Friday, April 26, 2024
27.7 C
Jayapura

Suplemen Pengganti ARV Diselidiki Polisi

Kanit 1 Subdit Indagsi Reskrimsus Polda Papua, AKP Komang Yustrio Wirahadi Kusuma didampingi Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol AM Kamal saat memberikan keterangan persnya, Senin (3/2). ( FOTO: Elfira/Cepos)

Diduga Tidak Memiliki Surat Izin Edar BPOM Jayapura

JAYAPURA-Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Papua meminta keterangan mantan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Abepura, dr. JM untuk mengklarifikasi terkait peredaran suplemen di Papua yang marak sejak dua tahun terakhir.

Pasalnya, Polda Papua telah menerima laporan warga terkait suplemen yang diperkenalkan JM sebagai pengganti antiretroviral (ARV) bagi pengidap HIV-AIDS. Terkait hal ini, banyak pengidap HIV yang menghentikan mengonsumsi ARV lalu beralih ke suplemen yang dijual JM.

Kanit 1 Subdit Indagsi Reskrimsus Polda Papua, AKP Komang Yustrio Wirahadi Kusuma menerangkan, sepanjang menjual suplemen ini, dr. JM tidak mengantongi surat izin edar dari pihak Balai Pengawasan Obat dan Makanan (POM) Jayapura.

“Dari hasil pemeriksaan sementara, yang bersangkutan mengaku telah menjual suplemen kepada pasiennya selama dua tahun terakhir. Dimana 1 kotak suplemen berisi 60 butir dihargai Rp 6 juta,” ungkapnya kepada wartawan didampingi Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol AM Kamal di Mapolda Papua, Senin (3/2).

Alasan penyidik baru menindaklanjuti kasus ini lantaran dikhawatir adanya pemahaman yang berbeda di kalangan masyarakat. Sebagaimana, awal peredaran obat ini diperkenalkan dr. JM sebagai obat ARV di Papua. Purtier sendiri merupakan obat pengganti AIDS yang sudah disahkan oleh WHO.

Adapun kasus ini booming setelah banyak warga mengeluh lantaran mengonsumsi suplemen tersebut. Mereka kemudian mengadukan keluhannya kepada BPOM dan juga ke Polda Papua, yang mana usai mengonsuminya bukan lebih baik melainkan sejumlah warga mengaku kondisi kesehatannya semakin memburuk.

Baca Juga :  Bupati Jhon Banua Ajak Pupuk Kebersamaan

“Dari penyampaian Balai POM, barang ini belum memiliki izin edar.  Sehingga belum layak untuk dikonsumsi atau diedarkan ke masyarakat luas. Bahkan peredaran obat ini sudah sangat meresahkan khususnya di daerah Papua,” terangnya.

Yang lebih parahnya lanjut Wirahadi, sebanyak empat konsumen dinyatakan meninggal dunia setelah mengonsumsi suplemen yang dibeli dari dr. JM. Hal ini berdasarkan laporan warga kepada polisi.

“Selama ini, Papua dijadikan pasar potensial bagi peredaran suplemen ini. Sebanyak  30 kotak suplemen berhasil kami sita dari dr. JM. Dimana satu kotak berisikan 60 biji berupa pil dengan harga per satu kotaknya Rp 6 juta, sementara di Jawa harganya sekira Rp 1 juta – Rp2 juta,” bebernya.

Lanjutnya, dari penyelidikan kasus ini terungkap jika Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Papua pernah melakukan lelang pengadaan suplemen ini menggunakan dana hibah yang diberikan Pemerintah Provinsi Papua, sebanyak dua kali.

“Kami juga sudah klarifikasi pihak KPA terkait dengan hal itu. Nilainya kurang lebih Rp1,8 miliar. Penyelidikan dugaan penyalahgunaan dana hibah ini nanti menjadi kewenangan di Tipikor atau Kejaksaan. Sebab kami hanya fokus izin edar obat ini,” jelasnya.

Adapun kasus ini pada tahap penyidikan, dimana dr. JM sendiri masih berstatus saksi. Hingga saat ini penyidik masih mendalami keterangan sejumlah saksi serta mengumpulkan barang bukti guna mengungkap kasus ini.

Baca Juga :  Hari ini, Hasil Kelulusan SMA/SMK Diumumkan

“Sampai saat ini belum ada penetapan tersangka dalam kasus ini, kami masih butuh proses lebih lanjut. Sementara untuk saksi sebanyak tiga orang sudah kami periksa. Para saksi ini merupakan penderita HIV sekaligus korban,” tuturnya.

Untuk meyakinkan orang, bahkan dalam buku yang ditulis dr JM menjelaskan jika suplemen ini untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Dalam buku itu pula disebutkan beberapa orang mengalami peningkatan setelah mengonsumsi suplemen yang direkomendasikannya itu.

“Tapi itu asumsi dari dia, harus ada kajian klinis atau medis terkait obat ini. Hal ini belum bisa dibuktikan,” ucapnya.

Lanjut Wirahadi, jika nantinya dr. JM terbukti bersalah dalam gelar perkara kasus ini maka akan dikenakan UU Kesehatan Pasal 197 Juncto Pasal 106 dengan ancaman pidana penjara 15 tahun.

Di tempat yang sama, Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol AM Kamal mengimbau masyarakat agar tidak menafsirkan suplemen yang dijual JM sebagai obat yang sah diperjualbelikan di Papua. Sebab, Balai POM belum mengeluarkan izin edar suplemen tersebut secara legal.

“Sebenarnya itu adalah suplemen makanan yang notabene tidak bisa menyembuhkan segala macam penyakit. Toh sejumlah saksi juga tidak merasakan manfaat positif setelah mengonsumsi obat  yang ditawarkan itu. Dari ketidakpuasan warga itulah kemudian diketahui legalitas obat itu tidak ada,” pungkasnya. (fia/nat)

Kanit 1 Subdit Indagsi Reskrimsus Polda Papua, AKP Komang Yustrio Wirahadi Kusuma didampingi Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol AM Kamal saat memberikan keterangan persnya, Senin (3/2). ( FOTO: Elfira/Cepos)

Diduga Tidak Memiliki Surat Izin Edar BPOM Jayapura

JAYAPURA-Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Papua meminta keterangan mantan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Abepura, dr. JM untuk mengklarifikasi terkait peredaran suplemen di Papua yang marak sejak dua tahun terakhir.

Pasalnya, Polda Papua telah menerima laporan warga terkait suplemen yang diperkenalkan JM sebagai pengganti antiretroviral (ARV) bagi pengidap HIV-AIDS. Terkait hal ini, banyak pengidap HIV yang menghentikan mengonsumsi ARV lalu beralih ke suplemen yang dijual JM.

Kanit 1 Subdit Indagsi Reskrimsus Polda Papua, AKP Komang Yustrio Wirahadi Kusuma menerangkan, sepanjang menjual suplemen ini, dr. JM tidak mengantongi surat izin edar dari pihak Balai Pengawasan Obat dan Makanan (POM) Jayapura.

“Dari hasil pemeriksaan sementara, yang bersangkutan mengaku telah menjual suplemen kepada pasiennya selama dua tahun terakhir. Dimana 1 kotak suplemen berisi 60 butir dihargai Rp 6 juta,” ungkapnya kepada wartawan didampingi Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol AM Kamal di Mapolda Papua, Senin (3/2).

Alasan penyidik baru menindaklanjuti kasus ini lantaran dikhawatir adanya pemahaman yang berbeda di kalangan masyarakat. Sebagaimana, awal peredaran obat ini diperkenalkan dr. JM sebagai obat ARV di Papua. Purtier sendiri merupakan obat pengganti AIDS yang sudah disahkan oleh WHO.

Adapun kasus ini booming setelah banyak warga mengeluh lantaran mengonsumsi suplemen tersebut. Mereka kemudian mengadukan keluhannya kepada BPOM dan juga ke Polda Papua, yang mana usai mengonsuminya bukan lebih baik melainkan sejumlah warga mengaku kondisi kesehatannya semakin memburuk.

Baca Juga :  Bupati Jhon Banua Ajak Pupuk Kebersamaan

“Dari penyampaian Balai POM, barang ini belum memiliki izin edar.  Sehingga belum layak untuk dikonsumsi atau diedarkan ke masyarakat luas. Bahkan peredaran obat ini sudah sangat meresahkan khususnya di daerah Papua,” terangnya.

Yang lebih parahnya lanjut Wirahadi, sebanyak empat konsumen dinyatakan meninggal dunia setelah mengonsumsi suplemen yang dibeli dari dr. JM. Hal ini berdasarkan laporan warga kepada polisi.

“Selama ini, Papua dijadikan pasar potensial bagi peredaran suplemen ini. Sebanyak  30 kotak suplemen berhasil kami sita dari dr. JM. Dimana satu kotak berisikan 60 biji berupa pil dengan harga per satu kotaknya Rp 6 juta, sementara di Jawa harganya sekira Rp 1 juta – Rp2 juta,” bebernya.

Lanjutnya, dari penyelidikan kasus ini terungkap jika Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Papua pernah melakukan lelang pengadaan suplemen ini menggunakan dana hibah yang diberikan Pemerintah Provinsi Papua, sebanyak dua kali.

“Kami juga sudah klarifikasi pihak KPA terkait dengan hal itu. Nilainya kurang lebih Rp1,8 miliar. Penyelidikan dugaan penyalahgunaan dana hibah ini nanti menjadi kewenangan di Tipikor atau Kejaksaan. Sebab kami hanya fokus izin edar obat ini,” jelasnya.

Adapun kasus ini pada tahap penyidikan, dimana dr. JM sendiri masih berstatus saksi. Hingga saat ini penyidik masih mendalami keterangan sejumlah saksi serta mengumpulkan barang bukti guna mengungkap kasus ini.

Baca Juga :  Rachmawati Soekarnoputri Ketua Dewan Pembina Persipura

“Sampai saat ini belum ada penetapan tersangka dalam kasus ini, kami masih butuh proses lebih lanjut. Sementara untuk saksi sebanyak tiga orang sudah kami periksa. Para saksi ini merupakan penderita HIV sekaligus korban,” tuturnya.

Untuk meyakinkan orang, bahkan dalam buku yang ditulis dr JM menjelaskan jika suplemen ini untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Dalam buku itu pula disebutkan beberapa orang mengalami peningkatan setelah mengonsumsi suplemen yang direkomendasikannya itu.

“Tapi itu asumsi dari dia, harus ada kajian klinis atau medis terkait obat ini. Hal ini belum bisa dibuktikan,” ucapnya.

Lanjut Wirahadi, jika nantinya dr. JM terbukti bersalah dalam gelar perkara kasus ini maka akan dikenakan UU Kesehatan Pasal 197 Juncto Pasal 106 dengan ancaman pidana penjara 15 tahun.

Di tempat yang sama, Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol AM Kamal mengimbau masyarakat agar tidak menafsirkan suplemen yang dijual JM sebagai obat yang sah diperjualbelikan di Papua. Sebab, Balai POM belum mengeluarkan izin edar suplemen tersebut secara legal.

“Sebenarnya itu adalah suplemen makanan yang notabene tidak bisa menyembuhkan segala macam penyakit. Toh sejumlah saksi juga tidak merasakan manfaat positif setelah mengonsumsi obat  yang ditawarkan itu. Dari ketidakpuasan warga itulah kemudian diketahui legalitas obat itu tidak ada,” pungkasnya. (fia/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya