Friday, November 22, 2024
31.7 C
Jayapura

Gubernur Disarankan Jangan Takut Hadapi KPK

Meski Diganti, Suara Demokrat Belum Tentu Terjun Bebas

JAYAPURA – Hasil diskusi dan pertemuan yang dilakukan pimpinan Komnas HAM bersama Gubernur Lukas Enembe beberapa hari lalu diyakini akan menjadi sebuah rekomendasi dari pihak Komnas HAM sendiri. Rekomendasi  ini diyakini akan sangat menentukan apakah Gubernur Lukas Enembe akan dijemput paksa atau dijemput dengan cara – cara yang lebih manusiawi.

Hanya berbicara soal hukum, yang perlu dingat bahwa semua orang sama di mata hukum dan tindakan hukum penegakkan tindak pidana korupsi berlaku adil untuk semua tersangka.

Hal ini disampaikan salah satu akademisi Uncen, Marinus Yaung menjawab pertanyaan Cenderawasih Pos. Dosen Fisip yang kerap melakukan analisa dan pengamatan dalam aspek sosial politik ini melihat bahwa KPK bersikukuh menegakkan aturan karena telah bertindak sesuai perintah KUHAP.

Ia melihat opsi ketiga yakni jemput paksa akan dilakukan apabila tersangka benar – benar bersikeras merasa tidak bersalah dan tidak mau dimintai keterangan tanpa alasan yang jelas.

“Saran saya, pak Lukas Enembe ijinkan para dokter dari KPK datang memeriksa kesehatannya. Saya perlu ingatkan Gubernur Lukas Enembe dan para pendukungnya bahwa status tersangka LE ini masih di Indonesia bukan di China. Kalau di China, Gubernur LE sudah langsung dieksekusi, apapun kondisi kesehatannya,” beber Marinus Yaung, Jumat (30/9). Pasalnya jika di China, korupsi dikategorikan sebagai  kejahatan luar biasa terhadap kemanusian. Korupsi di China dipandang sama dengan tindakan genosida.

Baca Juga :  Situasi Dogiyai Berangsur Kondusif

“Tapi karena ini masih di Indonesia, saran saya Gubernur LE tidak perlu takut hadapi KPK. Karena korupsi di Indonesia bukan kejahatan luar biasa. Setelah kematian hakim agung Artidjo Alkostar bln februari tahun 2021 dan munculnya undang-undang nomor 22 tahun 2022 sudah banyak koruptor yang dibebaskan dari penjara dalam waktu singkat,” singgungnya. Ia memberi contoh Jaksa Pinangki terpidana suap triliunan rupiah yang divonis di pengadilan negeri hanya 10 tahun penjara kemudian mengajukan banding ke pengadilan tinggi berubah menjadi 4 tahun.

Lalu karena dikatakan sudah menjalani 2/3 masa tahanan, maka dia langsung dibebaskan bulan Agustus 2022 yang lalu. “Inilah wajah penegakkan hukum dalam kasus korupsi di Indonesia saat ini. Karena itu Gubernur LE jangan takut hadapi KPK,”sarannya. Disini Yaung juga melihat bahwa dengan banyaknya masyarakat yang berdiam di kediaman gubernur di Koya Tengah sejatinya masyarakat tidak melindungi LE. Masyarakat justru mau beliau gubernur sehat dulu barulah diperiksa KPK.

Baca Juga :  PLBN Skow  Masih Ditutup, Tapi Ramai Wisatawan Lokal

Masyarakat harus diedukasi bahwa KPK yang akan memeriksa kesehatan LE dan kalau terbukti sakit, maka KPK akan menunda pemeriksaan. “Masyarakat harus mendukung KPK terkait bagaimana lembaga ini akan mengirimkan tenaga kesehatan untuk memeriksa kesehatan gubernur dan masyarakat harus mendukung agar gubernur bisa segera pulih,” tambahnya. Sementara disinggung soal elektabilitas Partai Demokrat pasca dilakukan pergantian ketua DPR Partai Demokrat, kata Yaung  elektabilitas dalam pemilihan tradisional seperti di Papua tidak terlalu dipengaruhi oleh ketokohan atau partai politik tertentu.

Elektabilitas di basis pemilih tradisional sangat ditentukan oleh modal atau uang dan strategi memobilisasi konstituen. Hanya disini Yaung melihat Demokrat Papua di tangan Willem Wandik saat  diprediksi kurang memiliki power untuk mendongkrak elektabilitas Partai Demokrat pada pemilu 2024. Ia menyatakan sosok yang memiliki kapasitas memobilisasi massa pendukung Partai Demokrat Papua yang selevel dengan Lukas Enembe adalah Yunus Wonda. “Kalau Yunus Wonda saya pikir ia memiliki kemampuan seperti Lukas Enembe,” tutupnya. (ade)

Meski Diganti, Suara Demokrat Belum Tentu Terjun Bebas

JAYAPURA – Hasil diskusi dan pertemuan yang dilakukan pimpinan Komnas HAM bersama Gubernur Lukas Enembe beberapa hari lalu diyakini akan menjadi sebuah rekomendasi dari pihak Komnas HAM sendiri. Rekomendasi  ini diyakini akan sangat menentukan apakah Gubernur Lukas Enembe akan dijemput paksa atau dijemput dengan cara – cara yang lebih manusiawi.

Hanya berbicara soal hukum, yang perlu dingat bahwa semua orang sama di mata hukum dan tindakan hukum penegakkan tindak pidana korupsi berlaku adil untuk semua tersangka.

Hal ini disampaikan salah satu akademisi Uncen, Marinus Yaung menjawab pertanyaan Cenderawasih Pos. Dosen Fisip yang kerap melakukan analisa dan pengamatan dalam aspek sosial politik ini melihat bahwa KPK bersikukuh menegakkan aturan karena telah bertindak sesuai perintah KUHAP.

Ia melihat opsi ketiga yakni jemput paksa akan dilakukan apabila tersangka benar – benar bersikeras merasa tidak bersalah dan tidak mau dimintai keterangan tanpa alasan yang jelas.

“Saran saya, pak Lukas Enembe ijinkan para dokter dari KPK datang memeriksa kesehatannya. Saya perlu ingatkan Gubernur Lukas Enembe dan para pendukungnya bahwa status tersangka LE ini masih di Indonesia bukan di China. Kalau di China, Gubernur LE sudah langsung dieksekusi, apapun kondisi kesehatannya,” beber Marinus Yaung, Jumat (30/9). Pasalnya jika di China, korupsi dikategorikan sebagai  kejahatan luar biasa terhadap kemanusian. Korupsi di China dipandang sama dengan tindakan genosida.

Baca Juga :  Penentuan Hingga Laga Pamungkas

“Tapi karena ini masih di Indonesia, saran saya Gubernur LE tidak perlu takut hadapi KPK. Karena korupsi di Indonesia bukan kejahatan luar biasa. Setelah kematian hakim agung Artidjo Alkostar bln februari tahun 2021 dan munculnya undang-undang nomor 22 tahun 2022 sudah banyak koruptor yang dibebaskan dari penjara dalam waktu singkat,” singgungnya. Ia memberi contoh Jaksa Pinangki terpidana suap triliunan rupiah yang divonis di pengadilan negeri hanya 10 tahun penjara kemudian mengajukan banding ke pengadilan tinggi berubah menjadi 4 tahun.

Lalu karena dikatakan sudah menjalani 2/3 masa tahanan, maka dia langsung dibebaskan bulan Agustus 2022 yang lalu. “Inilah wajah penegakkan hukum dalam kasus korupsi di Indonesia saat ini. Karena itu Gubernur LE jangan takut hadapi KPK,”sarannya. Disini Yaung juga melihat bahwa dengan banyaknya masyarakat yang berdiam di kediaman gubernur di Koya Tengah sejatinya masyarakat tidak melindungi LE. Masyarakat justru mau beliau gubernur sehat dulu barulah diperiksa KPK.

Baca Juga :  Angka Terkonfirmasi dan Sembuh Sama-sama Naik

Masyarakat harus diedukasi bahwa KPK yang akan memeriksa kesehatan LE dan kalau terbukti sakit, maka KPK akan menunda pemeriksaan. “Masyarakat harus mendukung KPK terkait bagaimana lembaga ini akan mengirimkan tenaga kesehatan untuk memeriksa kesehatan gubernur dan masyarakat harus mendukung agar gubernur bisa segera pulih,” tambahnya. Sementara disinggung soal elektabilitas Partai Demokrat pasca dilakukan pergantian ketua DPR Partai Demokrat, kata Yaung  elektabilitas dalam pemilihan tradisional seperti di Papua tidak terlalu dipengaruhi oleh ketokohan atau partai politik tertentu.

Elektabilitas di basis pemilih tradisional sangat ditentukan oleh modal atau uang dan strategi memobilisasi konstituen. Hanya disini Yaung melihat Demokrat Papua di tangan Willem Wandik saat  diprediksi kurang memiliki power untuk mendongkrak elektabilitas Partai Demokrat pada pemilu 2024. Ia menyatakan sosok yang memiliki kapasitas memobilisasi massa pendukung Partai Demokrat Papua yang selevel dengan Lukas Enembe adalah Yunus Wonda. “Kalau Yunus Wonda saya pikir ia memiliki kemampuan seperti Lukas Enembe,” tutupnya. (ade)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya