Thursday, November 21, 2024
29.7 C
Jayapura

Akui Kalah dari Donald Trump, Tapi Sebut Tak Mau Mengalah dalam Pertarungan

Masih Belum Ada Presiden Perempuan di AS

Sementara itu kemenangan Trump atas Harris mendapat sorotan tajam dari banyak pihak. Termasuk jurnalis AFP Marion Thibaut yang memiliki pandangan berbeda terkait hal itu. Dia menuliskan, bagaimana Trump yang seksisme justru bisa melenggang dengan mudah ke Gedung Putih.

Menurut dia, ini adalah kali kedua dalam delapan tahun terakhir, seorang perempuan berhasil mendapatkan nominasi dari Partai Demokrat untuk menjadi kandidat presiden AS.

Sayangnya, lagi-lagi harus kalah dalam kampanye di mana gender menjadi isu penting. Seperti halnya Hillary Clinton pada 2016, Kamala Harris juga berkesempatan menjadi perempuan pertama yang menduduki Gedung Putih, tapi harus terjungkal di tahap akhir.

Donald Trump dinilainya memainkan peran penting dalam kekalahan bersejarah tersebut. Baik saat melawan Clinton maupun Harris pada Pilpres 2024.

Baca Juga :  Kecelakaan KA Argo Semeru dan Argo Wilis, 31 Penumpang Luka-luka

Sebetulnya, kata dia, banyak pengamat yang melihat adanya faktor seksisme pada sosok Trump. Dalam kampanye Trump dan Harris pun banyak yang saling bertentangan, keduanya secara jelas menyajikan visi yang sangat berbeda mengenai status dan hak-hak perempuan.

Trump, yang pernah menghadapi beberapa tuduhan pelecehan seksual meski sudah dibantah, berusaha memproyeksikan citra maskulinitas yang kuat. Dia tampil bersama petarung seni bela diri campuran dan memuji pemimpin dunia yang otoriter. Tak hanya itu, dia dan tim kampanyenya membuat banyak komentar yang kemudian dinilai sebagai ujaran hinaan atau meremehkan perempuan.

Misalnya, Trump menyebut Harris sebagai seorang perempuan “gila” dan “cacat mental”. Dia juga mengklaim bahwa Harris akan menjadi ’’seperti mainan” bagi para pemimpin dunia lainnya jika terpilih menjadi presiden AS.

Baca Juga :  Nama Kantor MK Mendadak Berubah Jadi Mahkamah Keluarga di Pencarian Google Maps

Pasangannya, senator Ohio J.D. Vance, bahkan melipatgandakan pernyataannya tersebut. Dia pernah menyebut Harris sebagai “wanita tanpa anak yang mengurus negara’’ dengan mengatakan, “Saya tidak ada masalah dengan kucing.”

Sebaliknya, dalam kampanyenya, Harris justru merangkul banyak perempuan seperti dari kalangan selebriti, mulai Beyonce, Jennifer Lopez, Lady Gaga, hingga Oprah Winfrey. Dia berharap mereka dapat membantunya meraih dukungan dari wanita konservatif.

Harris, menurut dia, tidak secara terang-terangan berkampanye berdasar fakta bahwa dia akan menjadi presiden wanita pertama di AS. Akan tetapi, dia secara tegas menjadikan pembelaan terhadap hak-hak perempuan, terutama aborsi, sebagai salah satu landasan kampanyenya. “Namun, tampaknya strategi ini belum cukup menarik perhatian wanita konservatif moderat,” ungkapnya. (mia/c7/bay)

Calon Presiden AS Kamala Harris saat menyampaikan pidato kekalahannya. (USA Today)

Masih Belum Ada Presiden Perempuan di AS

Sementara itu kemenangan Trump atas Harris mendapat sorotan tajam dari banyak pihak. Termasuk jurnalis AFP Marion Thibaut yang memiliki pandangan berbeda terkait hal itu. Dia menuliskan, bagaimana Trump yang seksisme justru bisa melenggang dengan mudah ke Gedung Putih.

Menurut dia, ini adalah kali kedua dalam delapan tahun terakhir, seorang perempuan berhasil mendapatkan nominasi dari Partai Demokrat untuk menjadi kandidat presiden AS.

Sayangnya, lagi-lagi harus kalah dalam kampanye di mana gender menjadi isu penting. Seperti halnya Hillary Clinton pada 2016, Kamala Harris juga berkesempatan menjadi perempuan pertama yang menduduki Gedung Putih, tapi harus terjungkal di tahap akhir.

Donald Trump dinilainya memainkan peran penting dalam kekalahan bersejarah tersebut. Baik saat melawan Clinton maupun Harris pada Pilpres 2024.

Baca Juga :  Presiden Jokowi Singgung Penambahan Saham Freeport di Indonesia

Sebetulnya, kata dia, banyak pengamat yang melihat adanya faktor seksisme pada sosok Trump. Dalam kampanye Trump dan Harris pun banyak yang saling bertentangan, keduanya secara jelas menyajikan visi yang sangat berbeda mengenai status dan hak-hak perempuan.

Trump, yang pernah menghadapi beberapa tuduhan pelecehan seksual meski sudah dibantah, berusaha memproyeksikan citra maskulinitas yang kuat. Dia tampil bersama petarung seni bela diri campuran dan memuji pemimpin dunia yang otoriter. Tak hanya itu, dia dan tim kampanyenya membuat banyak komentar yang kemudian dinilai sebagai ujaran hinaan atau meremehkan perempuan.

Misalnya, Trump menyebut Harris sebagai seorang perempuan “gila” dan “cacat mental”. Dia juga mengklaim bahwa Harris akan menjadi ’’seperti mainan” bagi para pemimpin dunia lainnya jika terpilih menjadi presiden AS.

Baca Juga :  Masih Terbaring Sakit, Luhut Tegaskan akan Tetap Loyal pada Jokowi

Pasangannya, senator Ohio J.D. Vance, bahkan melipatgandakan pernyataannya tersebut. Dia pernah menyebut Harris sebagai “wanita tanpa anak yang mengurus negara’’ dengan mengatakan, “Saya tidak ada masalah dengan kucing.”

Sebaliknya, dalam kampanyenya, Harris justru merangkul banyak perempuan seperti dari kalangan selebriti, mulai Beyonce, Jennifer Lopez, Lady Gaga, hingga Oprah Winfrey. Dia berharap mereka dapat membantunya meraih dukungan dari wanita konservatif.

Harris, menurut dia, tidak secara terang-terangan berkampanye berdasar fakta bahwa dia akan menjadi presiden wanita pertama di AS. Akan tetapi, dia secara tegas menjadikan pembelaan terhadap hak-hak perempuan, terutama aborsi, sebagai salah satu landasan kampanyenya. “Namun, tampaknya strategi ini belum cukup menarik perhatian wanita konservatif moderat,” ungkapnya. (mia/c7/bay)

Calon Presiden AS Kamala Harris saat menyampaikan pidato kekalahannya. (USA Today)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya