Sementara itu, cawapres nomor urut 1 Muhaimin Iskandar telah beberapa kali mewanti-wanti agar aparat negara bertindak netral dalam Pemilu. Begitu pula Presiden. Menurutnya, presiden sudah seharusnya bersikap netral. “Presiden kalau memihak harus cuti dari (jabatan) Presiden,” kata Gus Muhaimin saat menghadiri acara di Pasuruan, Rabu (24/1) malam.
Saat berkunjung ke Tulungagung kemarin, Gus Muhaimin kembali menegaskan bahwa keberpihakan Presiden pada salah satu paslon dengan menggunakan instrumen negara sangat membahayakan. “Jangan berkampanye menggunakan fasilitas negara, memalukan,” tegasnya.
Terpisah, Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana mengatakan pernyataan Jokowi terkait presiden boleh memihak telah banyak disalahartikan. “Apa yg disampaikan oleh Presiden dalam konteks menjawab pertanyaan media tentang menteri yang ikut tim sukses,” katanya kemarin. Pernyataan Jokowi disebutnya merupakan penjelasan dari jawaban sebelumnya.
Ari mengatakan penjelasan yang dimaksud Jokowi adalah aturan main dalam berdemokrasi bagi menteri maupun presiden. Dia menyatakan pernyataan itu berdasar pada pasal 281 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam pasal itu memang disebut saat kampanye, boleh mengikutsertakan presiden, wakil presiden, menterim dan juga kepala daerah maupun wakilnya. “Artinya, Presiden boleh berkampanye. Ini jelas ditegaskan dalam UU,” tuturnya.
Dia kembali menjelaskan dalam berkampanye, ada syaratnya. Yakni tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya. Terkecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sesuai aturan yang berlaku. “Dan kedua, menjalani cuti di luar tanggungan negara,” ungkap Ari. Dengan diijinkannya presiden untuk berkampanye, menurutnya Undang-Undang Pemilu juga menjamin hak presiden untuk mempunyai preferensi politik pada partai atau paslon.
Ari juga membandingkan, presiden sebelum Jokowi juga melakukan praktik yang sama. Misalnya Presiden ke-5 Megawati Soekarno Putri dan ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono. “Mereka memiliki preferensi politik yg jelas dengan partai politik yang didukungnya dan ikut berkampanye untuk memenangkan partai yang didukungnya,” ungkapnya.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan senada. Yakni aturan telah memperbolehkan kampanye dilakukan oleh presiden. “Tapi saya sudah, sejak awal sudah memposisikan diri untuk bersikap netral, tidak memihak,” katanya.
Hingga kini, Ma’ruf memilih bungkam soal pilihannya. Menurutnya ini urusan personal jadi tidak perlu mempublikasikan. “Ini bukan perbedaan dengan presiden. Memang presiden sudah menyatakan seperti itu dan saya memang tetap netral,” ungkapnya.
Ma’ruf juga mendukung jika ada pelanggaran maka dilaporkan ke Bawaslu. Misalnya terkait bantuan sosial yang terdapat gambar salah satu paslon. “Nanti Bawaslu yang memberikan apakah pelanggaran atau tidak,” katanya.
Para Pegiat Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara yang bergabung dalam CALS (Constitutional and Administrative Law Society) merespon keras penyataan Jokowi. Pakar hukum Bivitri Susanti mengatakan, menyentil inkonsistensi presiden. Sebelumnya, Jokowi menyatakan akan netral dan meminta seluruh jajarannya mengikutinya.
Bivitri menduga, perubahan sikap itu membuktikan betapa pentingnya larangan politik dinasti dan nepotisme dalam pemilu. “Tak mudah bagi Jokowi untuk netral ketika anaknya berlaga dalam pemilihan presiden,” ujarnya.
Padahal harus disadari, seluruh pejabat negara melanggar prinsip keadilan dalam pemilu bila aktif berkampanye. Karena pejabat, terlebih Presiden akan bisa mempengaruhi keadilan Pemilu. Baik dari aspek kebijakan, anggaran, dan dukungan administrasi, hingga memengaruhi netralitas birokrasi.
“Keberpihakan presiden dan pejabat negara lainnya bisa mengarah pada pelanggaran dengan dimensi Terstruktur, Sistematis, dan Masif,” imbuhnya.
Bivitri berpendapat, perlu dibedakan antara berpolitik dan berkampanye. Presiden berhak berpolitik, tetapi tidak diperbolehkan untuk berkampanye. Meski UU Pemilu memberi ruang, namun UU harus diletakkan dalam konteks asas-asas pemilu dalam UUD 1945 yaitu LUBER JURDIL, dengan penekanan pada aspek keadilan.
“Tentu saja, UU Pemilu mengandung banyak kelemahan. Karena selain proses legislasi mengandung kepentingan politik, norma hukum juga akan dibuat berdasarkan kasus empirik,” tegasnya.
Lebih lanjut lagi, pernyataan Jokowi yang memberi landasan hukum bagi sesuatu yang sebenarnya tidak etik dan melanggar asas keadilan, dinilainya sebagai tindakan inkonstitusional karena melanggar asas Pemilu yang diatur dalam Pasal 22E UUD 1945. Sehingga CALS minta Jokowi mencabut pernyataan tersebut. (far/lum/tyo/lyn)
Dapatkan update berita pilihan setiap hari dari Cenderawasihpos.jawapos.com
BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS https://www.myedisi.com/cenderawasihpos