JAYAPURA – Koalisi masyarakat sipil untuk penegakan hukum dan HAM Papua yang tergabung dalam Paham Papua, LBH Papua, ALDP, Elsham Papua, PBH Cenderawasih, LBH Kyadayun Biak, LBH Kaki Abu Sorong menilai penembakan dan mutilasi terhadap empat warga sipil Nduga di Mimika pada 22 Agustus lalu menunjukan realitas negara berkontribusi terhadap meningkatnya kekerasan Militer (pelanggaran HAM) di bumi cenderawasih, sekaligus cermin negara gagal dalam memastikan perlindungan terhadap hak hidup rakyat Papua.
Sebagaimana penembakan dan mutilasi terhadap empat warga sipil Kabupaten Nduga di Timika pada tanggal 22 Agustus 2022, atas nama Arnold Lokbere, Lemaniol Nirigi dan Atis Tini yang jenasahnya ditemukan hanya bagian badan tanpa kepala dan kaki pada tanggal 25 Agustus 2022, 26 Agustus 2022, 29 Agustus 2022 dan 31 Agustus 2022 di Sungai Kampung Pigapu, Distrik Iwaka, Kabupaten Mimika dikategorikan sebagai Pelanggaran HAM Berat/Kejahatan Luar Biasa (Extra Ordinary Crime) karena merupakan pembunuhan diluar hukum (Extra Judicial Killing) yang dilakukan secara sadis dan tidak berperikemanusiaan.
Koalisi masyarakat sipil untuk penegakan hukum dan HAM Papua Gustaf R Kawer menyebut, kasus pembunuhan di luar hukum (Extra Judicial Killing) yang dilakukan oleh pelaku dari Kesatuan TNI atas nama Mayor Inf Helmanto Fransiskus Dahki (Ws Dandenma Brigif R 20/Ijk/3), Kapten Inf Domiinggus Kainama (Pasi Pam Ops Brigif R 20/Ijk/3), Praka Pargo Rumbouw (Anggota Brigif R 20/Ijk/3), Pratu Rahmat Amin Sese (Anggota Brigif R 20/Ijk/3), Pratu Robertus Putra Clinsman (Anggota Brigif R 20/Ijk/3), Pratu Riski (Anggota Brigif R 20/Ijk/3), Pratu Viktor dan Pratu Yoko yang bekerjasama dengan empat warga sipil bernama Pudjianto Lee Alias Jeck, Andre Dul Umam, Roy Marthen Howay dan Rafles menunjukan negara lewat aparatnya berkontribusi terhadap meningkatnya kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua.
Koalisi masyarakat sipil untuk penegakan hukum dan HAM Papua
Sebagaimana dalam kurun waktu dua tahun ini masih segar dalam ingatan rakyat Papua peristiwa sadis, tidak berperikemanusiaan yang dilakukan oleh Aparat TNI terhadap masyarakat sipil di Papua kasus pembakaran rumah Dinas Kesehatan di Hitadipa pada 19 September 2020, kasus kenembakan di sekitar Bandara Sugapa, 7 Oktober 2020 yang korban gembala Gereja Katolik, kasus hilangnya 2 warga sipil atas nama Luther Zanambani dan Apinus Zanambani yang dibunuh, dibakar lalu mayatnya dibuang di sungai oleh aparat Koramil 1705-11/Sugapa, Kodim 1705/Paniai.
Kasus lainnya, penembakan terhadap Pendeta Yeremia Zanambani pada 19 September 2020 oleh Aparat Koramil 1705-11/Sugapa, Kodim 1705/Paniai. Kasus penembakan terhadap dua warga sipil di Timika atas nama Eden Bebari dan Ronny Wandik pada 13 April 2020 oleh Satgas Gabungan Yonif Raider 712/WT dan Yonif Raider 900/BW di bawah kendali operasi Kogabwilhan III, penembakan terhadap dua anak atas nama Yaukim Majau dan Apertinus Sondegau meninggal dunia pada 27 Oktober 2021 di Sugapa Kabupaten Intan Jaya.
“Kasus-kasus ini merupakan Pelanggaran HAM Berat, namun dialihkan proses penyelesaiannya melalui Peradilan Militer, Presiden dan Panglima TNI sering mengeluarkan pernyataan mengutuk pelaku dan menjanjikan akan menyelesaikan kasus ini secara transparan serta pelakunya akan divonis berat termasuk dipecat dari kesatuannnya,” jelasnya.
“Namun fakta proses hukumnya menunjukan realitas yang berbeda dalam kasus Intan Jaya proses hukum di Peradilan Milter hingga kini masyarakat tidak mengetahui proses hukum terhadap para tersangka baik dari pemeriksaan di Polisi Militer, Oditur Militer hingga Proses hukum di Peradilan Militer,” papar Gustav melalui rilis yang diterima Cenderawasih Pos, Jumat (9/9) kemarin.
Koalisi masyarakat sipil untuk penegakan hukum dan HAM Papua menyebut hanya kasus Eden Bebari dan Ronny Wandik yang keluarga korban mendapat informasi putusan terhadap dua pelaku yang persidangannya di Peradilan Militer Menado, jauh dari pantauan keluarga korban dan rakyat Papua, sedangkan proses persidangan terdadap dua pelaku di Peradilan Milter Bali hingga kini tidak jelas proses hukumnya karena keluarga tidak mendapat informasi perkembangan sidang dari Pengadilan maupun Oditur Militer.
Realitas proses hukum ini mengingatkan rakyat Papua akan peristiwa kekerasan militer yang tak kunjung mendapat penyelesaian di Tanah ini, ICTJ dan Elsham Papua dalam dokumentasi pelanggaran HAM yang dilakukan di Wilayah Biak, Manokwari, Paniai dari Periode 1960-an (sebelum Pepera) hingga Pasca Reformasi 1998, telah mendokumentasikan kurang lebih 749 Kasus sedangkan Asian Human Rights Commision dan Human Rights and Peace For Papua mendokumentasikan kekerasan di Pegunungan Tengah Periode 1977-1978, terdapat kekerasan militer yang menyebabkan meninggalnya 4.146 Orang.
Dari banyaknya kasus Pelanggaran HAM tersebut, kasus Abepura 7 Desember 2000 yang telah diproses hukum hingga ke pengadilan Makasar, namun kasus ini berakhir dengan dibebaskan 2 pelaku pelanggaran HAM baik di Tingkat Pengadilan Pertama dan Kasasi sedangkan Kasus Pelanggaran HAM Berat, Wasior 2001, Wamena 2003 telah ada rekomendasi dari Komnas HAM RI sebagai kasus Pelanggaran HAM Berat, namun proses hukumnya hingga saat ini masih “berputar” di Kejaksaan Agung dengan alasan masih kurang alat bukti.
“Kasus Paniai telah dilimpahkan ke Pengadilan HAM Makassar tetapi pelakunya hanya satu tersangka TNI yang telah pensiun, hingga kini proses persidangan belumlah jelas karena masih menunggu Pelantikan Hakim Ad-Hoc Pengadilan HAM, setelah kasus Abepura 7 Desember 2000 atau saat Era pemberlakuan Undang-Undang Otonomi Khusus ini, tidak ada satupun kasus pelanggaran HAM yang diberakhir di Pengadilan HAM dengan vonis bersalah bagi pelaku dan adanya kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban dan keluarga korban, malah sebaliknya kasus-kasus tersebut dialihkan ke kriminal murni/disidangkan di peradilan Militer dan pelakunya mendapat vonis yang sangat ringan,” kata Gustav.
“Kami Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penegakan Hukum dan HAM di Papua menilai kasus penembakan dan mutilasi empat warga sipil Nduga di Mimika merupakan realitas negara berkontribusi terhadap meningkatkan kekerasan militer dan pelanggaran HAM di Papua sekaligus cermin negara gagal dalam memastikan perlindungan terhadap hak hidup rakyat Papua sebagaimana diatur dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), Konvenan Sipol, Konvenan Ecosob, UUD 1945 dan UU HAM Nomor 39 Tahun 1999,” tegasnya.
Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penegakan Hukum dan HAM di Papua menyatakan sikap mengutuk dengan keras kasus penembakan dan mutilasi terhadap 4 Warga Sipil Nduga di Timika yang dilakukan secara sadis dan tidak berperikemanusiaan oleh Aparat TNI Brigif Reider/20 Timika yang bekerjasama dengan 4 warga sipil.
Kasus penembakan dan mutilasi terhadap 4 warga sipil diklasifikasikan sebagai Pelanggaran HAM Berat karena ada pembunuhan di luar hukum (Extra Judicial Killing) dilakukan secara komando, sistematis dan meluas karena telah menyebabkan korban masyarakat sipil. Mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia membentuk KPP HAM untuk melakukan penyelidikan sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM agar dapat mengungkap motif dan pelaku kasus penembakan dan mutilasi terhadap korban warga Nduga di Timika.
Mendesak pihak Kepolisian Resort Mimika dan Denpuspom XVII/C Timika agar lebih transparan dalam mengungkap kasus kekerasan ini yang melibatkan masyarakat sipil dan TNI, Mendesak pemerintah untuk mengevaluasi pendekatan keamanan baik yang dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia maupun TNI dari pendekatan kekerasan menjadi pendekatan yang lebih humanis terhadap Rakyat di Papua.
Selain itu pihaknya juga mendesak Pemerintah agar secara serius menghentikan kekerasan militer yang menyebabkan konflik berkepanjangan di Papua dengan cara menarik pasukan organik dan non organik di wilayah konflik di Papua serta mendepankan dialog damai antara Pemerintah dan Perwakilan Masyarakat Papua.
Ditambahkan juga bahwa pihaknya mendesak Pemerintah menyelesaikan Pelanggaran HAM Berat di Papua (Wasior 2001, Wamena 2003 dan Paniai 2014) dan Pelanggaran HAM masa lalu melalui mekanisme Pengadilan HAM Permanen, Pengadilan HAM Ad-Hoc dan mekaisme KKR agar ada keadilan bagi korban pelanggaran HAM Berat.
Pemerintah Provinsi Papua, DPRP Papua dan MRP sesuai dengan mandat dalam Undang-Undang Otsus wajib secara serius memberi perlindungan terhadap Orang Asli Papua (OAP) dan serius memberi perhatian terhadap penegakan hukum dan HAM di Papua agar tidak berulang Pelanggaran HAM yang menempatkan OAP menjadi korban kekerasan di tanahnya sendiri.
Selain itu, Gustav juga menyampaikan jika dirinya dan keluarga korban sudah bertemu Penyidik dari Puspom TNI/Denpuspom TNI dan penyidik dari Polres Mimika dengan penyerahan surat kuasa tim koalisi dan perkenalkan tim yg akan mendampingi, meminta Puspom TNI untuk melakukan pemeriksaan secara optimal/mengungkap motif pembunuhan, optimal mencari organ tubuh yg belum didapat, membuka hasil autopsi kepada korban termasuk perlu didengar keterangan dari saksi korban.
Meminta perkembangan penyidikan secara tertulis diberikan kepada PH dan Keluarga korban termasuk melakukan komunikasi dengan panglima agar semua proses hukum hingga peradilan dilakukan di Timika.
“Dari hasil pertemuan dengan pihak TNI, respon dari Puspom TNI mereka akan optimal untuk ungkap perkara ini, mengenai lokasi sidang akan dikomunikasikan dengan panglima TNI. Mereka akan melakukan pemeriksaan terhadap saksi dari keluarga korban,” kata Gustav.
Adapun respon dari Kapolres dan Penyidik Polres, mereka akan berusaha mengungkap kasus ini dengan mencari dan menangkap pelaku atas nama Roy Marthen Howay, memeriksa Sopir atas nama Jamal, berusaha mengungkap bagian organ tubuh yg lain dan mengumumkan hasil autopsi terhadap korban.
“Hari Senin akan dilakukan pemeriksaan terhadap saksi dari keluarga korban sesuai permintaan kami,” pungkasnya (fia/wen)