Saturday, April 20, 2024
24.7 C
Jayapura

Tarik Minat Murid dengan Teknik Membaca Nyaring

Sabaniah dan Ratihniati Meningkatkan Literasi di Pedalaman

Dua Guru perbatasan, Ratihniati (kiri) dan Sabaniah (kanan) menunjukan aplikasinya usai diskusi Temu Inovasi, Kamis (3/10/2019) di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jalan Sudirman Jakarta–FOTO : MUHAMAD ALI/JAWAPOS

Mengabdi di daerah pedalaman dan provinsi baru, Kalimantan Utara, tidak membuat Sabaniah dan Ratihniati mengajar ala kadarnya. Mereka berupaya memanfaatkan teknologi untuk mengajarkan hal yang paling dasar. Yakni, membaca.

M. Hilmi S.-Zalzilatul Hikmia, Jakarta, Jawa Pos

SUASANA kelas mendadak anteng. Begitu aplikasi Let’s Read ditayangkan melalui proyektor, pandangan seluruh siswa tertuju pada layar di depan kelas. Seketika itu Sabaniah membacakan cerita untuk anak-anak.

Seperti itulah cara Sabaniah meningkatkan kemampuan literasi atau membaca anak didiknya. Perempuan kelahiran Malinau, 23 Juli 1978, tersebut tidak terpaku pada cara mengajar membaca model lama. 

’’Secara tidak langsung, mereka belajar (membaca, Red) ta-ta dan ti-ti,’’ kata Sabaniah saat diundang untuk presentasi di kompleks Kemendikbud beberapa waktu lalu.

Aplikasi Let’s Read digagas Books for Asia yang dikelola The Asia Foundation. Di dalamnya, cerita disajikan dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Juga dalam bahasa Jawa, Minangkabau, Sunda, serta Bali. Saat ini aplikasi tersebut sudah diunduh hingga lebih dari 10 ribu di Google Play Store Android.

Sabaniah diundang ke Jakarta karena dinilai berhasil meningkatkan kemampuan literasi anak didiknya dengan menggunakan teknologi. Dia bercerita mulai dirinya mendapatkan SK sebagai guru PNS pada 2009. Dia baru lima bulan menjadi guru di SDN 005 Malinau Kota. Sebelumnya, dia lama mengajar di SDN 008 Malinau Kota.

Perempuan yang mengajar sejak 2008 itu menyatakan begitu terbantu oleh aplikasi Let’s Read. Di dalam aplikasi tersebut tersaji lebih dari 200 cerita pendek yang dia bacakan di kelas. Penyajian cerita juga disesuaikan dengan kelompok kelas.

Untuk kelompok kelas bawah seperti kelas I sampai III SD, cerita disajikan secara sederhana. Juga dilengkapi gambar yang membuat siswa semakin tertarik. ’’Ceritanya banyak yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari,’’ ungkapnya.

Sabaniah mencontohkan ketika mengajar kelas I di SD 008 Malinau Kota. Waktu itu, banyak anak didiknya yang belum bisa membaca. Pada awal-awal mulainya pembelajaran, Sabaniah tidak langsung mengajari anak-anaknya membaca. Namun, dia membacakan cerita dari aplikasi tersebut.

Ternyata, responsnya luar biasa. Dia melihat anak-anak cukup antusias. Sambil mengamati layar, anak-anak juga dikenalkan cara membaca. ’’Ketika ada gambar awan hitam, itu dikira cerita hantu. Padahal, itu cerita anak kecil yang bermain hujan,’’ jelasnya.

Baca Juga :  Warga Mengaku Resah Karena Suka Nyolong

Sabaniah juga memiliki sistem evaluasi yang melibatkan orang tua. Setiap tiga bulan, dia mengundang orang tua siswa ke sekolah. Hasil penilaian tengah semester disampaikan kepada orang tua. Informasi ketika ada siswa yang belum meningkat dalam belajar dan mengalami kesulitan disampaikan kepada orang tua.

Dia menyatakan, untuk kelancaran belajar membaca, diperlukan kerja sama guru dengan orang tua. ’’Supaya anak di rumah tetap diajar. Menulis satu kata setiap malam,’’ katanya. 

Tahap berikutnya adalah menugasi anak menulis dengan mendikte. Secara perlahan, anak-anak akan lancar dalam membaca dan menulis.

Persoalan yang sama terjadi di SDN 023 Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Ratihniati, 31, guru kelas II, harus berjuang mati-matian untuk membantu anak-anak mengejar ketertinggalan mereka dalam membaca.

Ingatannya melayang pada kejadian setahun lalu. Wisnu, 8, terdiam di bangkunya. Menunduk dalam. Mencermati huruf demi huruf di buku pelajarannya. Tak ada suara yang keluar dari mulut siswa SDN 023 Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, tersebut.

Ratihniati, sang wali murid, pun dengan sabar menunggu. Tak memburunya agar segera mengeja deretan kata di buku tersebut. Namun, betapa kagetnya dia karena yang justru terdengar di telinganya adalah isakan. Wisnu menangis. Saat dihampiri, air matanya sudah membasahi buku pelajarannya.

’’Hati saya teriris. Seolah membaca adalah sesuatu yang menyakitkan sampai membuat dia ketakutan dan menangis,’’ kenang perempuan yang akrab disapa Ratih itu.

Sudah kelas II, tapi lidah Wisnu masih kelu dengan huruf-huruf alfabet. Beragam pertanyaan pun muncul di benak Ratih soal kondisi anak didiknya tersebut. Seharusnya, pengenalan huruf dan kata sudah khatam ketika di kelas I. ’’Dan ini tidak satu. Tahun lalu tiga anak. Tahun ini nambah, 12 anak,’’ ungkapnya.

Sebagai seorang pendidik, tentu Ratih sangat terbebani. Sebab, kegiatan belajar-mengajar tidak bisa berjalan mulus dengan adanya anak-anak yang belum bisa membaca. Dia pun mulai melakukan beragam cara untuk membantu mereka belajar membaca.

Saat pulang ke rumah, dia langsung mengumpulkan karton dan kardus. Duduk di ruang tamu, Ratih membuat rangkaian huruf A sampai Z. Tak lupa, dia menambahkan warna-warna terang dengan harapan murid-muridnya lebih mudah memahami.’’Dengan buku saja ternyata tak ada hasilnya. Makanya saya kepikiran bikin alat peraga,’’ tuturnya.

Baca Juga :  KKB Diduga Lakukan Kekerasan Seksual ke Anak

Esoknya, dengan semangat 45, Ratih masuk kelas. Mencoba membimbing mereka dengan alat peraga yang dibuatnya seharian. Sayang, cara itu pun tak mampu membantu anak didiknya mengejar ketertinggalan. Mereka masih sulit mengenal huruf, mengeja kata, dan membaca kalimat.

Namun, dia tak mau menyerah. Akhirnya, Ratih memutuskan untuk memberikan kelas tambahan bagi mereka yang belum bisa membaca. Kelas dilaksanakan seusai sekolah. Siswa wajib tinggal di kelas untuk belajar bersamanya.

Dalam kelas tersebut, Ratih lebih mengklasifikasikan murid-muridnya. Mana yang tak tahu huruf, tak bisa mengeja, dan belum lancar menyambung kata. Dengan begitu, dia lebih fokus ke setiap anak tersebut. ’’Kalau di kelas reguler, kan agak susah ya,’’ ujar perempuan kelahiran 11 Juli 1988 tersebut.

Beberapa minggu berlalu. Ternyata, tak ada perubahan signifikan pada murid-muridnya. Ratih pun mulai stres. Beban di dadanya semakin terasa mengimpit. Dia merasa gagal. 

Sampai-sampai, dia berniat meminta pindah kelas. Tak lagi mengajar di kelas rendah ke kelas tinggi. ’’Saya berpikir di kelas tinggi pasti lebih enak. Paling tidak, mereka sudah lancar membaca,’’ tuturnya.

Namun, hati nuraninya mengatakan berbeda. Ratih tak sanggup meninggalkan anak-anak itu. Dia merasa bertanggung jawab penuh atas masa depan mereka. ’’Apalagi, saya kan sudah digaji pemerintah untuk mencerdaskan anak-anak Indonesia ya,’’ tegasnya.

Doa dan kerja kerasnya akhirnya terjawab. The Asia Foundation hadir ke sekolahnya. Mengenalkan aplikasi Let’s Read yang membuat kegiatan belajar-mengajar lebih menyenangkan. Menggunakan proyektor yang menampilkan video. Lalu, ada cerita-cerita anak yang dilengkapi gambar-gambar menarik.

Ratih awalnya gamang. Dia ragu apakah cara itu bisa menggugah minat murid-murid untuk belajar. ’’Sebab, menumbuhkan minat ini yang paling susah,’’ ujarnya.

Siapa sangka, para murid sangat tertarik. Aplikasi itu sukses menyedot perhatian mereka. Mereka jadi penasaran dan berupaya belajar lagi karena ingin menikmati cerita-cerita di aplikasi. ’’Lebih cepat belajarnya. Apalagi, ada PDF yang bisa di-print untuk belajar di rumah,’’ jelasnya.

Kini Wisnu pun sudah bisa membaca. Meski masih terbata-bata, setidaknya dia tak lagi menangis ketika berhadapan dengan buku pelajaran. Bahkan, ketika Wisnu sudah naik ke kelas III, Ratih masih mendapat laporan dari dia tentang progres membacanya. ’’Kini dia sudah tak pendiam. Lebih ceria,’’ ungkap Ratih. (*/c5/ayi/JPG)

Sabaniah dan Ratihniati Meningkatkan Literasi di Pedalaman

Dua Guru perbatasan, Ratihniati (kiri) dan Sabaniah (kanan) menunjukan aplikasinya usai diskusi Temu Inovasi, Kamis (3/10/2019) di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jalan Sudirman Jakarta–FOTO : MUHAMAD ALI/JAWAPOS

Mengabdi di daerah pedalaman dan provinsi baru, Kalimantan Utara, tidak membuat Sabaniah dan Ratihniati mengajar ala kadarnya. Mereka berupaya memanfaatkan teknologi untuk mengajarkan hal yang paling dasar. Yakni, membaca.

M. Hilmi S.-Zalzilatul Hikmia, Jakarta, Jawa Pos

SUASANA kelas mendadak anteng. Begitu aplikasi Let’s Read ditayangkan melalui proyektor, pandangan seluruh siswa tertuju pada layar di depan kelas. Seketika itu Sabaniah membacakan cerita untuk anak-anak.

Seperti itulah cara Sabaniah meningkatkan kemampuan literasi atau membaca anak didiknya. Perempuan kelahiran Malinau, 23 Juli 1978, tersebut tidak terpaku pada cara mengajar membaca model lama. 

’’Secara tidak langsung, mereka belajar (membaca, Red) ta-ta dan ti-ti,’’ kata Sabaniah saat diundang untuk presentasi di kompleks Kemendikbud beberapa waktu lalu.

Aplikasi Let’s Read digagas Books for Asia yang dikelola The Asia Foundation. Di dalamnya, cerita disajikan dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Juga dalam bahasa Jawa, Minangkabau, Sunda, serta Bali. Saat ini aplikasi tersebut sudah diunduh hingga lebih dari 10 ribu di Google Play Store Android.

Sabaniah diundang ke Jakarta karena dinilai berhasil meningkatkan kemampuan literasi anak didiknya dengan menggunakan teknologi. Dia bercerita mulai dirinya mendapatkan SK sebagai guru PNS pada 2009. Dia baru lima bulan menjadi guru di SDN 005 Malinau Kota. Sebelumnya, dia lama mengajar di SDN 008 Malinau Kota.

Perempuan yang mengajar sejak 2008 itu menyatakan begitu terbantu oleh aplikasi Let’s Read. Di dalam aplikasi tersebut tersaji lebih dari 200 cerita pendek yang dia bacakan di kelas. Penyajian cerita juga disesuaikan dengan kelompok kelas.

Untuk kelompok kelas bawah seperti kelas I sampai III SD, cerita disajikan secara sederhana. Juga dilengkapi gambar yang membuat siswa semakin tertarik. ’’Ceritanya banyak yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari,’’ ungkapnya.

Sabaniah mencontohkan ketika mengajar kelas I di SD 008 Malinau Kota. Waktu itu, banyak anak didiknya yang belum bisa membaca. Pada awal-awal mulainya pembelajaran, Sabaniah tidak langsung mengajari anak-anaknya membaca. Namun, dia membacakan cerita dari aplikasi tersebut.

Ternyata, responsnya luar biasa. Dia melihat anak-anak cukup antusias. Sambil mengamati layar, anak-anak juga dikenalkan cara membaca. ’’Ketika ada gambar awan hitam, itu dikira cerita hantu. Padahal, itu cerita anak kecil yang bermain hujan,’’ jelasnya.

Baca Juga :  Reskrim Polresta Tunggu Balasan dari Jaksa

Sabaniah juga memiliki sistem evaluasi yang melibatkan orang tua. Setiap tiga bulan, dia mengundang orang tua siswa ke sekolah. Hasil penilaian tengah semester disampaikan kepada orang tua. Informasi ketika ada siswa yang belum meningkat dalam belajar dan mengalami kesulitan disampaikan kepada orang tua.

Dia menyatakan, untuk kelancaran belajar membaca, diperlukan kerja sama guru dengan orang tua. ’’Supaya anak di rumah tetap diajar. Menulis satu kata setiap malam,’’ katanya. 

Tahap berikutnya adalah menugasi anak menulis dengan mendikte. Secara perlahan, anak-anak akan lancar dalam membaca dan menulis.

Persoalan yang sama terjadi di SDN 023 Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Ratihniati, 31, guru kelas II, harus berjuang mati-matian untuk membantu anak-anak mengejar ketertinggalan mereka dalam membaca.

Ingatannya melayang pada kejadian setahun lalu. Wisnu, 8, terdiam di bangkunya. Menunduk dalam. Mencermati huruf demi huruf di buku pelajarannya. Tak ada suara yang keluar dari mulut siswa SDN 023 Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, tersebut.

Ratihniati, sang wali murid, pun dengan sabar menunggu. Tak memburunya agar segera mengeja deretan kata di buku tersebut. Namun, betapa kagetnya dia karena yang justru terdengar di telinganya adalah isakan. Wisnu menangis. Saat dihampiri, air matanya sudah membasahi buku pelajarannya.

’’Hati saya teriris. Seolah membaca adalah sesuatu yang menyakitkan sampai membuat dia ketakutan dan menangis,’’ kenang perempuan yang akrab disapa Ratih itu.

Sudah kelas II, tapi lidah Wisnu masih kelu dengan huruf-huruf alfabet. Beragam pertanyaan pun muncul di benak Ratih soal kondisi anak didiknya tersebut. Seharusnya, pengenalan huruf dan kata sudah khatam ketika di kelas I. ’’Dan ini tidak satu. Tahun lalu tiga anak. Tahun ini nambah, 12 anak,’’ ungkapnya.

Sebagai seorang pendidik, tentu Ratih sangat terbebani. Sebab, kegiatan belajar-mengajar tidak bisa berjalan mulus dengan adanya anak-anak yang belum bisa membaca. Dia pun mulai melakukan beragam cara untuk membantu mereka belajar membaca.

Saat pulang ke rumah, dia langsung mengumpulkan karton dan kardus. Duduk di ruang tamu, Ratih membuat rangkaian huruf A sampai Z. Tak lupa, dia menambahkan warna-warna terang dengan harapan murid-muridnya lebih mudah memahami.’’Dengan buku saja ternyata tak ada hasilnya. Makanya saya kepikiran bikin alat peraga,’’ tuturnya.

Baca Juga :  DPRP Prediksi ASN dari Luar Papua Masuk ke Tiga Wilayah DOB

Esoknya, dengan semangat 45, Ratih masuk kelas. Mencoba membimbing mereka dengan alat peraga yang dibuatnya seharian. Sayang, cara itu pun tak mampu membantu anak didiknya mengejar ketertinggalan. Mereka masih sulit mengenal huruf, mengeja kata, dan membaca kalimat.

Namun, dia tak mau menyerah. Akhirnya, Ratih memutuskan untuk memberikan kelas tambahan bagi mereka yang belum bisa membaca. Kelas dilaksanakan seusai sekolah. Siswa wajib tinggal di kelas untuk belajar bersamanya.

Dalam kelas tersebut, Ratih lebih mengklasifikasikan murid-muridnya. Mana yang tak tahu huruf, tak bisa mengeja, dan belum lancar menyambung kata. Dengan begitu, dia lebih fokus ke setiap anak tersebut. ’’Kalau di kelas reguler, kan agak susah ya,’’ ujar perempuan kelahiran 11 Juli 1988 tersebut.

Beberapa minggu berlalu. Ternyata, tak ada perubahan signifikan pada murid-muridnya. Ratih pun mulai stres. Beban di dadanya semakin terasa mengimpit. Dia merasa gagal. 

Sampai-sampai, dia berniat meminta pindah kelas. Tak lagi mengajar di kelas rendah ke kelas tinggi. ’’Saya berpikir di kelas tinggi pasti lebih enak. Paling tidak, mereka sudah lancar membaca,’’ tuturnya.

Namun, hati nuraninya mengatakan berbeda. Ratih tak sanggup meninggalkan anak-anak itu. Dia merasa bertanggung jawab penuh atas masa depan mereka. ’’Apalagi, saya kan sudah digaji pemerintah untuk mencerdaskan anak-anak Indonesia ya,’’ tegasnya.

Doa dan kerja kerasnya akhirnya terjawab. The Asia Foundation hadir ke sekolahnya. Mengenalkan aplikasi Let’s Read yang membuat kegiatan belajar-mengajar lebih menyenangkan. Menggunakan proyektor yang menampilkan video. Lalu, ada cerita-cerita anak yang dilengkapi gambar-gambar menarik.

Ratih awalnya gamang. Dia ragu apakah cara itu bisa menggugah minat murid-murid untuk belajar. ’’Sebab, menumbuhkan minat ini yang paling susah,’’ ujarnya.

Siapa sangka, para murid sangat tertarik. Aplikasi itu sukses menyedot perhatian mereka. Mereka jadi penasaran dan berupaya belajar lagi karena ingin menikmati cerita-cerita di aplikasi. ’’Lebih cepat belajarnya. Apalagi, ada PDF yang bisa di-print untuk belajar di rumah,’’ jelasnya.

Kini Wisnu pun sudah bisa membaca. Meski masih terbata-bata, setidaknya dia tak lagi menangis ketika berhadapan dengan buku pelajaran. Bahkan, ketika Wisnu sudah naik ke kelas III, Ratih masih mendapat laporan dari dia tentang progres membacanya. ’’Kini dia sudah tak pendiam. Lebih ceria,’’ ungkap Ratih. (*/c5/ayi/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya