Sunday, November 24, 2024
30.7 C
Jayapura

Enam Suku Bersuara, Nabire Bagian Pesisir Harus jadi Bagian Saireri

JAYAPURA-Ketika para bupati di Meepago bersepakat bahwa pemekaran Papua Tengah ibu kotanya adalah Nabire, Enam suku yang berada di Nabire justru meminta wilayah Kabupaten Nabire bagian pesisir menjadi bagian dari Saireri.

Enam suku tersebut adalah suku Yaur, Wate, Mora, Umari, Gwoa Napan dan Yerisiam yang saat ini mendiami pesisir Kabupaten Nabire.

Ketua Umum Pemuda Saireri Papua, Gifli Buinei menyampaikan, enam suku ini sedang mendorong Pemerintah Kabupaten Nabire, Provinsi Papua dan pemerintah pusat agar Kabupaten Nabire tetap menjadi bagian dari wilayah adat Saireri.

Enam suku yang berbicara saat ini punya hak ulayat yang perlu didengar oleh pemerintah. Mereka bukan bicara mengatasnamakan daerah orang lain tapi berbicara atas daerah mereka.

“Kenapa mereka meminta seperti itu? Karena secara garis keturunan kultur budaya, bahasa enam suku ini berasal dari wilayah adat Saireri. Enam suku ini punya bahasa yang sama seperti mereka yang ada di daerah Waropen,” kata Gifli kepada wartawan di Abepura, Rabu (16/2).

Secara garis keturunan kata Gifli, ini sebuah anugerah dari Tuhan yang tidak bisa diputarbalikan faktanya. Meski berdasarkan keputusan politik, Nabire saat ini menjadi bagian dari Meepago namun hal itu persoalan yang berbeda.

Baca Juga :  Pemerintah Terapkan PPKM Level 3 di Seluruh Indonesia

“Hari ini kami melihat masyarakat Saireri yang berada di wilayah Nabire bersuara untuk secara administrasi harus kembali menjadi bagian daripada Saireri, ini perlu didengar dan dipertimbangkan oleh pemerintah,” ucap Gifli.

Dikatakan Gifli, sebagai generasi muda Saireri yang berada di Kota Jayapura. Dirinya akan meneruskan apa yang menjadi aspirasi dari masyarakat 6 suku di Kabupaten Nabire ke DPRP.

“Kita akan ikut mengawal aspirasi ini untuk kemudian diantar kepada pemerintah pusat baik di Kementrian Dalam Negeri maupun DPR RI, sehingga yang disuarakan masyarakat tersalurkan,” ucapnya.

Gifli pun mengingatkan agar perlunya proteksi hak wilayah adat sedari dini, jangan sampai kemudian hak ulayat mereka dicaplok dan mereka kemudian menjadi hilang. Pemerintah pusat perlu mengkaji masalah pemetaan DOB berbasis ekosistem budaya kultur itu sendiri, sehingga tidak menimbulkan masalah horizontal atau kesenjangan sosial.

“Aspirasi ini sudah lama disuarakan bahwa  enam suku daerah pesisir Nabire menjadi bagian saireri. Tidak ada kaitannya dengan Nabire yang akan menjadi Ibu Kota dari Papua Tengah. Yang kita proteksi adalah hak ulayat  6 suku ini,” ucapnya.

Baca Juga :  Tewas Tertembak, Dikira KKB dan Todongkan Pistol Mainan ke Anggota

Sementara itu, Waket IV Pemuda Saireri Papua Edoardo Rumatrai mengatakan, apa yang menjadi harapan masyarakat Nabire terlebih khusus 6 suku ini sedang mengumpulkan petisi untuk dibawa ke DPRD agar apsirasi mereka didengar.

“Harapan kami pemerintah pusat dalam hal ini Kemendagri dan DRR RI dapat melihat persoalan ini dengan serius, ini sebagian kecil dari persoalan yang ada di Papua. Tetapi sesungguhnya ini adalah contoh mekanisme yang harusnya dilakukan terhadap orang Papua seutuhnya untuk bagaimana membangun Papua,” kata Edoardo.

Ini juga menjadi catatan penting bagi para pejabat yang berwenang agar hal ini disikapi dengan serius, sehingga tidak menjadi bom waktu.

“Jangan sampai menjadi kesenjangan sosial bagi enam suku pemilik hak ulayat adat tersebut, karena dari populasi saja mereka sangat sedikit. Bagaimana dengan hak adat mereka, hak poltik, hak pendidikan dan lainnya. Ini bisa menjadi kesenjangan dan berbahaya, bisa bisa mereka tenggelam di berbagai aspek yang sangat dibutuhkan oleh orang Papua itu sendiri,” pungkasnya. (fia/nat)

JAYAPURA-Ketika para bupati di Meepago bersepakat bahwa pemekaran Papua Tengah ibu kotanya adalah Nabire, Enam suku yang berada di Nabire justru meminta wilayah Kabupaten Nabire bagian pesisir menjadi bagian dari Saireri.

Enam suku tersebut adalah suku Yaur, Wate, Mora, Umari, Gwoa Napan dan Yerisiam yang saat ini mendiami pesisir Kabupaten Nabire.

Ketua Umum Pemuda Saireri Papua, Gifli Buinei menyampaikan, enam suku ini sedang mendorong Pemerintah Kabupaten Nabire, Provinsi Papua dan pemerintah pusat agar Kabupaten Nabire tetap menjadi bagian dari wilayah adat Saireri.

Enam suku yang berbicara saat ini punya hak ulayat yang perlu didengar oleh pemerintah. Mereka bukan bicara mengatasnamakan daerah orang lain tapi berbicara atas daerah mereka.

“Kenapa mereka meminta seperti itu? Karena secara garis keturunan kultur budaya, bahasa enam suku ini berasal dari wilayah adat Saireri. Enam suku ini punya bahasa yang sama seperti mereka yang ada di daerah Waropen,” kata Gifli kepada wartawan di Abepura, Rabu (16/2).

Secara garis keturunan kata Gifli, ini sebuah anugerah dari Tuhan yang tidak bisa diputarbalikan faktanya. Meski berdasarkan keputusan politik, Nabire saat ini menjadi bagian dari Meepago namun hal itu persoalan yang berbeda.

Baca Juga :  Tiga Orang Pelaku Pembunuhan dan Mutilasi Sudah di Jayapura

“Hari ini kami melihat masyarakat Saireri yang berada di wilayah Nabire bersuara untuk secara administrasi harus kembali menjadi bagian daripada Saireri, ini perlu didengar dan dipertimbangkan oleh pemerintah,” ucap Gifli.

Dikatakan Gifli, sebagai generasi muda Saireri yang berada di Kota Jayapura. Dirinya akan meneruskan apa yang menjadi aspirasi dari masyarakat 6 suku di Kabupaten Nabire ke DPRP.

“Kita akan ikut mengawal aspirasi ini untuk kemudian diantar kepada pemerintah pusat baik di Kementrian Dalam Negeri maupun DPR RI, sehingga yang disuarakan masyarakat tersalurkan,” ucapnya.

Gifli pun mengingatkan agar perlunya proteksi hak wilayah adat sedari dini, jangan sampai kemudian hak ulayat mereka dicaplok dan mereka kemudian menjadi hilang. Pemerintah pusat perlu mengkaji masalah pemetaan DOB berbasis ekosistem budaya kultur itu sendiri, sehingga tidak menimbulkan masalah horizontal atau kesenjangan sosial.

“Aspirasi ini sudah lama disuarakan bahwa  enam suku daerah pesisir Nabire menjadi bagian saireri. Tidak ada kaitannya dengan Nabire yang akan menjadi Ibu Kota dari Papua Tengah. Yang kita proteksi adalah hak ulayat  6 suku ini,” ucapnya.

Baca Juga :  22 Juli Tiba di Papua, Jokowi akan Makan Siang di Yougwa

Sementara itu, Waket IV Pemuda Saireri Papua Edoardo Rumatrai mengatakan, apa yang menjadi harapan masyarakat Nabire terlebih khusus 6 suku ini sedang mengumpulkan petisi untuk dibawa ke DPRD agar apsirasi mereka didengar.

“Harapan kami pemerintah pusat dalam hal ini Kemendagri dan DRR RI dapat melihat persoalan ini dengan serius, ini sebagian kecil dari persoalan yang ada di Papua. Tetapi sesungguhnya ini adalah contoh mekanisme yang harusnya dilakukan terhadap orang Papua seutuhnya untuk bagaimana membangun Papua,” kata Edoardo.

Ini juga menjadi catatan penting bagi para pejabat yang berwenang agar hal ini disikapi dengan serius, sehingga tidak menjadi bom waktu.

“Jangan sampai menjadi kesenjangan sosial bagi enam suku pemilik hak ulayat adat tersebut, karena dari populasi saja mereka sangat sedikit. Bagaimana dengan hak adat mereka, hak poltik, hak pendidikan dan lainnya. Ini bisa menjadi kesenjangan dan berbahaya, bisa bisa mereka tenggelam di berbagai aspek yang sangat dibutuhkan oleh orang Papua itu sendiri,” pungkasnya. (fia/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya