Ia menilai situasi ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak pilih warga negara, yang dalam konteks pemilu termasuk bentuk pelanggaran administratif. Menurutnya, amar Putusan MK No. 304 sebenarnya dimaksudkan untuk menjaga integritas PSU, mencegah manipulasi daftar pemilih, dan memastikan hanya pemilih sah yang memberikan suara.
“Namun, jika dalam pelaksanaannya penyelenggara tidak melakukan upaya maksimal untuk memfasilitasi hak pilih warga yang sah, maka niat baik dari putusan MK justru berubah menjadi pembatasan yang merugikan rakyat. Ini dapat dinilai sebagai kelalaian yang berpotensi memengaruhi legitimasi hasil PSU,” tegasnya.
Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa jika sampai persoalan ini berujung menjadi sengketa di Mahkamah Konstitusi, maka hal itu mencerminkan ketidakseriusan negara dalam mengelola penyelenggaraan Pilkada Papua.
“Pilkada adalah agenda demokrasi yang harusnya menjamin partisipasi rakyat secara penuh. Jika sampai berulang kali disengketakan hanya karena hak pilih tidak difasilitasi, ini menunjukkan lemahnya komitmen negara,” ujarnya.