta yang tidak bisa kita abaikan dalam kehidupan sekarang yaitu adanya ancaman perpecahan antar saudara dan kerabat, lalu bagaimanakah budaya satu tungku tiga batu, apakah masih tetap utuh atau sudah terpecah bercerai-berai, padahal papua menjadi icon kerukunan antar umat beragama dan terlebih lagi saat ini wilayah papua menjadi fokus perhatian bangsa melalui    berbagai    kebijakan    negara.  Oleh karena itu momen ini kita coba refleksikan rasa hubungan manusia yang humanis antar sesama yang coba dihancurkan oleh para pihak yang tidak bertanggung jawab.

Harapan Kapolda:

Kader HMI digambarkan sebagai pemimpin yang dibutuhkan oleh umat untuk menjadi negarawan yang “problem solver” yang memiliki ilmu pengetahuan diperlukan pula adanya iman dan akhlak sehingga mampu melaksanakan tugas kerja kemanusiaan (amal saleh). 

Atas dasar itu semua, kita harus berpijak pada rumusan awal tujuan HMI yakni                             (1) mempertahankan NKRI dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia, (2) menegakan dan mengembangkan ajaran Islam.  Tentunya semua ini mengindikasikan keterlibatan HMI dalam memperbaiki kehidupan kemanusiaan di berbagai dimensi pada aspek spiritual dan material.

Pertanyaan selanjutnya, sejauhmana peran dan fungsi HMI guna tetap menjadi kiblat gerakan dalam mengemban tugas mulia ini? Bagaimanakah formulasi gerakan HMI dalam membangun bangsa dan negara? Lalu adakah ikhtiar HMI dalam memperjuangkan itu semua? Karena HMI tidak pernah sendiri di dalam kebenaran.

  Untuk merealisasikan aspek nilai ke-islaman dan ke-Indonesiaan maka, HMI harus kembali kepada “khittohnya” (garis perjuangan dalam mewujudkan misi dan cita-citanya) sebagai mahasiswa yang berorientasi kepada keilmuan sebagai insan akademis, pecipta dan pengabdi yang bernafaskan Islami dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi allah swt.

Peran HMI dalam menangkal radikalisme dan terorisme

• membumikan kajian keislaman dan keindonesiaan yang moderat, inklusif, transformatif dan kritis di mana dimensi 

Keislaman, kebangsaan dan kemanusiaan berada dalam tarikan nafas yang satu.

• mampu memberikan gagasan- gagasan baru, ide-ide  cemerlang,dan aktivitas-aktivitas yang akan dapat memberikan manfaat bagi banyak orang.

• mentradisikan kegiatan dialog dan sharing pemahaman dan pembelajaran iman baik pada agamanya sendiri maupun orang lain.

• menyuarahan rahmatan lil alamin  (rahmat bagi semesta)  melalui berbagai media.

Demikian stadium general saya ini.  Semoga Tuhan yang  maha  kuasa senantiasa memberikan perlindungan, bimbingan dan pencerahan  kepada   kita   sekalian,   sehingga kita dimampukan dan dikuatkan dalam kebersamaan untuk  mengemban tugas pengabdian kepada masyarakat Papua,  bangsa  dan  negara Indonesia. ***

Kapolda Papua Irjen pol. Drs. Paulus Waterpauw ketika mengulas topik “Strategi Menangkal Radikalisme dan Terorisme sebagai ancaman disintegrasi bangsa”, dihadapan peserta Intermediate Training lk II tingkat Nasional dan Milad HMI ke-73, Di Kotaraja, Jayapura (5/2). Foto: Paulus Waterpauw for Cepos

JAYAPURA – Kapolda Papua Irjen pol. Drs. Paulus Waterpauw mengulas topik “Strategi Menangkal Radikalisme dan Terorisme sebagai ancaman disintegrasi bangsa”, menyampaikan peserta Intermediate Training lk II tingkat Nasional dan Milad HMI ke-73 yang telah hadir dari berbagai wilayah di Indonesia.

  Sebelum Kapolda ingin flashback sejarah kehidupan kerukunan umat beragama di Papua yang telah ada sejak berabad-abad yang lalu tepatnya momentum masuknya injil di Ttanah Papua pada tanggal 5 Februari 1855 di Pulau Mansinam Manokwari oleh Carl Willem Otto and Johan Gottlod Geissler yang dikawal oleh pengawal kesultanan Tidore (Kerajaan Islam) dengan perintah raja “Kawallah 2 hamba Tuhan ini untuk membuka tabir kehidupan bagi saudara-saudara yang ada   di   Papa-ua   (Papua)   agar   mereka  bisa mendapatkan kehidupan sebagaimana dengan saudara-saudara di wilayah kepulauan lainnya”. 

  Kerajaan-kerajaan Islam di Papua sudah ada sejak tahun 1520 M, diantaranya wilayah semenanjung Bomberai Kerajaan Aiduma dan Kerajaan Kowiai (Namatota), wilayah semenanjung Onin Kerajaan Arguni, Atiati, Fatagar, Patipi, Rumbati, Sekar dan Wertuar, wilayah Kaimana kerajaan Kaimana, wilayah Raja Ampat kerajaan Misool, Sailolof, Salawati, Waigama dan Waigeo serta wilayah Fakfak terdapat kerajaan Sran Eman Muun.

Kehidupan antar umat beragama di Papua dari masa ke masa terbagi dalam beberapa periode

Pertama,  Periode Sebelum periode abad ke 20,  dimana simbol kerukunan antar umat beragama dapat kita lihat pada istilah satu tungku tiga batu yang merupakan dasar kerukunan di Fak-fak, Papua Barat. Tungku adalah simbol dari kehidupan, sedangkan tiga batu adalah simbol dari “kau”, “saya” dan “dia” yang membuhul (mengikat) perbedaan baik agama, suku, status sosial dalam satu wadah persaudaraan. Berasal dari satu rahim mama, jangan sampai terpecah hanya kerena  perbedaan.    Kekerabatan     harus dijaga karena kekerabatan usianya lebih tua dibandingkan agama yang kita kenal saat ini.

Kedua, periode abad ke 20.  Pada periode ini kerukunan antar umat beragama berkembang seiring dengan munculnya  pergerakan berbagai faham/aliran keagamaan yang dimulai sejak integrasi Papua ke Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1963, dimana berbagai institusi atau individu-individu penduduk Papua sendiri atau yang berasal dari luar Papua yang telah mendorong proses penyebaran berbagai agama yang cepat di seluruh kota-kota di Papua. Hadir pula organisasi keagamaan Islam di Papua, seperti Muhammadiyah, Nahdhalatu Ulama, Idii, dan pesantren-pesantren.  Pada tahun 1968 telah berdiri Yayasan Pendidikan Islam (Yapis) Papua. Keberadaan Yapis ini bukan saja mendapat respon positif dari kalangan Muslim, tapi juga orang tua non-Muslim, karena banyak dari mereka yang menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah ini, yang berjalan seiringan dengan kehadiran sekolah-sekolah pendidikan agama Kristen Katholik antara lain Yayasan   Pendidikan   Kristen,  Misi   Katolik dan sebagainya, melalui berbagai organisasi Islam dan Kristen serta lembaga pendidikan lainnya inilah kerukunan antar umat dapat terpelihara dengan baik di Papua.

Ketiga, periode abad ke 21. Seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi serta kehadiran kelompok radikal (radikalisme) diberbagai belahan dunia terutama didaerah Asia timur dan timur jauh dengan cepat memunculkan kelompok-kelompok radikal di Indonesia antara lain HTI (Hizbuh Tahrir Indonesia, JAD ( Jamaah Anshorut Daulaah) dan JAT (Jamaah Ansharut Tauhid), bahkan juga muncul di Papua sejak terjadinya peristiwa pembakaran kios yang berujung terbakarnya mushola di Kabupaten Tolikara pada tanggal 17 juli 2015 mengakibatkan pada bulan oktober 2015 datanglah kelompok ust. Jut (almarhum) yang mulai melakukan dakwah-dakwah dengan pemahaman-pemahaman permusuhan, namun tidak direspon dengan baik oleh kelompok umat pada umumnya sehingga tidak terjadi persoalan pertikaian antar umat. (pernah juga terjadi gesekan dengan umat Kristiani yang sedang merayakan Natal di Koya Kota Jayapura). 

  Kelompok radikal lainnya muncul pada tahun 2018 kelompok JAD (jamaah Anshorut Daulaah) di Kabupaten Mimika dan berhasil ditangkap 2 orang dan yang terakhir ditangani adalah penangkapan 7 (tujuh) terduga teroris pok JAD di Kemiri dan Doyo kabupaten Jayapura.

Radikalisme –  Terorisme

  Terorisme bukan persoalan siapa pelaku, kelompok dan jaringannya. Namun, lebih dari itu terorisme merupakan tindakan yang memiliki akar keyakinan, doktrin/dokma dan ideologi yang dapat menyerang kesadaran masyarakat. Tumbuh suburnya terorisme tergantung di lahan mana ia tumbuh dan berkembang. Jika ia hidup di tanah gersang, maka terorisme sulit menemukan tempat, sebaliknya jika ia hidup  di  lahan  yang  subur  maka ia akan cepat berkembang. Ladang subur tersebut menurut Hendropriyono adalah masyakarat yang dicemari oleh paham fundamentalisme ekstrim atau radikalisme keagamaan.

Radikalisme merupakan embrio lahirnya terorisme. Radikalisme merupakan suatu ideologi,  gagasan  atau  paham  dengan  cara  Ingin melakukan perubahan pada sistem sosial dan politik dengan menggunakan cara-cara kekerasan/ ekstrim. Inti dari tindakan radikalisme adalah sikap dan tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan dalam mengusung perubahan yang diinginkan. Kelompok radikal umumnya menginginkan perubahan tersebut dalam tempo singkat dan secara drastis serta bertentangan dengan sistem sosial yang berlaku. 

Baca Juga :  Di Jalan Yobar, Dua Orang Tewas Ditikam 

Radikalisme sering dikaitkan dengan terorisme karena kelompok radikal dapat melakukan cara apapun agar keinginannya tercapai, termasuk meneror pihak yang tidak sepaham dengan mereka. Walaupun banyak yang mengaitkan radikalisme dengan agama tertentu, pada dasarnya radikalisme adalah masalah politik dan bukan ajaran agama.

Menurut menteri koordinator bidang politik, hukum, dan keamanan, mahfud md, radikalisme adalah setiap upaya untuk membongkar sistem yang sudah mapan, yang sudah ada dalam kehidupan bernegara, dengan cara kekerasan yang terbagi dalam tiga jenis radikal, yakni takfiri, jihadi, dan pemikiran atau ideologis.

Ada beberapa ciri yang bisa dikenali dari sikap dan paham radikal. 1) intoleran (tidak mau menghargai pendapat & keyakinan orang lain), 2) fanatisme (selalu merasa benar sendiri; menganggap orang lain salah), 3) eksklusifisme (membedakan diri dari umat lainnya) dan 4) revolusioner (cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan).

(undang-undang republik indonesia nomor 5 tahun 2018 tentang perubahan atas undang-undang nomor 15 tahun 2013 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme)

Memiliki sikap dan pemahaman radikal saja tidak mesti menjadikan seseorang terjerumus dalam paham dan aksi terorisme. Ada faktor lain yang memotivasi seseorang bergabung dalam jaringan terorisme. Motivasi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor.    Pertama,    faktor   domestik,   yakni

Kondisi dalam negeri antara lain faktor kemiskinan, ketidakadilan atau merasa kecewa dengan pemerintah. Kedua, faktor regional – internasional, yakni pengaruh lingkungan luar negeri yang memberikan daya dorong tumbuhnya sentiment keagamaan   seperti   ketidakadilan    global, Politik luar negeri yang arogan, dan imperialisme modern negara adidaya. Ketiga, faktor kultural yang sangat terkait dengan pemahaman keagamaan yang dangkal dan penafsiran kitab suci yang sempit dan leksikal (harafiyah). Sikap dan pemahaman yang radikal dan dimotivasi oleh berbagai faktor di atas seringkali menjadikan seseorang memilih untuk bergabung dalam aksi dan jaringan terorisme.

 Lalu kenapa radikalisme dan terorisme di Indonesia dapat tumbuh subur? Karena Indonesia dianggap sebagai “safe heaven” radikalisme dan terorisme. Alasan seseorang menjadi radikal yaitu biasanya karena kepentingan personal dan ideology finansial, kelompok radikal menyebarluaskan dengan menebar janji-janji kebutuhan finansial yang akan mencukupi seseoang dan juga propaganda politik yang menarik untuk seseorang. Tidak hanya itu faktor-faktor penyebab paham radikalisme bisa menyerang seseorang dikarenakan beberapa faktor, diantaranya 

1. Faktor pemikiran.  Segala sesuatunya harus dikembalikan ke agama walaupun dengan cara yang kaku dan menggunakan kekerasan. 

2. Faktor ekonomi. Sudah menjadi kodrat manusia untuk bertahan hidup, dan ketika terdesak karena masalah ekonomi maka manusia dapat melakukan apa saja, termasuk meneror manusia lainnya. 

3. Faktor politik. Pemikiran sebagian masyarakat bahwa seorang pemimpin negara hanya berpihak pada pihak tertentu, mengakibatkan munculnya kelompok-kelompok masyarakat yang terlihat ingin menegakkan keadilan. Kelompok-kelompok tersebut bisa dari kelompok sosial, agama, maupun politik. Alih-alih menegakkan keadilan, kelompok-kelompok ini seringkali justru memperparah keadaan. 

4. Faktor social. Sebagian masyarakat kelas ekonomi lemah umumnya berpikiran sempit sehingga mudah percaya kepada tokoh-tokoh yang radikal karena dianggap dapat membawa perubahan drastis pada hidup mereka. 

5. Faktor psikologis. Peristiwa pahit dalam hidup seseorang juga   dapat    menjadi    faktor   penyebab Radikalisme. Masalah ekonomi, masalah keluarga, masalah percintaan, rasa benci dan dendam, semua ini berpotensi membuat seseorang menjadi radikalis. 

6. Faktor pendidikan. Pendidikan yang salah merupakan faktor penyebab munculnya radikalis di berbagai tempat, khususnya pendidikan agama. Tenaga pendidik yang memberikan ajaran dengan cara yang salah dapat menimbulkan radikalisme di dalam diri seseorang. 

 Hasil    survei    Wahid Foundation potensi radikalisme dan intoleransi di Indonesia karena ada kelompok pendukung utama / garis keras melalui penggunaan medsos / internet yang membuat gerakan propaganda dan aksi-aksi terorisme internasional. Dalam dunia terorisme dikenal teologi maut memberikan daya tarik untuk berani mati namun takut hidup, memonopoli kebenaran bahwa diluar kami haram. Karena teologi maut tersebut beberapa negara hancur (Suriah, Irak).

Strategi dalam menangkal radikalisme  dan terorisme

Dalam rangka menangkal radikalisme dan terorisme pemerintah melaksanakan program deredikalsasi melalui kementerian/lembaga meliputi kementerian hukum   dan   hak    asasi    manusia,    Kejaksaan Republik Indonesia dan Polri yang dikoordinasikan oleh oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Target dari program deredikalisasi meliputi tersangka, terdakwa, terpidana, dan narapidana terorisme serta mantan narapidana terorisme dan orang atau kelompok orang yang terpapar paham radikal.

Baca Juga :  Tujuh Tersangka Kerusuhan Disarankan Dipulangkan

   Menurut Wakil Presiden Republik Indonesia Ma’ruf Amin penanggulangan radikalisme itu harus dilakukan secara komprehensif, dari hulu ke hilir, dan juga struktural maupun kultural. Tidak hanya menangani dari hilir, yaitu deradikalisasi, tapi juga harus melakukan kegiatan penangkalan dengan kontra-radikalisme untuk mencegah orang-orang supaya tidak terpapar.

Program deradikalisasi yang dilakukan kepada tersangka, terdakwa, terpidana, dan narapidana tindak pidana terorisme diberikan melalui tahapan Identifikasi dan penilaian  meliputi kegiatan inventarisasi data tersangka, wawancara, pengamatan, dan klarifikasi; dan pengolahan data serta monitoring dan evaluasi perilaku terdakwa, terpidana, atau narapidana;

  Rehabilitasi dapat berbentuk konseling individu dan pelaksanaan kelas kelompok. Rehabilitasi diberikan dengan materi paling sedikit mengenai psikologi, keagamaan, wawasan kebangsaan, serta hukum dan peraturan perundang-undangan.

   Reedukasi dalam bentuk penguatan pemahaman keagamaan dan pendidikan karakter.

  Reintegrasi sosial dilakukan dalam bentuk penguatan rasa percaya diri untuk kembali kepada masyarakat agar tidak takut atau bergantung lagi dengan kelompok atau jaringannya dan peningkatkan keterampilan untuk dapat menghidupi dirinya dan keluarganya.

   Program deradikalisasi kepada mantan narapidana terorisme dan orang atau kelompok orang yang terpapar paham radikal melalui tahapan pembinaan wawasan kebangsaan dapat berupa kegiatan bela negara dan pemantapan nilai kebangsaan.

   Pembinaan wawasan keagamaan dapat berupa pemahaman toleransi beragama dan harmoni sosial dalam kerangka kesatuan dan persatuan nasional; 

Program kewirausahaan dapat berupa pembimbingan, pendampingan, dan pendayagunaan dalam bidang berbagai bidang.

Refleksi :

  Peristiwa tanggal 5 Februari yang sekarang diperingati sebagai Hari Pekabaran Injil yang ke 165 dan juga bertepatan dengan milad HMI yang ke 73 di Papua ini merupakan refleksi yang nyata bagi kehidupan bermasyarakat, sosial dan beragama untuk saling menopang dan membuka tabir kehidupan di wilayah Papua dan Maluku Utara dan menjadi tauladan karena  dibalik  sebuah misi itu banyak unsur yang ikut mempengaruhi kehidupan kita bersama dan sebagai generasi muda     kita     tidak     boleh     lupa,      sebagai momentum untuk mengisi  sisi   yang    humanis dan penuh kekerabatan bersama, namun disisi lain ada beberapa fakta yang tidak bisa kita abaikan dalam kehidupan sekarang yaitu adanya ancaman perpecahan antar saudara dan kerabat, lalu bagaimanakah budaya satu tungku tiga batu, apakah masih tetap utuh atau sudah terpecah bercerai-berai, padahal papua menjadi icon kerukunan antar umat beragama dan terlebih lagi saat ini wilayah papua menjadi fokus perhatian bangsa melalui    berbagai    kebijakan    negara.  Oleh karena itu momen ini kita coba refleksikan rasa hubungan manusia yang humanis antar sesama yang coba dihancurkan oleh para pihak yang tidak bertanggung jawab.

Harapan Kapolda:

Kader HMI digambarkan sebagai pemimpin yang dibutuhkan oleh umat untuk menjadi negarawan yang “problem solver” yang memiliki ilmu pengetahuan diperlukan pula adanya iman dan akhlak sehingga mampu melaksanakan tugas kerja kemanusiaan (amal saleh). 

Atas dasar itu semua, kita harus berpijak pada rumusan awal tujuan HMI yakni                             (1) mempertahankan NKRI dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia, (2) menegakan dan mengembangkan ajaran Islam.  Tentunya semua ini mengindikasikan keterlibatan HMI dalam memperbaiki kehidupan kemanusiaan di berbagai dimensi pada aspek spiritual dan material.

Pertanyaan selanjutnya, sejauhmana peran dan fungsi HMI guna tetap menjadi kiblat gerakan dalam mengemban tugas mulia ini? Bagaimanakah formulasi gerakan HMI dalam membangun bangsa dan negara? Lalu adakah ikhtiar HMI dalam memperjuangkan itu semua? Karena HMI tidak pernah sendiri di dalam kebenaran.

  Untuk merealisasikan aspek nilai ke-islaman dan ke-Indonesiaan maka, HMI harus kembali kepada “khittohnya” (garis perjuangan dalam mewujudkan misi dan cita-citanya) sebagai mahasiswa yang berorientasi kepada keilmuan sebagai insan akademis, pecipta dan pengabdi yang bernafaskan Islami dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi allah swt.

Peran HMI dalam menangkal radikalisme dan terorisme

• membumikan kajian keislaman dan keindonesiaan yang moderat, inklusif, transformatif dan kritis di mana dimensi 

Keislaman, kebangsaan dan kemanusiaan berada dalam tarikan nafas yang satu.

• mampu memberikan gagasan- gagasan baru, ide-ide  cemerlang,dan aktivitas-aktivitas yang akan dapat memberikan manfaat bagi banyak orang.

• mentradisikan kegiatan dialog dan sharing pemahaman dan pembelajaran iman baik pada agamanya sendiri maupun orang lain.

• menyuarahan rahmatan lil alamin  (rahmat bagi semesta)  melalui berbagai media.

Demikian stadium general saya ini.  Semoga Tuhan yang  maha  kuasa senantiasa memberikan perlindungan, bimbingan dan pencerahan  kepada   kita   sekalian,   sehingga kita dimampukan dan dikuatkan dalam kebersamaan untuk  mengemban tugas pengabdian kepada masyarakat Papua,  bangsa  dan  negara Indonesia. ***

Berita Terbaru

Artikel Lainnya