Saturday, April 27, 2024
27.7 C
Jayapura

Seiring Papua Menjadi 6 Provinsi, Potensi Kekerasan akan Tumbuh Subur

JAYAPURA – Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) menyebut, kekerasan di Papua berdampak terjadinya pelanggaran HAM yang sampai saat ini, Pemerintah belum menemukan kerangka penyelesaiannya.

Seakan menjadi tontotan biasa, kendati ada korban jiwa berjatuhan meliputi aparat TNI/Polri masyarakat sipil, harta benda juga kekerasan mengakibatkan terjadi pegungsian di berbagai kabupaten kota di mana yang rentang terjadi konflik bersenjata.

Pengamat pemerintahan dan sosial politik Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Silas Papare Jayapura, Isak Wondiwoi,  S.IP , MPA, menyampaikan, perlu dirubah polah pendekatan penyelesaian konflik kekerasan di Papua dengan pendekatan dialog berbasis masyarakat akar rumput.

“Untuk mendengarkan apa sebenarnya yang diinginkan, sebab selama ini. Pemerintah hanya mengajak elit elit orang Papua untuk dialog di Jayapura tapi juga dialog di Jakarta dengan orang orang yang sama. Namun, tidak ada hasil siknifikan,” terang Isak pada acara diskusi publik kekerasan, HAM Politik dampak Internasional untuk Papua, di Jayapura, Kamis (3/8).

Baca Juga :  Prilaku dan Kepribadian Harus Berubah!

Lanjut Isak, justru yang ada hanya kekerasan makin masif di berbagai kabupaten di tanah Papua seperti di yapen, Intan Jaya, nduga, Puncak Jaya, puncak, sorong, maibrat dan beberapa daerah lainnya.

“Jika ini yang terjadi, itu artinya pemerintah gagal dalam mengelola konflik di Papua,” tegasnya yang sebagai nara sumber dalam diskusi publik yang diselengarakan oleh HI Uncen, Komnas HAM Papua dan Ikatan Alumni Stisipol Silas Papare Jayapura dengan tema, Kekerasan, HAM, Politik dan dampak Internasional untuk Papua.

Sementara itu, Melkior Weruin bagian penegakan HAM Komnas HAM RI Perwakilan Papua, dalam paparanya menunjukan bahwa sejak tahun 2023, telah ada 34 kasus yang di tangani Komnas HAM Papua.

“Salah satu kasus yang berimplikasih Internasional adalah penyanderaan pilot Philips Marthin warga negara Selandia Baru,” tegas Melkior Weruin.

Baca Juga :  Pemprov Bersedia Membayarkan Tunggakan Beasiswa Rp 116 M.

Ia menyebut, pilot bukankah tawanan biasa. Selain sebagsi pilot, dia juga warga negara asing. Sebabnya, proses penyandraan ini berdampak Internasional. Sehingga upaya pembebasan pilot harus memperhatikan keselamatan dalam perspektif HAM.

Melkior juga menyebutkan bahwa, 4 akar masalah konflik di Papua yang ditemukan LIPI. Hanya saja, pemerintah masih gagal mengiplementasikannya. Sebab itu, perlu didiskusikan termasuknya perlunya dukungan mahasiswa untuk mendorong perubahan yang lebih bermartabat di Papua.

Sementara itu, Kepala Komnas HAM RI Perwakilan Papua, Frits Ramandey menyampaikan,  kekerasan di Papua semakin subur di era otonomi khusus (Otsus) Papua dengan dua provinsi. Sehingga itu, perlu diberikan pendidikan edukasih publik tentang dampak kekerasan yang berimplikasih HAM.

“Seiring tanah Papua saat ini telah menjadi 6 provinsi, bukan tidak mungkin kekerasan bisa tumbuh subur ke depannya,” pungkasnya. (fia/wen)

JAYAPURA – Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) menyebut, kekerasan di Papua berdampak terjadinya pelanggaran HAM yang sampai saat ini, Pemerintah belum menemukan kerangka penyelesaiannya.

Seakan menjadi tontotan biasa, kendati ada korban jiwa berjatuhan meliputi aparat TNI/Polri masyarakat sipil, harta benda juga kekerasan mengakibatkan terjadi pegungsian di berbagai kabupaten kota di mana yang rentang terjadi konflik bersenjata.

Pengamat pemerintahan dan sosial politik Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Silas Papare Jayapura, Isak Wondiwoi,  S.IP , MPA, menyampaikan, perlu dirubah polah pendekatan penyelesaian konflik kekerasan di Papua dengan pendekatan dialog berbasis masyarakat akar rumput.

“Untuk mendengarkan apa sebenarnya yang diinginkan, sebab selama ini. Pemerintah hanya mengajak elit elit orang Papua untuk dialog di Jayapura tapi juga dialog di Jakarta dengan orang orang yang sama. Namun, tidak ada hasil siknifikan,” terang Isak pada acara diskusi publik kekerasan, HAM Politik dampak Internasional untuk Papua, di Jayapura, Kamis (3/8).

Baca Juga :  Sepakati Program Prioritas, Pemkab Sarmi Gelar Musrenbang

Lanjut Isak, justru yang ada hanya kekerasan makin masif di berbagai kabupaten di tanah Papua seperti di yapen, Intan Jaya, nduga, Puncak Jaya, puncak, sorong, maibrat dan beberapa daerah lainnya.

“Jika ini yang terjadi, itu artinya pemerintah gagal dalam mengelola konflik di Papua,” tegasnya yang sebagai nara sumber dalam diskusi publik yang diselengarakan oleh HI Uncen, Komnas HAM Papua dan Ikatan Alumni Stisipol Silas Papare Jayapura dengan tema, Kekerasan, HAM, Politik dan dampak Internasional untuk Papua.

Sementara itu, Melkior Weruin bagian penegakan HAM Komnas HAM RI Perwakilan Papua, dalam paparanya menunjukan bahwa sejak tahun 2023, telah ada 34 kasus yang di tangani Komnas HAM Papua.

“Salah satu kasus yang berimplikasih Internasional adalah penyanderaan pilot Philips Marthin warga negara Selandia Baru,” tegas Melkior Weruin.

Baca Juga :  PH Disarankan Ajukan PK

Ia menyebut, pilot bukankah tawanan biasa. Selain sebagsi pilot, dia juga warga negara asing. Sebabnya, proses penyandraan ini berdampak Internasional. Sehingga upaya pembebasan pilot harus memperhatikan keselamatan dalam perspektif HAM.

Melkior juga menyebutkan bahwa, 4 akar masalah konflik di Papua yang ditemukan LIPI. Hanya saja, pemerintah masih gagal mengiplementasikannya. Sebab itu, perlu didiskusikan termasuknya perlunya dukungan mahasiswa untuk mendorong perubahan yang lebih bermartabat di Papua.

Sementara itu, Kepala Komnas HAM RI Perwakilan Papua, Frits Ramandey menyampaikan,  kekerasan di Papua semakin subur di era otonomi khusus (Otsus) Papua dengan dua provinsi. Sehingga itu, perlu diberikan pendidikan edukasih publik tentang dampak kekerasan yang berimplikasih HAM.

“Seiring tanah Papua saat ini telah menjadi 6 provinsi, bukan tidak mungkin kekerasan bisa tumbuh subur ke depannya,” pungkasnya. (fia/wen)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya