JAYAPURA-Agenda demo yang dilakukan kelompok Petisi Rakyat Papua (PRP) dengan agenda tolak Daerah Otonomi Baru (DOB) dan Otsus akhirnya Jumat (29/7) digelar. Meski demikian aksi ini tidak maksimal.
Pasalnya jika diawal, juru bicara PRP, Jefry Wenda menyampaikan akan mengerahkan massa sekitar 2.000 orang namun nyatanya yang turun ke lapangan hanya sekira 60 orang. Ini tak lepas dari diamankannya Jefry Wenda Jumat (29/7) dini hari sekira pukul 15.00 WIT di Pasar Mama – mama Papua.
Polisi menahan Jefry setelah mendapatkan laporan dari masyarakat yang menyebut ada 2 orang yang mencurigakan masuk ke lingkungan pasar padahal pasar sudah tutup. “Kami dapat informasi kemudian dicek dan ternyata benar keduanya adalah Jefry Wenda dan rekannya, Ruben Wakla,” kata Kapolresta Jayapura Kota, Kombes Pol. Dr. Victor Dean Mackbon, SH., SIK., MH., M.Si., kepada wartawan di Mapolresta Jayapura Kota, Jumat (29/7).
Menurut Victor Mackbon yang dipertanyakan adalah hendak apa Jefry dan rekannya pukul 3 pagi berada di pasar tersebut, dimana pasar mama – mama hanya beroperasi hingga pukul 22.00 WIT.
“Kami mendengar ada beberapa orang masuk dini hari, padahal ini lokasi yang tertutup jika sudah tidak berjualan. Kami merespon informasi tersebut dan menemukan keduanya berada di lantai 3 di tempat sepi. Kami juga mendapat informasi soal rencana aksi dari kelompok yang tak mendukung DOB dimana rencananya akan dilakukan dengan cara anarkis. Kami pikir jika niatnya baik maka tidak mungkin pukul 2 di lokasi yang sudah tutup,” beber Victor.
Aksi demo klaim Kapolresta hanya diikuti sekitar 60 orang dimana pihaknya mengantisipasi 8 titik namun hanya Perumnas III dan kantor Sinode Kingmi saja yang terlihat kelompok massa. “Tapi semua aman terkendali dan ini demo kelima dan aspirasi juga sudah diterima oleh DPR Papua. Selain itu kami melihat UU DOB sudah diundangkan dan masing – masing pihak harus bisa menerima,” papar Victor. Terkait diamankannya Jefry Wenda menurut Kapolresta, pihaknya selalu membuka ruang namun kelompok PRP selalu kucing – kucingan.
“Ada juga kantor keagamaan yang dipakai untuk menyampaikan aspirasi politik. Dan ini yang kemudian kami lihat mengarah ke niatan anarkis sehingga kami coba antisipasi. Selain itu ada info di luar bahwa kami (polisi) melakukan penculikan. Itu tidak benar, sebab kami selalu bertindak atas nama hukum dan tidak pernah mencari – cari. Kalau malam itu ada dua yang diamankan berarti 2 orang ini memang minta dicari,” tambahnya.
Polisi sendiri awalnya akan mengenakan pasal 167 ayat 1 KUHP yang berbunyi barang siapa memaksa yang masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangn yang tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum dan atas permintaan yang berhak tidak pergi dengan segera maka akan diancam 8 bulan.
Pasal ini rencananya akan diterapkan pada Jefry dan rekannya namun Jumat sorenya Jefry dan rekannya telah dipulangkan. Jefry sendiri kepada Cenderawasih Pos membantah jika dirinya di pasar untuk menerima transaksi uang seperti yang ramai dibicarakan. “Itu tidak benar, saya di pasar sejak jam 2 dini hari dan jam 3 polisi datang tangkap dan kami di situ untuk mempersiapkan agenda demo. Tidak betul yang muncul di media sosial,” jelasnya.
“Saya bertemu dengan orang di pasar tersebut. Tempat ini ada teman jadi kami sempat diskusi dan belum sempat pulang, kami langsung diamankan,” sambungnya.
Ia menyampaikan bahwa ini motif pihak keamanan untuk membugkam demokrasi. “Saya diamankan kemudian dimintai keterangan soal status di media sosial yang diposting beberapa bulan lalu, ini kan aneh. Kalau untuk klarifikasi kenapa tidak diundang dan kenapa jam 3 pagi,” tanyanya.
Soal ia menerima uang sebesar Rp 25 juta untuk mempersiapkan aksi, menurut Jefry itu telah diklarifikasi bahwa itu bukan komunikasi miliknya. “Itu disiapkan oleh buzzer,” tangkisnya.
Lalu dikatakan sekalipun DOB telah disahkan namun perjuangan akan tetap dilakukan. “Ini tidak serta merta akan mengghentikan gerakan kami. Mau Jakarta sahkan Otsus dan DOB kami akan tetap berjuang,” tutupnya.
Sementara Imanus Komba dari LBH Papua yang mendampingi PRP menyampaikan bahwa sejak dua hari lalu pihaknya sudah ajukan pendampingan untuk tanggal 29 Juli dan dibuatkan surat kuasa. Ia juga kaget setelah mendengar informasi jika Jefry dan Ruben Wakla ditahan.
“Paginya kami datang dan lakukan pendampingan kepada massa aksi dan kami kembali ke Polres damping Jefry dan kami tidak tahu alasan Jefry ditahan. Polres dan Polda harus lebih kooperatif karena ini dalam konteks kebebasan berekspresi,” tutupnya.
Secara terpisah, Sekjen Gempar Papua, Nelius Wenda menyebutkan, sekira pukul 03.09, Juru Bicara PRP, Jefry Wenda putus komunikasi.
“Saya terakhir komunikasi pukul 02:12 dan terakhir komunikasi di grup WA pukul 03.09 WIT. Dalam grup WA, dia (Jefry, red) sampaikan aparat ada masuk dalam pasar, kemungkinan dia akan dapat tangkap. Setelah itu dia sudah tidak aktif lagi sampai sekarang,” jelas Nelius Wenda di Abepura, Jumat (29/7).
Untuk itu, sebagai salah satu bagian dari 122 organisasi yang tergabung dalam PRP, pihaknya menduga aparat menculik Jefry. “Kami curiga dia ditangkap dari aparat karena informasi terakhir Jefry sebut dia sedang dikepung di pasar,” tuturnya.
Melihat hal ini pihaknya meminta kepada aparat kepolisian untuk memberikan penjelasan soal penculikan tersebut, karena dilakukan tanpa prosedur penangkapan dengan membawa surat.
“Kami minta polisi jelaskan alasan penangkapan itu apa, sedangkan dari PRP dan Jefry sendiri sudah antar surat pemberitahuan tiga hari sebelum aksi ke Polda Papua dan Kasat Intel Polresta bertemu langsung. Jadi ini alasanya apa dia ditangkap dan syarat aksi sudah diberitahukan, tapi kenapa mereka Jedry dan Ruben ditangkap. Jadi, kami minta Polisi harus lepas Jubir PRP karena tidak ada dasar,” pintanya.
“Ini bukan penangkapan tapi ini penculikan. Karena ini mereka (aparat) tangkap jam 3 Pagi, tanpa ada surat pemberitahuan. Ini merupakan sikap aparat yang arogan membatasi ruang demokrasi rakyat dengan agenda tolak pemekaran dan Otsus serta meminta referendum sebagai solusi demokrasi bagi rakyat Papua,” tutupnya. (ade/oel/rel/nat)