Monday, November 25, 2024
25.7 C
Jayapura

Kebijakan Anggaran Tiga DOB, DPRP Temui Mendagri dan Kemenkeu

JAYAPURA – Masa transisi dari keberadaan tiga Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua dikatakan perlu dikaji lebih jauh terutama soal kebijakan anggaran. Pasalnya bila hanya melakukan pemotongan dari anggaran yang diterima oleh provinsi induk Papua, maka diyakini ada banyak program yang sudah berjalan selama ini akan terganggu. Aspek pendidikan, kesehatan dan gaji pegawai termasuk semua system yang  diterapkan di DPRP terkait kunker atau reses juga berpotensi ikut terganggu.

Terkait ini DPR Papua yang terdiri dari Ketua DPRP,   para wakil ketua, Sekwan dan beberapa anggota lainnya  ke Jakarta menemui dua menteri.  “Kemarin kami sudah menemui dua menteri, pertama pada Rabu (26/10)  dengan Menteri Keuangan setelah itu menemui Mendagri pada Jumat (28/10),” ujar Ketua DPR Papua, Jhony Banua Rouw di ruang kerjanya, Senin malam (31/10).

Ia menjelaskan beberapa agenda, pertama terkait pemekaran 3 DOB  dimana DPRP telah menerima surat Menkeu bahwa dana transfer daerah yang didalamnya ada dana Otsus, Dana Alokasi Khusus (DAU) lainnya sudah langsung dibagikan ke provinsi – provinsi di Tanah Papua.

DPRP melihat bahwa jika dana ini langung dibagikan ke provinsi yang baru dengan pembagian yang sama rata semisal  untuk provinsi induk Rp 2,1 triliun, kemudian Papua Pegunungan Rp 1,8 triliun, Papua Tengah Rp 1,8 triliun dan Papua Selatan juga mendapat Rp 1,8 triliun dimana dana sekitar Rp 8 triliun bagi habis untuk 4 provinsi maka ada banyak masalah yang bisa ditimbulkan. Itu karena pemotongan langsung dilakukan pemerintah pusat.

“Masalah yang timbul bisa soal gaji pegawai yang berjumlah sekitar 12 ribu pegawai yang menghabiskan anggaran hampir Rp 1 triliun sisanya Rp 1,1 triliun ini sulit untuk menyelesaikan yang sudah terprogram,” kata Banua.

Baca Juga :  Fokus Pembangunan Empat Prioritas

Belum lagi membiayai RS rujukan dimana setelah pemekaran, masyarakat Papua yang sakit di daerah pasti akan dibawa ke RS Dok II dan ini semua dibiayai oleh provinsi induk sementara uangnya tadi sudah dipotong.

Lalu beasiswa mahasiswa sekitar Rp 600 miliar yang sudah harus dibayarkan saat ini. Itupun belum dengan keberadaan MRP ada DPRP yang juga perlu dibiayai sebagai instrument negara.

“DPRP menawarkan jika ini menjadi urusan bersama maka kurangi dulu dana – dana yang tadi di atas, jangan diambil dari Rp 2,1 triliun tadi. Misal untuk beasiswa pendidikan, dana kesehatan untuk rumah sakit dan dana pegawai dipotong dulu lalu sisanya dibagi professional sebab ke depan pasti  ditanggung provinsi induk,” bebernya.

“Kami meminta pemerintah pusat melihat ini secara cermat. Masa transisi tidak bisa langsung – langsung seperti membagi kue, harus dibantu. APBD induk juga sudah harus dibahas bulan ini dan jika salah perhitungan maka akan jadi masalah yang kompleks,” wantinya. Hal lainnya adalah tupoksi DPRP dan MRP. Anggota DPRP kata Jhony dipilih rakyat sesuai dapil dan tugas dan akan berakhir periodenya pada tahun 2024.

Nah sebelumnya anggota  DPRP bisa menjangkau 29 kabupaten kemudian dari pemekaran ini tarohlah hanya tersisa 9 kabupaten di Papua  sementara awalnya dipilih  masyarakat di 29 kabupaten.  Bagaimana pertanggungjawaban moril kepada konstituen termasuk agenda kunker dan reses jika keluar dari 9 kabupaten ini apakah disebut perjalanan luar Papua.

Baca Juga :  Ubah Pendekatan, Kekerasan Tak Boleh Direspon Dengan Kekerasan

“Ini (yang dilakukan DPRP) adalah amanat undang – undang sehingga kami minta Mendagri memberikan kesempatan karena kami akan lakukan reses ke wilayah yang bukan provinsi induk. Misal ke Yahukimo apakah itu perjalanan dinas ke dalam daerah atau luar daerah. Lalu provinsi baru juga belum ada DPRP dan MRP kemudian fungsi pengawasan ini seperti apa? Harusnya diawasi,” saran Banua.

Untungnya dari penjelasan DPRP kata Banua, Mendagri merespon cukup baik terkait pembagian keuangan dan fungsi DPR. “Kami  DPRP baru menjalankan tugas baru di tahun 2024 sehingga kami minta DPRP menjalankan tugas hingga 2024 tanpa dibatasi provinsi. Kami juga meminta PJ di tiga DOB baru percaya kepada kami untuk pengawasan meski bukan Provinsi Papua,” usulnya.

Pada pertemuan tersebut DPRP juga meminta masa kerja MRP dilakukan perpanjangan sambil menunggu peresmian MRP  di provinsi DOB.  Ini  agar pemerintahan tidak mengalami kekosongan.

“Kami juga berkonsultasi dengan Dirjend Keuangan bahwa Perkada disusun oleh pihak eksekutif dan harus bisa membiayai pelayanan dasar yang jadi prioritas semisal biaya tenaga medis, obat – obatan, tenaga pengajar, guru dan yang lain,” tambahnya.

Disini DPRP berharap pelayanan tetap berjalan meski menggunakan Perkada. Dan Menteri menurut Jhon Banua setuju terkait apa yang disampaikan DPRP harus menjadi perhatian dan pelayanan mendasar 2023 – 2024 harus  tetap berjalan.

“Makanya kami tidak setuju dibagi seperti pertama. Kementerian keuangan harus melihat jelis, jangan seperti bagi kue dengan melihat luas wilayah, jumlah penduduk sementara ada beban lain yang wajib ditangani,” tutup Banua. (ade/wen)

JAYAPURA – Masa transisi dari keberadaan tiga Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua dikatakan perlu dikaji lebih jauh terutama soal kebijakan anggaran. Pasalnya bila hanya melakukan pemotongan dari anggaran yang diterima oleh provinsi induk Papua, maka diyakini ada banyak program yang sudah berjalan selama ini akan terganggu. Aspek pendidikan, kesehatan dan gaji pegawai termasuk semua system yang  diterapkan di DPRP terkait kunker atau reses juga berpotensi ikut terganggu.

Terkait ini DPR Papua yang terdiri dari Ketua DPRP,   para wakil ketua, Sekwan dan beberapa anggota lainnya  ke Jakarta menemui dua menteri.  “Kemarin kami sudah menemui dua menteri, pertama pada Rabu (26/10)  dengan Menteri Keuangan setelah itu menemui Mendagri pada Jumat (28/10),” ujar Ketua DPR Papua, Jhony Banua Rouw di ruang kerjanya, Senin malam (31/10).

Ia menjelaskan beberapa agenda, pertama terkait pemekaran 3 DOB  dimana DPRP telah menerima surat Menkeu bahwa dana transfer daerah yang didalamnya ada dana Otsus, Dana Alokasi Khusus (DAU) lainnya sudah langsung dibagikan ke provinsi – provinsi di Tanah Papua.

DPRP melihat bahwa jika dana ini langung dibagikan ke provinsi yang baru dengan pembagian yang sama rata semisal  untuk provinsi induk Rp 2,1 triliun, kemudian Papua Pegunungan Rp 1,8 triliun, Papua Tengah Rp 1,8 triliun dan Papua Selatan juga mendapat Rp 1,8 triliun dimana dana sekitar Rp 8 triliun bagi habis untuk 4 provinsi maka ada banyak masalah yang bisa ditimbulkan. Itu karena pemotongan langsung dilakukan pemerintah pusat.

“Masalah yang timbul bisa soal gaji pegawai yang berjumlah sekitar 12 ribu pegawai yang menghabiskan anggaran hampir Rp 1 triliun sisanya Rp 1,1 triliun ini sulit untuk menyelesaikan yang sudah terprogram,” kata Banua.

Baca Juga :  Dir Intelkam Ikuti Coffee Morning Bawaslu Papua

Belum lagi membiayai RS rujukan dimana setelah pemekaran, masyarakat Papua yang sakit di daerah pasti akan dibawa ke RS Dok II dan ini semua dibiayai oleh provinsi induk sementara uangnya tadi sudah dipotong.

Lalu beasiswa mahasiswa sekitar Rp 600 miliar yang sudah harus dibayarkan saat ini. Itupun belum dengan keberadaan MRP ada DPRP yang juga perlu dibiayai sebagai instrument negara.

“DPRP menawarkan jika ini menjadi urusan bersama maka kurangi dulu dana – dana yang tadi di atas, jangan diambil dari Rp 2,1 triliun tadi. Misal untuk beasiswa pendidikan, dana kesehatan untuk rumah sakit dan dana pegawai dipotong dulu lalu sisanya dibagi professional sebab ke depan pasti  ditanggung provinsi induk,” bebernya.

“Kami meminta pemerintah pusat melihat ini secara cermat. Masa transisi tidak bisa langsung – langsung seperti membagi kue, harus dibantu. APBD induk juga sudah harus dibahas bulan ini dan jika salah perhitungan maka akan jadi masalah yang kompleks,” wantinya. Hal lainnya adalah tupoksi DPRP dan MRP. Anggota DPRP kata Jhony dipilih rakyat sesuai dapil dan tugas dan akan berakhir periodenya pada tahun 2024.

Nah sebelumnya anggota  DPRP bisa menjangkau 29 kabupaten kemudian dari pemekaran ini tarohlah hanya tersisa 9 kabupaten di Papua  sementara awalnya dipilih  masyarakat di 29 kabupaten.  Bagaimana pertanggungjawaban moril kepada konstituen termasuk agenda kunker dan reses jika keluar dari 9 kabupaten ini apakah disebut perjalanan luar Papua.

Baca Juga :  Polisi Sebut Serangan Jantung, Uskup Agung Merauke Kutuk Keras

“Ini (yang dilakukan DPRP) adalah amanat undang – undang sehingga kami minta Mendagri memberikan kesempatan karena kami akan lakukan reses ke wilayah yang bukan provinsi induk. Misal ke Yahukimo apakah itu perjalanan dinas ke dalam daerah atau luar daerah. Lalu provinsi baru juga belum ada DPRP dan MRP kemudian fungsi pengawasan ini seperti apa? Harusnya diawasi,” saran Banua.

Untungnya dari penjelasan DPRP kata Banua, Mendagri merespon cukup baik terkait pembagian keuangan dan fungsi DPR. “Kami  DPRP baru menjalankan tugas baru di tahun 2024 sehingga kami minta DPRP menjalankan tugas hingga 2024 tanpa dibatasi provinsi. Kami juga meminta PJ di tiga DOB baru percaya kepada kami untuk pengawasan meski bukan Provinsi Papua,” usulnya.

Pada pertemuan tersebut DPRP juga meminta masa kerja MRP dilakukan perpanjangan sambil menunggu peresmian MRP  di provinsi DOB.  Ini  agar pemerintahan tidak mengalami kekosongan.

“Kami juga berkonsultasi dengan Dirjend Keuangan bahwa Perkada disusun oleh pihak eksekutif dan harus bisa membiayai pelayanan dasar yang jadi prioritas semisal biaya tenaga medis, obat – obatan, tenaga pengajar, guru dan yang lain,” tambahnya.

Disini DPRP berharap pelayanan tetap berjalan meski menggunakan Perkada. Dan Menteri menurut Jhon Banua setuju terkait apa yang disampaikan DPRP harus menjadi perhatian dan pelayanan mendasar 2023 – 2024 harus  tetap berjalan.

“Makanya kami tidak setuju dibagi seperti pertama. Kementerian keuangan harus melihat jelis, jangan seperti bagi kue dengan melihat luas wilayah, jumlah penduduk sementara ada beban lain yang wajib ditangani,” tutup Banua. (ade/wen)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya