Tuesday, May 7, 2024
24.7 C
Jayapura

Tuntut Ganti Rugi, Bandara Sentani Dipalang

TUNTUT HAK ULAYAT: Puluhan orang perwakilan masyarakat adat dari lima kumpung saat melakukan aksi protes di depan pintu masuk Bandara Sentani, Selasa (16/7). ( FOTO : Robert Mboik/Cepos)

SENTANI-Perwakilan  masyarakat adat yang berasal dari lima kampung di Kabupaten Jayapura yakni Yobe, Yahim, Ifar Besar, Hobong dan Sere kembali melakukan tuntutan kepada pihak pengelola Bandara Sentani  untuk segera menyelesaikan ganti rugi lahan di Bandara Sentani atau Besluit yang sudah disepakati sebelumnya. 

Dalam aksinya, Selasa (16/7) kemarin, masyarakat perwakilan dari lima kampung awalnya menggelar aksi demo di pintu masuk Bandara.

Dalam aksinya puluhan warga pemilik ulayat membawa dua spanduk besar yang bertuliskan “Jangan bicara tentang hak asasi manusia jika yang bicara adalah pelanggaran berat HAM. Bayar hak masyarakat adat tanah  bandara Sentani atau bisluit. Perhubungan Udara stop!!! Politik devide at impera kepada masyarakat adat”.
Sedangkan satunya lagi bertuliskan, “Perjanjian New York 1962 bukan surat pelepasan tanah adat bisluit Runaway- Apron luas 44,3 M. Bandara Sentani Ka bandara dan pihak Perhubungan Pusat  STOP !! Menipu rakyat pemilik tanah dengan dalil perjanjian New York 1962”. 

Baca Juga :  Potensi Sagu Papua Dilirik Qatar

Aksi demo ini mendapat pengawalan puluhan anggota gabungan TNI dan Polri. “Hari ini kami menuntut supaya pemerintah membayar,  hanya itu saja,” ungkap koordinator aksi Robert Ibo kepada koran ini di Bandara Sentani, Selasa (16/7).

Dia menjelaskan hingga saat ini tanah apron atau bisluit Bandara Sentani belum sepenuhnya dimiliki oleh pemerintah. Karena pemerintah juga belum mempunyai sertifikat atas tanah itu. Apalagi  masyarakat adat selaku pemilik ulayat belum melakukan pelepasan atas tanah tersebut.

Pihaknya tak menampik jika sebelumnya pemerintah sudah melakukan pembayaran sebesar Rp 15 miliar di tanah Bandara. Namun dia menegaskan yang dituntut saat ini tidak termasuk di dalam tanah yang sudah dibayarkan itu.

Baca Juga :  Satpol PP Bisa Tertibkan APK Tanpa Bawaslu

“Tahun 2003 dibayarkan itu kurang lebih 39 hektar, itu lain. Sekarang lagi 44 hektar lebih yang belum dibayar,” bebernya.

Pihaknya mengklaim, ada dasar hukum yang melatarbelakangi perjuangan itu. Yakni kesepakatan 2001, dimana masyarakat adat dan pemerintah sudah sepakat bahwa pemerintah siap untuk membayar. Dan sesuai kesepakatan itu pihak perhubungan yang akan menyelesaikan tuntutan itu.

“Terkait jumlah tuntutan kami sebenarnya sudah ada di pemerintah, semua ada catatanya,” paparnya. (roy/nat)

TUNTUT HAK ULAYAT: Puluhan orang perwakilan masyarakat adat dari lima kumpung saat melakukan aksi protes di depan pintu masuk Bandara Sentani, Selasa (16/7). ( FOTO : Robert Mboik/Cepos)

SENTANI-Perwakilan  masyarakat adat yang berasal dari lima kampung di Kabupaten Jayapura yakni Yobe, Yahim, Ifar Besar, Hobong dan Sere kembali melakukan tuntutan kepada pihak pengelola Bandara Sentani  untuk segera menyelesaikan ganti rugi lahan di Bandara Sentani atau Besluit yang sudah disepakati sebelumnya. 

Dalam aksinya, Selasa (16/7) kemarin, masyarakat perwakilan dari lima kampung awalnya menggelar aksi demo di pintu masuk Bandara.

Dalam aksinya puluhan warga pemilik ulayat membawa dua spanduk besar yang bertuliskan “Jangan bicara tentang hak asasi manusia jika yang bicara adalah pelanggaran berat HAM. Bayar hak masyarakat adat tanah  bandara Sentani atau bisluit. Perhubungan Udara stop!!! Politik devide at impera kepada masyarakat adat”.
Sedangkan satunya lagi bertuliskan, “Perjanjian New York 1962 bukan surat pelepasan tanah adat bisluit Runaway- Apron luas 44,3 M. Bandara Sentani Ka bandara dan pihak Perhubungan Pusat  STOP !! Menipu rakyat pemilik tanah dengan dalil perjanjian New York 1962”. 

Baca Juga :  Tiga Lakalantas, Dua Orang Tewas

Aksi demo ini mendapat pengawalan puluhan anggota gabungan TNI dan Polri. “Hari ini kami menuntut supaya pemerintah membayar,  hanya itu saja,” ungkap koordinator aksi Robert Ibo kepada koran ini di Bandara Sentani, Selasa (16/7).

Dia menjelaskan hingga saat ini tanah apron atau bisluit Bandara Sentani belum sepenuhnya dimiliki oleh pemerintah. Karena pemerintah juga belum mempunyai sertifikat atas tanah itu. Apalagi  masyarakat adat selaku pemilik ulayat belum melakukan pelepasan atas tanah tersebut.

Pihaknya tak menampik jika sebelumnya pemerintah sudah melakukan pembayaran sebesar Rp 15 miliar di tanah Bandara. Namun dia menegaskan yang dituntut saat ini tidak termasuk di dalam tanah yang sudah dibayarkan itu.

Baca Juga :  Pendekatan Tokoh hingga Pemda

“Tahun 2003 dibayarkan itu kurang lebih 39 hektar, itu lain. Sekarang lagi 44 hektar lebih yang belum dibayar,” bebernya.

Pihaknya mengklaim, ada dasar hukum yang melatarbelakangi perjuangan itu. Yakni kesepakatan 2001, dimana masyarakat adat dan pemerintah sudah sepakat bahwa pemerintah siap untuk membayar. Dan sesuai kesepakatan itu pihak perhubungan yang akan menyelesaikan tuntutan itu.

“Terkait jumlah tuntutan kami sebenarnya sudah ada di pemerintah, semua ada catatanya,” paparnya. (roy/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya