Sunday, November 24, 2024
24.7 C
Jayapura

Jurnalis Cenderawasih Pos Alami Kekerasan Verbal

JAYAPURA-Kekerasan verbal dialami jurnalis Perempuan di Papua berupa pelecehan melalui lisan saat hendak meliput persidangan kasus rasisme di Pengadilan Negeri ( PN) Jayapura, Senin (21/2) kemarin.

Korban kasus kekesaran ini, Elfira, Jurnalis harian Cenderawasih Pos yang saat itu hendak meliput persidangan.

Seperti kronologi yang disampaikan oleh korban, saat itu dirinya akan meliput sidang dakwaan terhadap Juru Bicara KNPB Viktor Yeimo pada Senin (21/2) sekira pukul 10.05 WIT di PN Jayapura.

Dikatakan, saat itu, pintu masuk PN Jayapura dijaga ketat aparat sehingga kendaraan tidak bisa masuk. Elfira yang ditugaskan meliput persidangan ini tiba di Cafe Prima Garden yang bersebelahan dengan PN Jayapura, memarkirkan kendaraannya kemudian berjalan menuju  Pengadilan Negeri Jayapura.

Saat itu, dirinya menenteng kamera hendak masuk  ke  PN Jayapura. Namun tiba-tiba salah satu dari massa yang duduk di trotoar di luar pengadilan meneriaki dengan ucapan yang sangat jelas “Sini saya perkosa ko” (Sini saya perkosa kamu)

“Padahal saat itu, saya lewat dengan menenteng kamera liputan dan tidak menganggu massa yang saat itu sedang duduk di salah satu para-para yang tak jauh dari pintu gerbang Pengadilan Negeri Jayapura,” ujarnya.

Teriakan “Sini saya perkosa ko” dari salah satu massa itu disaksikan dan didengarkan oleh beberapa orang di antara mereka. Hanya saja, mereka mendiamkan hal itu tanpa melakukan apa-apa.

  “Setelah kejadian itu, saya langsung masuk ke Pengadilan yang dijaga ketat oleh aparat untuk meliput proses persidangan dengan terdakwa Victor Yeimo di ruang utama Pengadilan Negeri Jayapura,” terangnya.

Aliansi Jurnalis Independen Jayapura menyesalkan adanya oknum masyarakat yang mengeluarkan kata intimidasi yang terindikasi adanya kekerasan seksual terhadap wartawan Surat Kabar Cenderawasih Pos bernama Elfira.

AJI Jayapura mengeluarkan sikap terkait aksi intimidasi dan kekerasan verbal yang dialami Elfira. “AJI Jayapura meminta masyarakat menghargai tugas jurnalistik oleh insan pers khususnya jurnalis perempuan yang rentan mendapatkan kekerasan.,” ujar ketua AJI Jayapura Lucky Ireeuw dalam press rilisnya menyikapi kasus ini.

   AJI Jayapura mengecam masih adanya kata berbau seksual bagi jurnalis perempuan. Hal ini menunjukkan masih adanya stigma kaum perempuan di tanah Papua sering mendapatkan kekerasan seksual baik verbal maupun non verbal.

Baca Juga :  Tahap II, 7 Tersangka Kasus Makar Minta Dipulangkan

  AJI Jayapura akan berkomunikasi dengan lembaga Perkumpulan Bantuan Hukum Pers di Tanah Papua untuk menindaklanjuti masalah ini.

  Kecaman juga datang dari Forum Jurnalis Papua Indonesia (FJPI) Provinsi Papua yang meminta kepada LBH Pers, perusahaan media dari korban dan organisasi pers di Papua mendampingi korban pelecehan verbal yang terjadi pada jurnalis Cenderawasih Pos, Elfira Halifa saat meliput sidang perdana pembacaan dakwaan Juru Bicara KNPB, Victor Yeimo (VY) di Pengadilan Negeri Jayapura, Senin (21/2)

Dalam rilisnya bertajuk ‘Stop Kekerasan pada Jurnalis Perempuan di Papua’.

Disebutkan, Elfira yang mengalami kejadian itu, sangat kesal dengan pelakuan terhadapnya. “Saya kaget, trauma, marah dan kesal, semua campur aduk. Padahal, saya tidak berbuat apapun kepada dia,” kata Elfira yang mengaku mengetahui pelaku yang meneriakinya, dengan ciri-ciri memakai topi.

Elfira datang ke PN Jayapura karena ditugaskan oleh kantornya untuk meliput sidang perdana VY, Senin (21/2).

“Saya ingin melaporkan kasus ini sampai ke proses hukum, supaya ada efek jera bagi pelaku pelecehan verbal. Semoga polisi bisa mengusut tuntas hal ini,” jelas Elfira.

  Anum Siregar, salah satu kuasa hukum VY menyayangkan kejadian tersebut. “Tindakan tersebut tentu saja itu tidak dibenarkan. Saya sudah teruskan ke teman-teman PH yang komunikasi langsung dengan VY terkait kejadian tersebut,” jelas Anum.

Ketua FJPI Papua, Cornelia Mudumi menjelaskan apa yang dialami Elfira adalah pelecahan verbal harassment atau pelecehan seksual yakni ucapan yang dengan sengaja dimaksudkan untuk melecehkan perempuan.  Pelecehan verbal merupakan salah satu bentuk kekerasan.

FJPI Papua mendesak: 1. Hentikan intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis perempuan. 2. Mengutuk perbuatan yang melecehkan jurnalis perempuan yang sedang menjalankan tugasnya. “ Pelaku diproses hukum untuk efek jera dan edukasi bagi semua pihak untuk menghormati jurnalis perempuan,” ujarnya.

Sementara itu, pihak Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang hadir pada acara sidang Viktor Yaimo di Pegadilan Negeri, mengklaim tidak pernah mengeluarkan kata-kata pelecehan terhadap jurnalis. KNPB bahkan menuding hal itu hanya skenario mengurung niat mereka.

Baca Juga :  Soal Pembatasan Pertalite, Belum Ada Pemberitahuan Resmi

“Karena tadi kami dari  Petisi Rayat Papua (PRP) dan pimpinan KNPB dan WPNA  serta massa dibatasi. Jadi kami tidak bicara baik itu Sekjen West Papua National Authority (WPNA), BEM Uncen dan  PRP. Dalam  aksi spontan itu tidak ada dan kami mau masuk ikut porses sidang tapi kami dihadang,” ungkap Jubir nasional KNPB Ones Nesta Huhuniap yang dikonfirmasi Cenderawasih Pos, di Perumnas III Waena, Senin (21/2).

Ones bahkan mengklaim bahwa tidak ada wartwan lain yang meliput persidangan selain Hengki Yaimo dari Jubi.

“Jadi setelah Markus Haluk keluar sampaikan hasil sidang, kami keluar dengan rapi. Untuk itu, kami nilai ini bagian dari upaya untuk kriminalisasi dan ini kami nilai propaganda. Jadi kami harap jangan salahartikan,” tudingnya.

Namun Ones menegaskan apabila ada oknum yang bebicara seperti itu, pihaknya akan berikan sangsi, karena semua berdiri satu komando dalam aksi massa kemarin.”Ini upaya mengkredilkan masyarakat Papua. Karena pasca rasis ini semua menjadi kaku dan kami nilai berita ini hanya  berusaha mengkredilkan kami,” koarnya.

Hal senada disampaikan Sekjen WPNA, Marthen Manggaprow. Menurutnya, saat persidangan kemarin pihaknya dan KNPB dilarang masuk oleh aparat sehingga hanya di luar pagar.

“Apa yang disangkakan KNPB melakukan hal buruk, itu tidak benar. Karena kami semua bersama dan usai pengarahan dari Markus Haluk, kami semua aman – aman saja. Jadi tidak ada ucapan serangan verbal dari kami dan tadi kami lihat hanya wartawan Jubi. Karena kami lihat hanya tawar menawar dengan aparat karena disuruh buka jalan, karena ada aparat yang mau lewat,” ujarnya.

Sementara itu, Kristian Kobak, Mentri Hukum dan HAM Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)  Univeraitas Cenderawasih  mengakui mahasiswa ada turun dan dihadang. Namun dirinya juga mengklaim sudah mengamankan pergerakan massa.

“Setelah dihadang  kami hanya duduk setelah dengar hasil persidangan. Kami semua bubar ke Perumnas III dan pulang masing-masing. Semua masa kami kontrol bahkan ada juga dari BEM Uncen dan USTJ. Jadi kami nilai ini ada niat jahat dan ingin mengacaukan niat kami maka kami pastikan ini tidak benar,” tudingnya. (fia/oel/nat)

JAYAPURA-Kekerasan verbal dialami jurnalis Perempuan di Papua berupa pelecehan melalui lisan saat hendak meliput persidangan kasus rasisme di Pengadilan Negeri ( PN) Jayapura, Senin (21/2) kemarin.

Korban kasus kekesaran ini, Elfira, Jurnalis harian Cenderawasih Pos yang saat itu hendak meliput persidangan.

Seperti kronologi yang disampaikan oleh korban, saat itu dirinya akan meliput sidang dakwaan terhadap Juru Bicara KNPB Viktor Yeimo pada Senin (21/2) sekira pukul 10.05 WIT di PN Jayapura.

Dikatakan, saat itu, pintu masuk PN Jayapura dijaga ketat aparat sehingga kendaraan tidak bisa masuk. Elfira yang ditugaskan meliput persidangan ini tiba di Cafe Prima Garden yang bersebelahan dengan PN Jayapura, memarkirkan kendaraannya kemudian berjalan menuju  Pengadilan Negeri Jayapura.

Saat itu, dirinya menenteng kamera hendak masuk  ke  PN Jayapura. Namun tiba-tiba salah satu dari massa yang duduk di trotoar di luar pengadilan meneriaki dengan ucapan yang sangat jelas “Sini saya perkosa ko” (Sini saya perkosa kamu)

“Padahal saat itu, saya lewat dengan menenteng kamera liputan dan tidak menganggu massa yang saat itu sedang duduk di salah satu para-para yang tak jauh dari pintu gerbang Pengadilan Negeri Jayapura,” ujarnya.

Teriakan “Sini saya perkosa ko” dari salah satu massa itu disaksikan dan didengarkan oleh beberapa orang di antara mereka. Hanya saja, mereka mendiamkan hal itu tanpa melakukan apa-apa.

  “Setelah kejadian itu, saya langsung masuk ke Pengadilan yang dijaga ketat oleh aparat untuk meliput proses persidangan dengan terdakwa Victor Yeimo di ruang utama Pengadilan Negeri Jayapura,” terangnya.

Aliansi Jurnalis Independen Jayapura menyesalkan adanya oknum masyarakat yang mengeluarkan kata intimidasi yang terindikasi adanya kekerasan seksual terhadap wartawan Surat Kabar Cenderawasih Pos bernama Elfira.

AJI Jayapura mengeluarkan sikap terkait aksi intimidasi dan kekerasan verbal yang dialami Elfira. “AJI Jayapura meminta masyarakat menghargai tugas jurnalistik oleh insan pers khususnya jurnalis perempuan yang rentan mendapatkan kekerasan.,” ujar ketua AJI Jayapura Lucky Ireeuw dalam press rilisnya menyikapi kasus ini.

   AJI Jayapura mengecam masih adanya kata berbau seksual bagi jurnalis perempuan. Hal ini menunjukkan masih adanya stigma kaum perempuan di tanah Papua sering mendapatkan kekerasan seksual baik verbal maupun non verbal.

Baca Juga :  Delapan Kasus KKB Dilimpahkan ke JPU

  AJI Jayapura akan berkomunikasi dengan lembaga Perkumpulan Bantuan Hukum Pers di Tanah Papua untuk menindaklanjuti masalah ini.

  Kecaman juga datang dari Forum Jurnalis Papua Indonesia (FJPI) Provinsi Papua yang meminta kepada LBH Pers, perusahaan media dari korban dan organisasi pers di Papua mendampingi korban pelecehan verbal yang terjadi pada jurnalis Cenderawasih Pos, Elfira Halifa saat meliput sidang perdana pembacaan dakwaan Juru Bicara KNPB, Victor Yeimo (VY) di Pengadilan Negeri Jayapura, Senin (21/2)

Dalam rilisnya bertajuk ‘Stop Kekerasan pada Jurnalis Perempuan di Papua’.

Disebutkan, Elfira yang mengalami kejadian itu, sangat kesal dengan pelakuan terhadapnya. “Saya kaget, trauma, marah dan kesal, semua campur aduk. Padahal, saya tidak berbuat apapun kepada dia,” kata Elfira yang mengaku mengetahui pelaku yang meneriakinya, dengan ciri-ciri memakai topi.

Elfira datang ke PN Jayapura karena ditugaskan oleh kantornya untuk meliput sidang perdana VY, Senin (21/2).

“Saya ingin melaporkan kasus ini sampai ke proses hukum, supaya ada efek jera bagi pelaku pelecehan verbal. Semoga polisi bisa mengusut tuntas hal ini,” jelas Elfira.

  Anum Siregar, salah satu kuasa hukum VY menyayangkan kejadian tersebut. “Tindakan tersebut tentu saja itu tidak dibenarkan. Saya sudah teruskan ke teman-teman PH yang komunikasi langsung dengan VY terkait kejadian tersebut,” jelas Anum.

Ketua FJPI Papua, Cornelia Mudumi menjelaskan apa yang dialami Elfira adalah pelecahan verbal harassment atau pelecehan seksual yakni ucapan yang dengan sengaja dimaksudkan untuk melecehkan perempuan.  Pelecehan verbal merupakan salah satu bentuk kekerasan.

FJPI Papua mendesak: 1. Hentikan intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis perempuan. 2. Mengutuk perbuatan yang melecehkan jurnalis perempuan yang sedang menjalankan tugasnya. “ Pelaku diproses hukum untuk efek jera dan edukasi bagi semua pihak untuk menghormati jurnalis perempuan,” ujarnya.

Sementara itu, pihak Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang hadir pada acara sidang Viktor Yaimo di Pegadilan Negeri, mengklaim tidak pernah mengeluarkan kata-kata pelecehan terhadap jurnalis. KNPB bahkan menuding hal itu hanya skenario mengurung niat mereka.

Baca Juga :  PLN Dukung Penuh Pemerintah Daerah di Papua Kelola PBJTL

“Karena tadi kami dari  Petisi Rayat Papua (PRP) dan pimpinan KNPB dan WPNA  serta massa dibatasi. Jadi kami tidak bicara baik itu Sekjen West Papua National Authority (WPNA), BEM Uncen dan  PRP. Dalam  aksi spontan itu tidak ada dan kami mau masuk ikut porses sidang tapi kami dihadang,” ungkap Jubir nasional KNPB Ones Nesta Huhuniap yang dikonfirmasi Cenderawasih Pos, di Perumnas III Waena, Senin (21/2).

Ones bahkan mengklaim bahwa tidak ada wartwan lain yang meliput persidangan selain Hengki Yaimo dari Jubi.

“Jadi setelah Markus Haluk keluar sampaikan hasil sidang, kami keluar dengan rapi. Untuk itu, kami nilai ini bagian dari upaya untuk kriminalisasi dan ini kami nilai propaganda. Jadi kami harap jangan salahartikan,” tudingnya.

Namun Ones menegaskan apabila ada oknum yang bebicara seperti itu, pihaknya akan berikan sangsi, karena semua berdiri satu komando dalam aksi massa kemarin.”Ini upaya mengkredilkan masyarakat Papua. Karena pasca rasis ini semua menjadi kaku dan kami nilai berita ini hanya  berusaha mengkredilkan kami,” koarnya.

Hal senada disampaikan Sekjen WPNA, Marthen Manggaprow. Menurutnya, saat persidangan kemarin pihaknya dan KNPB dilarang masuk oleh aparat sehingga hanya di luar pagar.

“Apa yang disangkakan KNPB melakukan hal buruk, itu tidak benar. Karena kami semua bersama dan usai pengarahan dari Markus Haluk, kami semua aman – aman saja. Jadi tidak ada ucapan serangan verbal dari kami dan tadi kami lihat hanya wartawan Jubi. Karena kami lihat hanya tawar menawar dengan aparat karena disuruh buka jalan, karena ada aparat yang mau lewat,” ujarnya.

Sementara itu, Kristian Kobak, Mentri Hukum dan HAM Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)  Univeraitas Cenderawasih  mengakui mahasiswa ada turun dan dihadang. Namun dirinya juga mengklaim sudah mengamankan pergerakan massa.

“Setelah dihadang  kami hanya duduk setelah dengar hasil persidangan. Kami semua bubar ke Perumnas III dan pulang masing-masing. Semua masa kami kontrol bahkan ada juga dari BEM Uncen dan USTJ. Jadi kami nilai ini ada niat jahat dan ingin mengacaukan niat kami maka kami pastikan ini tidak benar,” tudingnya. (fia/oel/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya