Friday, April 26, 2024
24.7 C
Jayapura

Rusuh Wamena, Kejahatan Kemanusiaan

Frits Ramandey ( FOTO : Elfira/Cepos)

JAYAPURA- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai rusuh Wamena yang pecah pada 23 September lalu merupakan kejahatan kriminal terhadap kemanusiaan. Hal ini dikarenakan, pelakunya adalah kelompok masyarakat itu sendiri. Dimana masyarakat sipil menghantam kelompok masyarakat sipil lainnya.

Kepala Perwakilan Komnas HAM RI di Papua, Frits Ramandey cukup menyayangkan tindakan tersebut. Untuk itu, negara segera hadir untuk menghentikan kejahatan kriminal terhadap kemanusiaan dan memulihkan  kembali kondisi Papua khususnya Wamena.

“Untuk kasus Wamena, Komnas HAM mengkategorikannya sebagai kejahatan kriminal terhadap kemanusiaan. Pasal pelanggaran HAM bisa dipakai di Pengadilan terhadap mereka yang melakukan tindakan kriminal itu,” ucap Frits saat ditemui Cenderawasih Pos di ruang kerjanya, Senin (30/9).

Menurutnya, hingga saat ini Komnas HAM belum mendapatkan unsur pelanggaran HAM beratnya, terkait dengan kejadian di Wamena. “Namun bahwa tindakan itu mengakibatkan HAM orang lain terhadap situasi  pelayanan publik terganggu iya, dan ada pelanggaran HAM di situ tapi bukan pelanggaran HAM berat,” jelasnya.

Komnas HAM juga meminta dalam kejadian di Wamena harus ada tindakan kemanusiaan secara cepat. Negara menurutnya harus hadir  untuk menghentikan aksi-aksi kriminal dan memberikan pelayanan kepada pengungsi. Namun juga memberikan  pelayanan  kepada orang-orang yang menjadi korban baik warga Papua  maupun non Papua.

“Hal tersebut agar menghentikan adanya potensi konflik horizontal yang lebih meluas. Negara harus hadir menyelesaikan ini. Kalau negara tidak segera hadir menghentikan potensi konflik horizontal yang berikutnya. Maka  bisa terjadi pembiaran dan masuk  kategori pelanggaran HAM berat,” paparnya.

Berangkat dari hasil investigasi yang dilakukan oleh Komnas HAM tentang persoalan yang terjadi di Wamena yang merupakan ibukota Kabupaten Jayawijaya, pihaknya ingin memastikan kronologi kejadian dan apa yang memicu kerusuhan yang pecah pada 23 September lalu.  

Komnas HAM juga ingin memastikan berapa jumlah korban jiwa yang meninggal dunia, korban luka-lua dan korban pengunsi dan bagaimana kondisi keseluruhan Wamena pasca kejadian itu.

Aspek kronologis versi Komnas HAM terkait kejadian di Wamena, Komnas HAM sudah melakukan  verifikasi kepada pihak SMA PGRI dengan menemui guru yang bersangkutan yang diduga menyampaikan kalimat rasis.

“Kita telah menemui guru yang bersangkutan, kita telah meminta keterangan dan testimoni. Ketika sang guru meminta untuk baca ulang mata pelajaran, lalu anak-anak itu secara bergilir tiba pada satu anak bacanya pelang dan tertati-tatih. Sehingga si guru berkata “Baca yang  keras” kalimat keras ini kemudian dipelintirkan,” tutur Frits.

Dikatakan, kasus ini sebenarnya sudah terselesaikan dan sudah ada klarifikasi dari pihak guru pada 21 September. Namun, pada 22 September malam  diperkirakan pada pukul 22.00 WIT. Ada sejumlah orang masuk melalui pagar sekolah PGRI dan melakukan pengerusakan di sekolah.

Baca Juga :  Wapres Direncanakan Berkantor di Papua, Pemprov Sambut Baik

Senin (23/9) pagi, sebelum proses ujian berlangsung dimana pihak sekolah sedang mengumpulkan siswa dan menjelaskana ada pengerusakan  di sekolah, guru kemudian mengarahkan siswa untuk masuk ke dalam kelas dan mempersiapkan diri untuk ujian.

“Pihak sekolah masih memberikan arahan kepada peserta didik, masuklah dua orang yang bukan siswa. Dengan tidak santun mereka langsung mengambil alih microphone sekolah dan meneriakkan kepada anak-anak untuk memperlihatkan guru yang diduga melakukan rasis dan  meminta guru tersebut harus dihukum,” tutur Frits.

Sekelompok orang tersebut lalu mengarahkan anak-anak keluar dari ruang kelas untuk melakukan aksi protes, hingga datang ke bebrapa sekolah yang ada di Wamena memprovokasi anak-anak untuk ikut demo. Bahkan, yang tidak ikut demo diancam. Hal ini terbukti ada tiga  orang siswa yang tidak mau ikut dalam aksi justru  dibakar dengan menyiram minyak.

 “Ini demonstrasi anarkis yang sudah dipersiapkan. Faktanya ada orang yang masuk ke dalam sekolah mengarahkan pelajar untuk keluar dari ruang sekolah. Lalu di luar kelas ada yang sudah siapkan minyak untuk melakukan pembakaran dan mengancam siswa-siswa yang tidak ikut,” tuturnya.

Dalam catatan Komnas HAM, ada 31 warga sipil meninggal dunia dalam kerusuhan di Wamena pada 23 September. Terdapat banyak kerusakan dan puluhan lainnya luka-luka, Komnas HAM menduga kerusuhan di Wamena dilakukan oleh orang-orang yang berjumlah besar dan terogranisir.

Yang menjadi keprihatinan  Komnas  HAM, orang-orang dibunuh secara sadis lalu pasca kejadian tersebut terjadi pengungsian. Ini sangat berpotensi terjadi konflik horizontal. Sehingga sangat disayangkan, karena ada orang-orang yang menyebarkan isu provokatif.

“Kalau kita melihat jumlah massa demo dengan jumlah aparat keamanan 23 September di Wamena itu tidak seimbang, sehingga dalam posisi ini kita tidak serta merta menyalahkan aparat keamanan. Kalau aparat keamanan bertahan dan frontal, maka korbannya akan lebih banyak saat itu. Sehingga aparat memilih menjaga keseimbangan. Ini adalah tindakan yang baik bahwa kemudian ada satu dua orang yang ditembak itu memang  tindakan kepolisian untuk memastikan siapa pelaku utama kasus wamena,” ungkap Frits.

Keterangan beberapa saksi yang mau eksodus juga menyebutkan akibat rasa trauma yang dimiliki melihat secara langsung kebakaran. Ada ketakutan karena beredar isu akan ada penyerangan susulan dan  pilihan yang paling aman adalah meninggalkan wamena bisa saja untuk jangka waktu panjang atau janga waktu pendek.

“Orang eksodus bukan karena mereka mengungsi langsung. Melainkan trauma dan ada ketakutan di sana. Tugas pemerintah, aparat keamanan meminta semua pihak untuk  tidak melakukan demonstrasi anarkis lagi. Lalu melakukan pemulihan kepada mereka  yang korban luka-luka, memberi dukungan kepada korban meninggal dunia lalu konseling kepada mereka yang trauma,” pintanya.

Baca Juga :  Intake Mengering, Warga Diminta Bijak Soal Air

Selain itu lanjut Frits, bangun kembali dialog pertemuan antara masyarakat yang ada  di pengunsian dan masyarakat pribumi untuk berdialog kembali. Upaya rekonsiliasi pemaafan dan  lain sebagaiaya, namun tidak menggugurkan  perbuatan kejahatan yang dilakukan oleh oknum- oknum yang membuat kerusuhan tersebut. Diproses  dan mencari siapa aktor intelektual dalam kasus wamena. 

Adapun kondisi keamanan di Papua perlahan-lahan mulai kondusif. Khususnya Jayapura sendiri nampak mulai bangkit dan menunjukkan kebersamaan satu dengan yang lain makin erat. Terkait kondisi Jayapura dan Wamena yang sempat terjadi kerusuhan, salah satu pengamat sosial politik Universitas Cenderawasih, Marinus Yaung memberi sedikit catatan yang perlu disikapi oleh pihak keamanan. 

 Ia mengungkapkan bahwa dari kerusuhan di Jayapura dan Waena dipastikan secara teori, yang namanya konflik tak pernah berdiri sendiri. Pasti ada pihak dibalik konflik itu sendiri dan konflik bisa berjalan jika dilengkapi dengan tiga hal. Tiga hal tersebut adalah designer atau pihak yang merancang soal bagaimana konflik yang ingin diciptakan  dan hasilnya ingin seperti apa. Hanya saja designer ini tidak bisa berjalan sendiri, harus ada pihak yang memberikan dukungan atau yang disebut supporting. Pihak pendukung ini yang memberi ruang dan kebutuhan dalam melahirkan konflik. 

 “Dan yang ketiga adalah eksekutor atau orang lapangan yang berhadapan langsung dengan masyarakat dan melakukan kerusuhan,” kata Marinus Senin (30/9). Hanya saja antara pihak eksekutor dan suporting ini terkadang tidak saling kenal namun memiliki misi yang sama “Jadi secara teori, ada tiga kelompok dominan yang menyalakan api bara konflik di Jayapura dan Wamena. Masing-masing terorganisir dan saling merebut moment untuk menyalakan api dan menjadikan terus membesar,” ujar Yaung. Tujuannya adalah agar kondisi Papua terus menyala dan menarik perhatian luas dan menurut Yaung aparat keamanan harus bisa mengungkap konspirasi tiga pihak ini  agar seluruh Indonesia memahami duduk persoalan di Papua.

 “Saran saya jangan hanya salah satunya semisal yang eksekutor di lapangan tapi bagaimana mengambil atau menyentuh mereka yang menjadi aktor di belakang layar baik yang merancang maupun yang memberikan dukungan. Jika  hanya salah satu yang tersentuh hukum, saya pikir akan sulit merampungkan bahkan bisa-bisa terjadi konflik lainnya dikemudian hari,” imbuhnya (fia/ade/nat)

Frits Ramandey ( FOTO : Elfira/Cepos)

JAYAPURA- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai rusuh Wamena yang pecah pada 23 September lalu merupakan kejahatan kriminal terhadap kemanusiaan. Hal ini dikarenakan, pelakunya adalah kelompok masyarakat itu sendiri. Dimana masyarakat sipil menghantam kelompok masyarakat sipil lainnya.

Kepala Perwakilan Komnas HAM RI di Papua, Frits Ramandey cukup menyayangkan tindakan tersebut. Untuk itu, negara segera hadir untuk menghentikan kejahatan kriminal terhadap kemanusiaan dan memulihkan  kembali kondisi Papua khususnya Wamena.

“Untuk kasus Wamena, Komnas HAM mengkategorikannya sebagai kejahatan kriminal terhadap kemanusiaan. Pasal pelanggaran HAM bisa dipakai di Pengadilan terhadap mereka yang melakukan tindakan kriminal itu,” ucap Frits saat ditemui Cenderawasih Pos di ruang kerjanya, Senin (30/9).

Menurutnya, hingga saat ini Komnas HAM belum mendapatkan unsur pelanggaran HAM beratnya, terkait dengan kejadian di Wamena. “Namun bahwa tindakan itu mengakibatkan HAM orang lain terhadap situasi  pelayanan publik terganggu iya, dan ada pelanggaran HAM di situ tapi bukan pelanggaran HAM berat,” jelasnya.

Komnas HAM juga meminta dalam kejadian di Wamena harus ada tindakan kemanusiaan secara cepat. Negara menurutnya harus hadir  untuk menghentikan aksi-aksi kriminal dan memberikan pelayanan kepada pengungsi. Namun juga memberikan  pelayanan  kepada orang-orang yang menjadi korban baik warga Papua  maupun non Papua.

“Hal tersebut agar menghentikan adanya potensi konflik horizontal yang lebih meluas. Negara harus hadir menyelesaikan ini. Kalau negara tidak segera hadir menghentikan potensi konflik horizontal yang berikutnya. Maka  bisa terjadi pembiaran dan masuk  kategori pelanggaran HAM berat,” paparnya.

Berangkat dari hasil investigasi yang dilakukan oleh Komnas HAM tentang persoalan yang terjadi di Wamena yang merupakan ibukota Kabupaten Jayawijaya, pihaknya ingin memastikan kronologi kejadian dan apa yang memicu kerusuhan yang pecah pada 23 September lalu.  

Komnas HAM juga ingin memastikan berapa jumlah korban jiwa yang meninggal dunia, korban luka-lua dan korban pengunsi dan bagaimana kondisi keseluruhan Wamena pasca kejadian itu.

Aspek kronologis versi Komnas HAM terkait kejadian di Wamena, Komnas HAM sudah melakukan  verifikasi kepada pihak SMA PGRI dengan menemui guru yang bersangkutan yang diduga menyampaikan kalimat rasis.

“Kita telah menemui guru yang bersangkutan, kita telah meminta keterangan dan testimoni. Ketika sang guru meminta untuk baca ulang mata pelajaran, lalu anak-anak itu secara bergilir tiba pada satu anak bacanya pelang dan tertati-tatih. Sehingga si guru berkata “Baca yang  keras” kalimat keras ini kemudian dipelintirkan,” tutur Frits.

Dikatakan, kasus ini sebenarnya sudah terselesaikan dan sudah ada klarifikasi dari pihak guru pada 21 September. Namun, pada 22 September malam  diperkirakan pada pukul 22.00 WIT. Ada sejumlah orang masuk melalui pagar sekolah PGRI dan melakukan pengerusakan di sekolah.

Baca Juga :  Polres Mambra Gagalkan Penyelundupan 768 Botol Miras

Senin (23/9) pagi, sebelum proses ujian berlangsung dimana pihak sekolah sedang mengumpulkan siswa dan menjelaskana ada pengerusakan  di sekolah, guru kemudian mengarahkan siswa untuk masuk ke dalam kelas dan mempersiapkan diri untuk ujian.

“Pihak sekolah masih memberikan arahan kepada peserta didik, masuklah dua orang yang bukan siswa. Dengan tidak santun mereka langsung mengambil alih microphone sekolah dan meneriakkan kepada anak-anak untuk memperlihatkan guru yang diduga melakukan rasis dan  meminta guru tersebut harus dihukum,” tutur Frits.

Sekelompok orang tersebut lalu mengarahkan anak-anak keluar dari ruang kelas untuk melakukan aksi protes, hingga datang ke bebrapa sekolah yang ada di Wamena memprovokasi anak-anak untuk ikut demo. Bahkan, yang tidak ikut demo diancam. Hal ini terbukti ada tiga  orang siswa yang tidak mau ikut dalam aksi justru  dibakar dengan menyiram minyak.

 “Ini demonstrasi anarkis yang sudah dipersiapkan. Faktanya ada orang yang masuk ke dalam sekolah mengarahkan pelajar untuk keluar dari ruang sekolah. Lalu di luar kelas ada yang sudah siapkan minyak untuk melakukan pembakaran dan mengancam siswa-siswa yang tidak ikut,” tuturnya.

Dalam catatan Komnas HAM, ada 31 warga sipil meninggal dunia dalam kerusuhan di Wamena pada 23 September. Terdapat banyak kerusakan dan puluhan lainnya luka-luka, Komnas HAM menduga kerusuhan di Wamena dilakukan oleh orang-orang yang berjumlah besar dan terogranisir.

Yang menjadi keprihatinan  Komnas  HAM, orang-orang dibunuh secara sadis lalu pasca kejadian tersebut terjadi pengungsian. Ini sangat berpotensi terjadi konflik horizontal. Sehingga sangat disayangkan, karena ada orang-orang yang menyebarkan isu provokatif.

“Kalau kita melihat jumlah massa demo dengan jumlah aparat keamanan 23 September di Wamena itu tidak seimbang, sehingga dalam posisi ini kita tidak serta merta menyalahkan aparat keamanan. Kalau aparat keamanan bertahan dan frontal, maka korbannya akan lebih banyak saat itu. Sehingga aparat memilih menjaga keseimbangan. Ini adalah tindakan yang baik bahwa kemudian ada satu dua orang yang ditembak itu memang  tindakan kepolisian untuk memastikan siapa pelaku utama kasus wamena,” ungkap Frits.

Keterangan beberapa saksi yang mau eksodus juga menyebutkan akibat rasa trauma yang dimiliki melihat secara langsung kebakaran. Ada ketakutan karena beredar isu akan ada penyerangan susulan dan  pilihan yang paling aman adalah meninggalkan wamena bisa saja untuk jangka waktu panjang atau janga waktu pendek.

“Orang eksodus bukan karena mereka mengungsi langsung. Melainkan trauma dan ada ketakutan di sana. Tugas pemerintah, aparat keamanan meminta semua pihak untuk  tidak melakukan demonstrasi anarkis lagi. Lalu melakukan pemulihan kepada mereka  yang korban luka-luka, memberi dukungan kepada korban meninggal dunia lalu konseling kepada mereka yang trauma,” pintanya.

Baca Juga :  Lingkungan Tempat Ibadah Wajib Bebas Covid-19

Selain itu lanjut Frits, bangun kembali dialog pertemuan antara masyarakat yang ada  di pengunsian dan masyarakat pribumi untuk berdialog kembali. Upaya rekonsiliasi pemaafan dan  lain sebagaiaya, namun tidak menggugurkan  perbuatan kejahatan yang dilakukan oleh oknum- oknum yang membuat kerusuhan tersebut. Diproses  dan mencari siapa aktor intelektual dalam kasus wamena. 

Adapun kondisi keamanan di Papua perlahan-lahan mulai kondusif. Khususnya Jayapura sendiri nampak mulai bangkit dan menunjukkan kebersamaan satu dengan yang lain makin erat. Terkait kondisi Jayapura dan Wamena yang sempat terjadi kerusuhan, salah satu pengamat sosial politik Universitas Cenderawasih, Marinus Yaung memberi sedikit catatan yang perlu disikapi oleh pihak keamanan. 

 Ia mengungkapkan bahwa dari kerusuhan di Jayapura dan Waena dipastikan secara teori, yang namanya konflik tak pernah berdiri sendiri. Pasti ada pihak dibalik konflik itu sendiri dan konflik bisa berjalan jika dilengkapi dengan tiga hal. Tiga hal tersebut adalah designer atau pihak yang merancang soal bagaimana konflik yang ingin diciptakan  dan hasilnya ingin seperti apa. Hanya saja designer ini tidak bisa berjalan sendiri, harus ada pihak yang memberikan dukungan atau yang disebut supporting. Pihak pendukung ini yang memberi ruang dan kebutuhan dalam melahirkan konflik. 

 “Dan yang ketiga adalah eksekutor atau orang lapangan yang berhadapan langsung dengan masyarakat dan melakukan kerusuhan,” kata Marinus Senin (30/9). Hanya saja antara pihak eksekutor dan suporting ini terkadang tidak saling kenal namun memiliki misi yang sama “Jadi secara teori, ada tiga kelompok dominan yang menyalakan api bara konflik di Jayapura dan Wamena. Masing-masing terorganisir dan saling merebut moment untuk menyalakan api dan menjadikan terus membesar,” ujar Yaung. Tujuannya adalah agar kondisi Papua terus menyala dan menarik perhatian luas dan menurut Yaung aparat keamanan harus bisa mengungkap konspirasi tiga pihak ini  agar seluruh Indonesia memahami duduk persoalan di Papua.

 “Saran saya jangan hanya salah satunya semisal yang eksekutor di lapangan tapi bagaimana mengambil atau menyentuh mereka yang menjadi aktor di belakang layar baik yang merancang maupun yang memberikan dukungan. Jika  hanya salah satu yang tersentuh hukum, saya pikir akan sulit merampungkan bahkan bisa-bisa terjadi konflik lainnya dikemudian hari,” imbuhnya (fia/ade/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya