JAYAPURA-Gencarnya isu pemekaran Provinsi Papua seiring dengan kontak senjata yang terus terjadi antara TNI-Polri dan TPN-OPM atau kata lain Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di beberapa daerah di Papua, menjadi perhatian Komnas HAM Perwakilan Papu.
Kepala Komnas HAM Papua Frits Ramandey menyampaikan, pemekaran menjadi penting untuk memperpendek rentang kendali, tapi juga bagaimana melakukan penerobosan keterisolasian.
Tapi yang perlu diingat kata Frits, pemekaran jangan sampai menjadi problem marjinalisasi orang asli Papua (OAP). Karena akan menindas nilai-nilai identitas kebudayaan, dan itu sebagai pelanggaran HAM. Seharusnya, nilai-nilai kebudayaan itu harus dilestarikan dan dijaga oleh negara.
“Pemekaran jangan sampai menjadi problem marjinalisasi orang asli Papua. Jangan sampai menimbulkan dampak pelanggaran HAM,” tegas Frits kepada Cenderawasih Pos, Selasa (8/2).
Dikatakan Frits, pemekaran ada faktor untungnya, misalnya memperpendek isolasi pembangunan. Menjadi pintu lapangan kerja dan memudahkan daerah-daerah yang dulunya terisolasi bisa terkoneksi baik secara komunikasi. Tapi juga akan tekoneksi secara infrastruktur.
Sementara dampak buruk dari pemekaran lanjut Frits, bisa saja orang asli di wilayah-wilayah pemekaran menjadi termarjinalisasi dan ini yang harus dipikirkan.
“Jangan sampai pemekaran ini kemudian membuat adanya migrasi dan orang lokal menjadi terpinggirkan. Itu harus dipertimbangkan. Pemekaran bukan sekedar keinginan politiknya saja, tapi bagaimana mempertimbangkan identitas orang lokal tapi juga mempertimbangkan alam di sekitar orang setempat,” tuturnya.
Lanjut Frits, jika pemekaran tidak mempertimbangkan aspek ekologi dan sosial budaya, itu bisa menimbulkan problem HAM. Pengalaman membuktikan banyak kabupaten pemekaran yang sebenarnya aktivitas pemerintahannya tidak berjalan maksimal, pelayanan publik yang tidak berjalan maksimal dan ini harus menjadi perhatian.
Terkait dengan pemekaran, Komnas HAM menurut Frits tidak dalam posisi menyetujui atau menolak. Tapi Komnas HAM mengajukan beberapa pertimbangan untuk menjadi pemikiran.
“Kami tetap melakukan pemantauan dan penyelidikan terhadap proses ini, misalnya sekarang dalam kasus konflik Intan Jaya terkait blok Wabu yang belum dibicarakan secara baik dan kemidian menjadi isu publik. Hingga munculnya kelompok sipil bersenjata dan melakukan aksi kekerasan sebagai upaya penolakan atas blok Wabu itu,” paparnya.
Dikatakan Frits, ada dua peristiwa yang muncul pasca isu pemekaran. Peristiwa di Puncak dan Intan Jaya. “Ketika saya berkomunikasi dengan kelompok ini, mereka menolak pemekaran. Problemnya karena belum ada sosialisasi dan komunikasi dengan masyarakat sipil, perlu adanya penataan penyelenggaraan birokrasi, komunikasi dan sosialisasi. Sehingga OAP bisa mengetahui itu,” pungkasnya. (fia/nat)