Disatu sisi, kebijakan ini bisa dijadikan efek jera karena mereka yang terluka alibat laka lantas tidak lagi dibiayai BPJS karena jelas-jelas luka yang dialami diawali dari perbuatan sadar dan paham akan dampak. Paham jika berkendara dalam keadaan dipengauruhi minuman keras maka potensi kecelakaan sangat memungkinkan.
Menangapi itu, Kepala BPJS Kesehatan Cabang Jayapura Hernawan Priastomo mengatakan bahwa Penjaminan terhadap peserta yang mengalami kecelakaan diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 kemudian ada perubahan Nomor 59 tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan.
Meski berjalan seperti biasa, namun pihaknya menyebut ada pasien yang ditolak lantaran ruang inap di rumah sakit milik pemerintah itu penuh. “Pelayanan kami tetap jalan seperti biasa, cuman kan ada beberapa pasien ditolak lantaran ruang rawat inap di ruang anak-anak full,” ucap dr Aaron melalui sambungan telfonnnya ketika dikonfirmasi.
Luka yang timbul dari kecelakaan diakibatkan tindakan sikap sadar tentang dampak miras namun masih tetap memilih untuk mengkonsumsi miras dan berkendara. Jadi kecelakaan ini diawali karena sikap tak peduli dan sadar bahwa berkendara dalam kondisi dipengaruhi miras sangat berpotensi terjadi kecelakaan.
Kisah ini bermula sekitar sembilan bulan lalu ketika sang ibu diperiksa melalui USG dan ditemukan indikasi kembar siam. Spesialis Kandungan, dr. Jefferson Nelson Munthe, SpOG (K), M.Kes, SubSp Fetomaternal yang menangani mendapati bayi kembar perempuan mengalami dempet di dada. Ia kemudian membentuk tim dengan melibatkan beberapa dokter spesialis, dokter bedah, dokter anak juga dokter jantung dan dokter anestesi.
Dengan anggaran tersebut, dr Aaron mengaku akan memaksimalkannya sebaik mungkin. Terutama membenahi fasilitas dan alat lainnya untuk tindakan-tindakan khusus. Dan meski bukan angka yang signifikan namun pihak rumah sakit menyatakan harus bisa memaksimalkan anggaran yang ada dan tak boleh menyerah.
Dokter asal Serui ini menerangkan, teknik Awake craniotomy dipilih untuk operasi saraf otak yang melibatkan area-area penting seperti pusat berbicara dan pengecapan. Metode ini memungkinkan tim medis berkoordinasi langsung dengan pasien selama operasi berlangsung.
“Prinsipnya Pemprov berikan anggaran berapa pun kita tetap terima, tahun kemarin RSUD Jayapura dianggarkan Rp 22 miliar, sekarang meningkat jadi Rp 26 miliar bersumber dari APBD induk,” terangnya.
Kata dr Aaron, seiring dengan peningkatan pasien, konsekuensinya adalah beberapa kebutuhan di RSUD Jayapura akan bertambah. Seperti obat-obatan, bahan habis pakai, serta bahan-bahan lainnya. “Kita harus bersiap untuk ini, termasuk kebutuhan rawat inap tempat tidur pasien juga bertambah,” katanya.
“Kalau mau mabuk harus kaya, sehingga saat sakit atau kecelakaan yang diakibatkan pengaruh miras dia bisa membayar swasta. Sehingga tidak menyusahkan orang lain,” tegasnya.