Sunday, November 24, 2024
30.7 C
Jayapura

LBH  Papua Desak Presiden Bentuk Pengadilan HAM di Papua

JAYAPURA-Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua desak Presiden Joko Widodo segera membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua. Hal ini untuk memproses hukum dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai.

Desakan dari LBH ini tidak terlepas dari langkah yang diambil Kejaksaan Agung (Kejagung) yang membentuk tim penyidikan untuk mengusut kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Paniai, pada tahun 2014.

Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay menerangkan, kasus Paniai berdarah yang terjadi pada tanggal 7-8 Desember 2014, adalah salah satu kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi beberapa bulan setelah Presiden Jokowi dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia pada tahun 2014.

Atas dasar itu, menunjukan bahwa kasus Paniai berdarah adalah kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang tentunya menjadi sebuah kasus yang akan mengukur komitmen Presiden Jokowi selaku pemimpin tertinggi pemerintah, yang memiliki kewajiban konstitusional untuk menjalankan ketentuan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah sebagaimana diatur pada Pasal 28i ayat (4), UUD 1945.

Emanuel menerangkan, proses penyidikan akan dilakukan menggunakan ketentuan Pasal 22, Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Oleh sebab itu, mekanisme penyidikannya wajib diselesaikan paling lambat 90 hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik.

Selanjutnya, dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90 hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya. Apabila jangka waktu tersebut habis dan penyidikan belum dapat diselesaikan, penyidikan dapat diperpanjang paling lama 60 hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.

Baca Juga :  Lokasi Longsor Tak Masuk Area Operasional PTFI

“Dalam jangka waktu 240 hari, hasil penyidikan tidak diperoleh bukti yang cukup, maka wajib dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan oleh Jaksa Agung. Setelah surat perintah penghentian penyidikan dikeluarkan, penyidikan hanya dapat dibuka kembali dan dilanjutkan apabila terdapat alasan dan bukti lain yang melengkapi hasil penyidikan untuk dilakukan penuntutan,” terang Emanuel.

Lanjutnya, dalam hal penghentian penyidikan tidak dapat diterima oleh korban atau keluarganya, maka korban, keluarga sedarah berhak mengajukan praperadilan kepada Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berkaitan dengan HAM serta khususnya Pengadilan HAM bagi wilayah Provinsi Papua dan Papua Barat telah ada ketentuan. Dimana pemerintah provinsi, dan penduduk Provinsi Papua wajib menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati HAM di Provinsi Papua.

Untuk melaksanakannya, pemerintah membentuk perwakilan Komnas HAM, Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana diatur pada Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua.

Baca Juga :  Banyak Korban Warga Sipil, Pendekatan Keamanan Harusnya Dievaluasi

LBH Papua menggunakan kewenangan terkait setiap orang, kelompok, organisasi politik,organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan,dan pemajuan HAM sebagaimana diatur pada Pasal 100, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

“Presiden Republik Indonesia segera terbitkan Keputusan Presiden Tentang Pembentukan Pengadilan HAM di Papua sesuai perintah Pasal 45 ayat (2), Undang Undang Nomor 2 Tahun 2021,” pintanya.

Dalam kesempatan itu, Emanuel Gobay juga meminta Jaksa Agung segera mengangkat anggota penyidik Ad Hoc dari unsur pemerintah dan atau masyarakat khususnya kalangan akademisi, lembaga swadaya dan orang asli Papua dalam tim penyidik dugaan pelanggaran HAM Berat di Paniai tahun 2014 sesuai perintah Pasal 21 ayat (3) dan ayat (5), Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Dirinya juga meminta Ketua Komnas HAM RI Pusat dan Kepala Komnas HAM RI Perwakilan Papua wajib memantau profesionalisme tim penyidik dugaan pelanggaran HAM Berat di Paniai tahun 2014 dalam menjalankan proses penyidikan sesuai ketentuan Pasal 22, Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

“Gubernur Provinsi Papua dan Papua Barat serta Ketua DPRP segera mendesak pembentukan Pengadilan HAM di Papua dan pelibatan penyidik Ad Hoc dalam tim penyidik dugaan pelanggaran HAM Berat Paniai,” pungkasnya. (fia/nat)

JAYAPURA-Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua desak Presiden Joko Widodo segera membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua. Hal ini untuk memproses hukum dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai.

Desakan dari LBH ini tidak terlepas dari langkah yang diambil Kejaksaan Agung (Kejagung) yang membentuk tim penyidikan untuk mengusut kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Paniai, pada tahun 2014.

Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay menerangkan, kasus Paniai berdarah yang terjadi pada tanggal 7-8 Desember 2014, adalah salah satu kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi beberapa bulan setelah Presiden Jokowi dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia pada tahun 2014.

Atas dasar itu, menunjukan bahwa kasus Paniai berdarah adalah kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang tentunya menjadi sebuah kasus yang akan mengukur komitmen Presiden Jokowi selaku pemimpin tertinggi pemerintah, yang memiliki kewajiban konstitusional untuk menjalankan ketentuan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah sebagaimana diatur pada Pasal 28i ayat (4), UUD 1945.

Emanuel menerangkan, proses penyidikan akan dilakukan menggunakan ketentuan Pasal 22, Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Oleh sebab itu, mekanisme penyidikannya wajib diselesaikan paling lambat 90 hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik.

Selanjutnya, dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90 hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya. Apabila jangka waktu tersebut habis dan penyidikan belum dapat diselesaikan, penyidikan dapat diperpanjang paling lama 60 hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.

Baca Juga :  Pernyataan Menteri Investasi Dipersoalkan

“Dalam jangka waktu 240 hari, hasil penyidikan tidak diperoleh bukti yang cukup, maka wajib dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan oleh Jaksa Agung. Setelah surat perintah penghentian penyidikan dikeluarkan, penyidikan hanya dapat dibuka kembali dan dilanjutkan apabila terdapat alasan dan bukti lain yang melengkapi hasil penyidikan untuk dilakukan penuntutan,” terang Emanuel.

Lanjutnya, dalam hal penghentian penyidikan tidak dapat diterima oleh korban atau keluarganya, maka korban, keluarga sedarah berhak mengajukan praperadilan kepada Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berkaitan dengan HAM serta khususnya Pengadilan HAM bagi wilayah Provinsi Papua dan Papua Barat telah ada ketentuan. Dimana pemerintah provinsi, dan penduduk Provinsi Papua wajib menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati HAM di Provinsi Papua.

Untuk melaksanakannya, pemerintah membentuk perwakilan Komnas HAM, Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana diatur pada Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua.

Baca Juga :  Banyak Korban Warga Sipil, Pendekatan Keamanan Harusnya Dievaluasi

LBH Papua menggunakan kewenangan terkait setiap orang, kelompok, organisasi politik,organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan,dan pemajuan HAM sebagaimana diatur pada Pasal 100, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

“Presiden Republik Indonesia segera terbitkan Keputusan Presiden Tentang Pembentukan Pengadilan HAM di Papua sesuai perintah Pasal 45 ayat (2), Undang Undang Nomor 2 Tahun 2021,” pintanya.

Dalam kesempatan itu, Emanuel Gobay juga meminta Jaksa Agung segera mengangkat anggota penyidik Ad Hoc dari unsur pemerintah dan atau masyarakat khususnya kalangan akademisi, lembaga swadaya dan orang asli Papua dalam tim penyidik dugaan pelanggaran HAM Berat di Paniai tahun 2014 sesuai perintah Pasal 21 ayat (3) dan ayat (5), Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Dirinya juga meminta Ketua Komnas HAM RI Pusat dan Kepala Komnas HAM RI Perwakilan Papua wajib memantau profesionalisme tim penyidik dugaan pelanggaran HAM Berat di Paniai tahun 2014 dalam menjalankan proses penyidikan sesuai ketentuan Pasal 22, Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

“Gubernur Provinsi Papua dan Papua Barat serta Ketua DPRP segera mendesak pembentukan Pengadilan HAM di Papua dan pelibatan penyidik Ad Hoc dalam tim penyidik dugaan pelanggaran HAM Berat Paniai,” pungkasnya. (fia/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya