JAYAPURA– Direktur Eksekutif Papuan Observatory for Human Rights (POHR), Thomas Ch. Syufi, meminta Presiden Prabowo Subianto menghargai suara-suara masyarakat Papua yang mayoritas menolak Program Transmigrasi yang digagas oleh Menteri Transmigrasi. Sebab program tersebut sangat mengancam kehidupan masyarakat orang asli Papua.
“Saya mihat program ini, praktek politik etis zaman belanda yang tidak relevan dengan kehidupan masyarakat Papua saat ini,” ujarnya, Selasa (5/11).
Akar persoalan di Papua saat ini disintegrasi hal ini terjadi karena ketidak adilan yang selama ini tergerus kepentingan elit politik. Mestinya pemerintah fokus pada penyelesaian kasus Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi sejak 1961 sampai sekarang.
“Bukan membuka program transmigras yang jelas-jelas, akan memperburuk kehidupan orang asli Papua,” tandasnya.
Ia menyebut program transmigrasi ini sudah dilakukan sejak masa orde baru, kenyataannya tidak memberikan dampak positif terhadap kehidupan masyarakat asli Papua. Papua masih menjadi provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi, masalah kesehatan mapun pendidikan yang masih rendah.
“Mestinya persoalan persoalan ini yang menjadi fokus pemerintah pusat, jangan lagi dengan cara yang mengarah pada proses genosida, yang jelas jelas akan memperburuk kehidupan masyarakat Papua,” ujar Thomas.
Tidak hanya itu satu sisi Papua saat ini telah menjadi Daerah Otonomi Baru. Oleh sebab itu mestinta pemerintah menghargai UU Otsus. Pasal 61 ayat (3) UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang telah diubah ke dalam UU No. 2 Tahun 2021 menyebutkan program transmigrasi hanya dapat dilakukan dengan persetujuan gubernur dan harus didasarkan pada Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi).
Bahkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2024Â tentang Pelaksanaan UU No. 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian menyebutkan bahwa, kawasan transmigrasi ditetapkan oleh Menteri. Penetapan kawasan tersebut harus berdasarkan usulan pemerintah daerah.
Dan merujuk pada Pasal 44 Perdasi Papua No. 24 Tahun 2008 tentang kependudukan menegaskan secara gamblang bahwa program transmigrasi hanya dapat dilakukan jika jumlah orang asli Papua telah mencapai 20 juta jiwa, tapi saat ini ditaksir jumlah OAP tak lebih dari 4 juta jiwa.
Ini akan menjadi ancaman serius dan nyata bagi eksistensi dan keberlangsungan hidup OAP. Oleh sebab itu, pemerintah pusat jangan melakukan kebijakan parsial transmigrasi yang terkesan arogan dan memaksa akan berdampak buruk dan eksesif terhadap OAP, terutama terjadinya depopulasi, deforestasi yang merupakan proses dehumanisasi itu sendiri.
Juga berdampak berdampak buruk dalam pertumbuhan ekonomi penduduk asli yang belum siap dgn segala sumber daya manusia dan teknologi, juga beban anggaran daerah di 6 provinsi yang sebagian besar dibebankan pada APBD, ini sangat luas dan masif dampak buruk bagi dari program transmigrasi.
“Jadi saya minta pusat segera mengurungkan niat atau menangguhkan niat atas program transmigrasi yang tidak memiliki dimensi humanisme dan tidak ada dasar hukumnya sama sekali,” imbuhnya. (rel/ade)
Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos
BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOSÂ https://www.myedisi.com/cenderawasihpos