Jhon Gobay: Ini Menjadi Preseden Buruk Penegakan Hukum Atas Pelanggaran HAM di Papua
JAYAPURA – Mayor Infantri Purnawirawan Isak Sattu divonis bebas dalam sidang di Pengadilan Negeri Makassar pada Kamis (8/12). Mantan Pabung (perwira penghubung) tersebut merupakan terdakwa tunggal dalam kasus pelanggaran HAM berat Paniai pada 2014 silam.
Ada pun sidang agenda pembacaan putusan digelar di ruang Bagir Manan PN Makassar memakan waktu selama 4 jam waktu setempat dan disiarkan secara virtual lewat akun youtube resmi PN Makassar.
Isak sendiri sebelumnya dituntut 10 tahun penjara, hingga pada akhirnya divonis bebas. Isak menghadiri persidangan Kamis kemarin dengan menggunakan batik bermotif dan celana kain hitam.
Dalam sidang kemarin, Majelis hakim meyakini Isak tak terbukti melakukan pelanggaran HAM dalam kasus Paniai. Dengan demikian, Isak Sattu bisa terus menghirup udara bebas.
“Mengadili, menyatakan terdakwa Mayor Infantri Purnawirawan Isak Sattu tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran HAM berat sebagaimana dalam dakwaan kesatu dan kedua,” kata Hakim Ketua Sutisna Sawati dalam persidangan tersebut.
Sebelumnya, Isak Sattu dituntut penjara 10 tahun dalam kasus pelanggaran HAM berat Paniai Berdarah. Namun Isak divonis bebas karena dakwaan pertama Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Juncto Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) tak terbukti.
Kemudian dakwaan kedua Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Juncto Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM juga tak terbukti.
Divonis bebasnya Isak Sattu membuat ketidak percayaan publik terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Indonesia dan dianggap sebatas formalitas.
Koalisi LSM untuk Kasus Paniai Berdarah Latifah Anum Siregar menyatakan, sejak awal pihaknya termasuk masyarakat Papua sudah meragukan proses ini. Sebab, hanya 1 terdakwa. Padahal, tidak ada pengadilan HAM dengan 1 terdakwa.
“Pelaku peristiwa pelanggaran HAM itu berlapis-lapis, ada pemilik kebijakan, pemilik komando, pelaku di lapangan dan pelaku pembiaran setidaknya ada empat lapis,” kata Anum usai mengikuti proses persidangan di Makassar.
Disampaikan Anum, saat hakim membacakan peristiwa pelanggaran HAM dimana ada permasalahan peristiwanya. Apakah peristiwa itu terbukti atau pelanggaran HAM atau bukan dan di sisi lainnya siapa yang bertanggung jawab dalam hal ini pertanggung jawaban secara komando.
“Ketika hakim menguraikan perbuatannya itu terbukti sebagai perbuatan pelanggaran HAM dari unsur adanya pembunuhan, unsur serangan yang ditujukan langsung terhadap masyarakat sipil, unsur sistematis dan meluas. Jika unsur sistematis saja sudah terpenuhi maka secara otomatis unsur itu sudah terpenuhi,” bebernya.
Dikatakan, dalam kasus Paniai peristiwanya sudah diputuskan sebagai peristiwa pelanggaran HAM. Hanya saja, dalam persidangan hakim membuat pertimbangan siapa yang bertanggung jawab.
Disampaikan Anum, dari lima majelis hakim tiga diantaranya memutuskan terdakwa tidak bertanggung jawab sementara dua hakim lainnya memutuskan terdakwa Isak harus bertanggung jawab atas pelanggaran HAM Paniai. Putusan itu saja ada pendapatan yang berbeda di tingkat majelis hakim.
“Tiga hakim menyampaikan terdakwa tidak memiliki pertanggungjawaban dalam peristiwa pelanggaran HAM Paniai dan ini terasa lucu. Padahal, terbukti ada peristiwa pelanggaran HAM tapi tidak ada pelakunya,” tuturnya.
Harusnya kata Anum, jika ada peristiwa pelanggaran HAM maka harus ada pelakunya. Hanya saja, tiga hakim megatakan dia tidak memiliki pertanggungjawaban komando makanya putusan terdakwa bebas kendati dua hakim lainnya tidak sepakat.
“Demi memberikan keadilan dan kepastian hukum harusnya pemerintah melalui pengadilan melalui Kejaksaan Agung menuntut orang orang yang diduga sebagai pelaku untuk diproses, disidik dan dituntut ke dalam pengadilan HAM,” tegasnya.
“Jika kita ikuti proses ini sejak awal, sudah tergambar dengan jelas pelaku pelaku dalam kategori itu sudah ada. Yang menarik dalam pertimbangan Majelis Hakim mengatakan ada saski saski yang diduga memberikan keterangan yang berbelit belit untuk menutupi institusinya,” ucapnya.
Ketua Kelompok Khusus DPR Papua, Jhon Gobay mengaku prihatin karena ini akan menjadi preseden buruk terhadap upaya penegakan hukum atas pelanggaran HAM di Papua. Putusan terhadap terdakwa diyakini hanya menambah Panjang catatan kelam orang Papua atas keseriusan pemerintah menuntaskan kasus pelanggaran HAM itu sendiri.
Jhon sendiri menyampaikan banyak terima kasih dan penghargaan kepada para pihak yang terus mengawal kasus Paniai hingga hari ini. “Kita mendengarkan semua keputusan yang memang sangat mengecewakan semua. Sejak terjadinya kasus Paniai kami juga mengalami banyak kendala di lapangan yang memang sengaja dirancang oleh kelompok tertentu untuk mengelabui dan juga menutup kasus Paniai,” kata Gobay, Kamis (8/12).
Jhon terlihat kecewa dengan Pengadilan HAM Makassar dan menyampaikan semoga semua pihak yang menghasilkan putusan tersebut bias hidup tenang bersama dengan arwah 4 orang yang ditembak di Paniai dan dikubur di lapangan Karel gobay. “Ada yang tewas dan banyak yang terluka pada 8 Desember 2014 dan kini putusannya sangat mengecewakan. Kami berdoa agar upaya para korban untuk menghadirkan komisi tinggi HAM PBB di tanah Papua dibukakan jalan oleh Tuhan dan semoga kasus ini bisa dibuka kembali,” harapnya.
Sementara itu dalam memperingati tewasnya mahasiswa dan pelajar Paniai tahun 2014 lalu, maka mahasiswa Paniai di Jayapura menggelar aksi pemasangan lilin dan diskusi soal kasus tersebut di Asrama, Mahasiswa Paniai Perumnas III, Waena Kamis (8/12) kemarin.
Dalam aksi tersebut mahasiswa melakukan pemasangan lilin berbentuk salip dan mengelilinginya sambil mengenang kematian siswa pelajar SMA akibat peristiwa paniai tersebut sejak 8 desember 2014 lalu. (fia/ade/oel/wen)