JAYAPURA-West Papua Council of Churches (WPCC) atau Dewan Gereja Papua (DGP) meminta Kapolda Papua, Irjen Pol. Mathius D. Fakhiri untuk memerintahkan anggotanya agar tidak bertindak kasar dan represif (menekan,mengekang,menahan, atau menindas) kepada masyarakat yang tergabung dalam Petisi Rakyat Papua (PRP) yang akan menggelar aksi demo, Kamis (14/7) hari ini.
“Kami minta kepada pemerintah khususnya Kapolda untuk kendalikan anak buahnya supaya jangan terlalu kurang ajar dan terlalu main kasar. Ada aturan-aturan dan para pendemo ini hanya ingin menyampaikan aspirasi mereka ke DPR Papua. Jangan lagi halangi-halangi mereka di jalan seperti yang terjadi pada tanggal 10 Mei,” ungkap Perwakilan Dewan Gereja Papua, Pdt. Benny Giyai di Sentani, Rabu (13/7).
Mantan Ketua Sinode Kingmi Papua itu mengatakan Indonesia harus menjadi negara yang menghormati hak-hak demokrasi dalam menyampaikan pendapat di muka umum.
Dia mengatakan selama tiga kali aksi dari PRP yang terjadi secara nasional dan khususnya di Papua, negara dan khususnya aparat keamanan tidak menunjukkan sikap menghormati hak demokrasi rakyat Papua dengan tindakan yang represif.
“Dalam tiga kali aksi PRP, Indonesia tidak tunjukkan sebagai negara demokrasi dan negara yang memiliki hukum hak asasi manusia dan negara memiliki Komnas HAM,” katanya.
Dia menyarankan agar negara dan aparat keamanan memberi pesan kepada dunia bahwa negara demokrasi yang menjunjung tinggi HAM itu ada di Indonesia, bukan malah melarang masyarakat Papua berorasi menyampaikan pendapat di muka umum seperti yang selama ini dilihat di Papua dan daerah lain di Indonesia.
“Kami Dewan Gereja Papua mau lihat tidak ada lagi tindakan represi aparat seperti tanggal 10 Mei lalu, dan dalam catatan Dewan Gereja Papua, kami ada catat dan sikap represif itu dipertontonkan oleh aparat keamanan. Dimana sebelum dilakukan aksi, Polisi sudah tiba di beberapa titik yang menjadi pusat berkumpul para demonstran dan mereka suruh pulang. Apa ini tanda negara demokrasi yang memiliki Komnas HAM dan menjujung tinggi demokrasi,” tuturnya.
Terkait hal ini, Dewan Gereja Papua menurut Pdt. Giyai, meminta aparat kepolisian untuk membuka ruang bagi masyarakat Papua untuk membicarakan nasib mereka tentang daerah otonom baru yang sepihak dan tidak aspiratif serta pembentukan otonomi khusus yang sepihak.
“Ini tidak demokratis, dipaksakan secara sepihak dan mereka tolak DOB yang juga dipaksakan tanpa konsultasi dengan orang Papua. Mereka menyampaikan hak mereka yang selalu dihalangi dan disangkali,” tutupnya. (oel/ade/nat)