Monday, December 23, 2024
33.7 C
Jayapura

Jarak Dekat Ada Perahu, kalau Agak Jauh Bisa Sewa Dorkas

Di Lamongan, Mereka Berbulan-bulan Hidup dalam Genangan Banjir Bengawan Jero (2-Habis)

Jalanan yang lama tergenang banjir tak cuma mencipratkan keluh kesah. Dari sana mengalir pula peluang usaha berupa ojek perahu dan kendaraan roda tiga.

EDI SUSILO, Lamongan

’’EH, Lek perahune kintir,’’ ucap Devi sambil memegang tepi perahu. Perahu yang dikendalikan Munirin itu memang membelok ke tengah jalan.

Sang tukang perahu sigap. Dia langsung memegang bagian belakang perahu. Seusai membantu menurunkan barang bawaan penumpang, perahu pun kembali melaju, setelah dayung kayu dia ayunkan.

Di atas perahu berukuran 4 meter itu, Devi, Wulan, dan Sri asyik ngobrol. Sesekali perahu bergoyang karena ada pengendara motor yang melintas, menyibak air jalan yang terendam.

Mereka bukan turis yang tengah menyusuri kanal-kanal Venezia, Italia, tentu saja. Dan, Munirin juga bukan gondolier alias si pendayung gondola yang membawa penumpang sembari sesekali berdendang.

Devi, Wulan, dan Sri ibu-ibu muda bertetangga di Desa Kemlagilor, Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Dan, yang mereka naiki adalah ojek perahu yang muncul sejak desa mereka berbulan-bulan tergenang luapan Bengawan Jero.

Kemlagilor bagian dari puluhan desa di lima kecamatan di Lamongan yang berbulan-bulan terendam banjir dari Bengawan Jero alias Sungai Blawi. Banjir yang menghambat gerak orang bekerja, mengganggu anak-anak sekolah, merusak infrastruktur, dan melenyapkan penghasilan besar dari tambak-tambak udang dan ikan.

Munirin salah seorang petambak yang sekarang harus banting setir jadi tukang perahu. Nurudin pun demikian. Berdamai dengan banjir dan kini menekuni sumber pendapatan pengganti tambak yang tak bisa diharapkan lagi akibat terjangan banjir sejak November tahun lalu.

Baca Juga :  Uang Belanja Hanya Rp 500 Ribu/Bulan, Saat Hamil pun Masih Sempat Dianiaya

Nurudin menggunakan perahu berbahan paralon miliknya yang dia beli seharga Rp 4 juta untuk ngojek di Jalan Raya Kemlagilor. Pasar Kiringan, pusat warga berbelanja kebutuhan pokok, tempatnya mangkal.

Ibu-ibu pembeli yang tak mau barang belanjaannya basah karena air dia tawari jasa angkut. ’’Lumayan, sehari kadang dapat Rp 50 ribu. Kalau ramai sampai Rp 60 ribu,’’ ucapnya.

Di depan pasar, sambil berpegangan pada pohon mangga, di situ dia biasanya menunggu. Perahu akan dia dorong ketika ada calon penumpang memanggil, ’’Perahu, Pak.’’

Tarif ojek perahu kakek satu cucu itu tak mahal. Hanya Rp 2.000 sekali jalan. Jarak yang ditempuh mengantar para emak memang juga tak jauh. Dari depan Pasar Kiringan sampai halaman SDN Kemlagilor yang berjarak sekitar 150 meter.

Penumpang biasanya memang memanfaatkan ojek perahu ketika sudah dekat dengan pasar. Turun dari perahu, perjalanan biasanya diteruskan dengan berjalan kaki atau naik sepeda motor.

’’Kalau naik motor (ke pasar) eman. Nanti rusak,’’ ujar Lilis, salah seorang penumpang, yang kemarin pagi membawa tiga kresek besar barang belanjaan. Plus dua lusin kerupuk.

Peluang warga yang sayang motor itu pula yang dimanfaatkan Khoiron dan Munawar. Pemilik motor roda tiga (dorkas) yang dibuat untuk angkutan barang dan orang yang pulang dari pasar. Tarifnya bergantung jauh dekat jarak dan seberapa banyak barang bawaan. Mulai Rp 10 ribu hingga Rp 50 ribu. ’’Ya lumayanlah, Mas,’’ kata Khoiron kepada Jawa Pos.

Sehari dia bisa mengantongi Rp 100 ribu kalau pasar sedang ramai. Kalau sedang sepi, sekitar separonya.

Baca Juga :  Sedari Pagi Hingga Larut, Pejuang Budaya Justru Terpajang di Pinggiran Jalan

Panen penumpang dia rasakan sejak akhir tahun lalu. Ketika air sedang tinggi-tingginya. Ulang-alik, antar jemput, hampir tak pernah berhenti karena banyak warga dan pembeli di pasar yang butuh diantar.

Dengan motor bermesin 150 cc miliknya, dia menerabas banjir. ’’Kadang sekali angkut bisa muat sepuluh orang,’’ kata warga bapak anak satu itu.

Tapi, sekarang penumpang mulai sepi. Banyak alternatif kendaraan yang disediakan pemerintah daerah. Ada pikap dan truk kendaraan terbuka yang gratis untuk wira-wiri warga.

Setidaknya ada dua mobil dinas yang kemarin disiapkan Pemerintah Kabupaten Lamongan. Keduanya dari badan penanggulangan bencana daerah (BPBD) dan dinas pendidikan (dispendik).

Tapi, Khoiron yang sejak 2014 menjadi pengojek dorkas tetap punya pelanggan sendiri. Apalagi pada musim banjir seperti sekarang. Yang setia mengontak ketika membutuhkan jasanya yang tersedia selama 24 jam.

Selain itu, warga asli Kemlagilor tersebut telah punya pekerjaan tetap. Menjadi penjual air bersih yang bahan bakunya kulak dari PDAM.

Dari depo PDAM, dia menjual air ke rumah-rumah warga untuk keperluan memasak dan mandi. Dagangan airnya biasanya laku keras ketika memasuki musim kemarau.

Ya, meski pada musim hujan sering kebanjiran air, ketika kemarau tiba, air di Kemlagilor dan kawasan sekitar Bengawan Jero justru langka. Sulit didapat.

Yang tinggal di sekitar Bengawan Jero pasti tahu pepatah lokal yang diamini bersama. ’’Lak rendeng gak iso ndoprok, lak ketigo gak iso cewok’’. Kalau musim hujan tidak bisa duduk karena banjir. Kalau musim kemarau, kekurangan air. Bahkan untuk sekadar cebok. (*/c7/ttg/JPG)

Di Lamongan, Mereka Berbulan-bulan Hidup dalam Genangan Banjir Bengawan Jero (2-Habis)

Jalanan yang lama tergenang banjir tak cuma mencipratkan keluh kesah. Dari sana mengalir pula peluang usaha berupa ojek perahu dan kendaraan roda tiga.

EDI SUSILO, Lamongan

’’EH, Lek perahune kintir,’’ ucap Devi sambil memegang tepi perahu. Perahu yang dikendalikan Munirin itu memang membelok ke tengah jalan.

Sang tukang perahu sigap. Dia langsung memegang bagian belakang perahu. Seusai membantu menurunkan barang bawaan penumpang, perahu pun kembali melaju, setelah dayung kayu dia ayunkan.

Di atas perahu berukuran 4 meter itu, Devi, Wulan, dan Sri asyik ngobrol. Sesekali perahu bergoyang karena ada pengendara motor yang melintas, menyibak air jalan yang terendam.

Mereka bukan turis yang tengah menyusuri kanal-kanal Venezia, Italia, tentu saja. Dan, Munirin juga bukan gondolier alias si pendayung gondola yang membawa penumpang sembari sesekali berdendang.

Devi, Wulan, dan Sri ibu-ibu muda bertetangga di Desa Kemlagilor, Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Dan, yang mereka naiki adalah ojek perahu yang muncul sejak desa mereka berbulan-bulan tergenang luapan Bengawan Jero.

Kemlagilor bagian dari puluhan desa di lima kecamatan di Lamongan yang berbulan-bulan terendam banjir dari Bengawan Jero alias Sungai Blawi. Banjir yang menghambat gerak orang bekerja, mengganggu anak-anak sekolah, merusak infrastruktur, dan melenyapkan penghasilan besar dari tambak-tambak udang dan ikan.

Munirin salah seorang petambak yang sekarang harus banting setir jadi tukang perahu. Nurudin pun demikian. Berdamai dengan banjir dan kini menekuni sumber pendapatan pengganti tambak yang tak bisa diharapkan lagi akibat terjangan banjir sejak November tahun lalu.

Baca Juga :  Dua Tahun Vakum, 19 Calon Jamaah Dialihkan ke Ahli Waris

Nurudin menggunakan perahu berbahan paralon miliknya yang dia beli seharga Rp 4 juta untuk ngojek di Jalan Raya Kemlagilor. Pasar Kiringan, pusat warga berbelanja kebutuhan pokok, tempatnya mangkal.

Ibu-ibu pembeli yang tak mau barang belanjaannya basah karena air dia tawari jasa angkut. ’’Lumayan, sehari kadang dapat Rp 50 ribu. Kalau ramai sampai Rp 60 ribu,’’ ucapnya.

Di depan pasar, sambil berpegangan pada pohon mangga, di situ dia biasanya menunggu. Perahu akan dia dorong ketika ada calon penumpang memanggil, ’’Perahu, Pak.’’

Tarif ojek perahu kakek satu cucu itu tak mahal. Hanya Rp 2.000 sekali jalan. Jarak yang ditempuh mengantar para emak memang juga tak jauh. Dari depan Pasar Kiringan sampai halaman SDN Kemlagilor yang berjarak sekitar 150 meter.

Penumpang biasanya memang memanfaatkan ojek perahu ketika sudah dekat dengan pasar. Turun dari perahu, perjalanan biasanya diteruskan dengan berjalan kaki atau naik sepeda motor.

’’Kalau naik motor (ke pasar) eman. Nanti rusak,’’ ujar Lilis, salah seorang penumpang, yang kemarin pagi membawa tiga kresek besar barang belanjaan. Plus dua lusin kerupuk.

Peluang warga yang sayang motor itu pula yang dimanfaatkan Khoiron dan Munawar. Pemilik motor roda tiga (dorkas) yang dibuat untuk angkutan barang dan orang yang pulang dari pasar. Tarifnya bergantung jauh dekat jarak dan seberapa banyak barang bawaan. Mulai Rp 10 ribu hingga Rp 50 ribu. ’’Ya lumayanlah, Mas,’’ kata Khoiron kepada Jawa Pos.

Sehari dia bisa mengantongi Rp 100 ribu kalau pasar sedang ramai. Kalau sedang sepi, sekitar separonya.

Baca Juga :  Tiap Cerita Punya Pesan Berbeda, Seni Teater di Papua Diharap Bisa Berkembang

Panen penumpang dia rasakan sejak akhir tahun lalu. Ketika air sedang tinggi-tingginya. Ulang-alik, antar jemput, hampir tak pernah berhenti karena banyak warga dan pembeli di pasar yang butuh diantar.

Dengan motor bermesin 150 cc miliknya, dia menerabas banjir. ’’Kadang sekali angkut bisa muat sepuluh orang,’’ kata warga bapak anak satu itu.

Tapi, sekarang penumpang mulai sepi. Banyak alternatif kendaraan yang disediakan pemerintah daerah. Ada pikap dan truk kendaraan terbuka yang gratis untuk wira-wiri warga.

Setidaknya ada dua mobil dinas yang kemarin disiapkan Pemerintah Kabupaten Lamongan. Keduanya dari badan penanggulangan bencana daerah (BPBD) dan dinas pendidikan (dispendik).

Tapi, Khoiron yang sejak 2014 menjadi pengojek dorkas tetap punya pelanggan sendiri. Apalagi pada musim banjir seperti sekarang. Yang setia mengontak ketika membutuhkan jasanya yang tersedia selama 24 jam.

Selain itu, warga asli Kemlagilor tersebut telah punya pekerjaan tetap. Menjadi penjual air bersih yang bahan bakunya kulak dari PDAM.

Dari depo PDAM, dia menjual air ke rumah-rumah warga untuk keperluan memasak dan mandi. Dagangan airnya biasanya laku keras ketika memasuki musim kemarau.

Ya, meski pada musim hujan sering kebanjiran air, ketika kemarau tiba, air di Kemlagilor dan kawasan sekitar Bengawan Jero justru langka. Sulit didapat.

Yang tinggal di sekitar Bengawan Jero pasti tahu pepatah lokal yang diamini bersama. ’’Lak rendeng gak iso ndoprok, lak ketigo gak iso cewok’’. Kalau musim hujan tidak bisa duduk karena banjir. Kalau musim kemarau, kekurangan air. Bahkan untuk sekadar cebok. (*/c7/ttg/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya