Banyak kasus orang menunda menikah, justru pada kelompok yang sudah mapan secara ekonomi. Mereka tidak mau repot-repot mengurus anak. Kemudian pada masa lalu, orang menikah bisa jadi karena supaya ada yang memasak di rumah. Sementara sekarang kehidupan semakin mudah. Urusan makanan tinggal pesan secara online. Lebih praktis dan ekonomis, ketimbang membangun keluarga.
Sementara itu terkait dengan kasus perceraian, Nasaruddin juga menyebut cukup menghawatirkan. Sepanjang 2024 ada 1,4 juta pernikahan resmi di Kemenag. Pada periode yang sama, jumlah perceraian ada 466.359 kasus. Artinya kasus perceraian sebanyak 31,5 persen dari angka pernikahan.
Imam Besar Masjid Istiqlal itu mengatakan harus diupayakan ketahanan keluarga. Karena itu cerminan dari negara yang kuat. Tingginya kasus perceraian dipicu banyak faktor. Diantaranya adalah faktor sosial dan ekonomi. Dia meminta BP4 mengawal dengan baik pasangan yang menuju perceraian supaya bisa akur kembali.
Baginya pada setiap kasus perceraian, dapat memicu kemiskinan baru. Termasuk adanya anak-anak yang kurang dapat perhatian dari kedua orang tua yang berpisah.
Nasaruddin lantas mengusulkan wacana revisi UU 1/1974 tentang Perkawinan. Dia menilai selama ini UU Perkawinan itu lebih banyak mengulas soal perkawinannya saja. Kemudian juga sedikit menyinggung tentang perceraian. Sedangkan soal bagaimana membina keluarga, supaya terwujud keluarga yang kuat belum tercantum.
Untuk itu Nasaruddin mengusulkan ada bab tambahan dalam UU Perkawinan itu. Yaitu bab soal pelestarian perkawinan. “DPR sekarang kan membahas undang-undang apa saja. Ini ada yang penting juga,” jelasnya.
Mantan Wakil Menteri Agama itu menekankan dampak sosial perceraian yang signifikan. Terutama terhadap perempuan dan anak. “Secara sosiologis, perceraian menciptakan orang miskin baru, yang menjadi korban pertama istri dan kedua adalah anak. Karena itu, mediasi menjadi langkah penting dan strategis,” ungkapnya. (wan/jawapos)