Saturday, April 27, 2024
30.7 C
Jayapura

Tebang Satu Pohon Sama Seperti Melepas Satu Puzzle

DAMPAK BANJIR – Kondisi banjir yang menggenangi pinggiran danau Sentani dan membuat warga yang tinggal pulau akhirnya harus mengungsi. (FOTO : Gamel Cepos)

Ngobrol Soal Banjir Dengan Rektor Uncen, Dr Apolo Safanpo ST, MT

Musibah banjir bandang di Sentani memberi pelajaran bagi semua bagaimana pentingnya keseimbangan. Dibalik musibah tentu ada hikmah. Cenderawasih Pos mencoba ngobrol dengan Rektor Uncen, Dr Apolo Safanpo ST MT, yang juga ahli ilmu hidrologi tehnik tentang banjir.

Laporan : Abdel Gamel Naser – Jayapura 

Sabtu 16 Maret mungkin menjadi hari yang tidak akan dilupakan untuk masyarakat Kabupaten Jayapura. Hari yang bisa menjadi sejarah kelam bagi Kabupaten Jayapura nanti. Gunung Cycloop yang  dianggap memberi kehidupan karena menyimpan air meradang dan menumpahkan sebagian kecil isi Cycloop ke tengah kota. Tak hanya air dengan jumlah yang sangat dahsyat tetapi juga material bebatuan, pasir bahkan gelondongan pepohonan yang nyaris melumpuhkan Kota Sentani. Cycloop seperti ingin menegur sikap manusia selama ini. Yang selalu datang mengusik dan mengambil begitu saja apa yang dimiiki  tanpa memikirkan untuk dikembalikan dan dijaga. 

 Cycloop menunjukkan angkaranya dengan memporak porandakan ribuan rumah dan akhirnya 100 lebih nyawa melayang. Meski musibah ini bukan karena satu penyebab namun komitmen perlu dipegang dan penegakan hukum juga perlu dilakukan sebab bila tidak bisa saja satu saat Cycloop akan lebih marah. Banjir bandang 16 Maret kemarin juga memberi dampak pada seluruh masyarakat yang mendiami pinggiran Danau Sentani dimana ribuan rumah ikut terendam. Catatan akademisi yang juga menjabat sebagai Rektor  Uncen, Dr Apolo Safanpo  ST MT bahwa terkait kejadian di Sentani  dirinya enggan berbicara sebatas banjir tetapi tentang bencana dimana banjir disebakan oleh banyak macam faktor. 

 Namun secara teori menurutnya banjir bisa disebakan darena dua hal. Pertama banjir dari atas yang terjadi karena hujan dan yang kedua itu banjir yang terjadi dari bawah yang mana penyebabnya adalah pasang surut air laut. Namun untuk pantai utara Provinsi Papua belum pernah terjadi banjir Rob pasang surut. Yang sering terjadi yaitu banjir karena hujan. Ia menjelaskan, air yang turun ke bumi hanya mempunyai dua jalan, pertama meresap ke dalam tanah dan kedua mengalir di permukaan tanah. 

 Air hujan yang meresap ke dalam tanah tidak akan akan menyebabkan banjir melainkan tersimpan sebagai cadangan air  tanah dan menghidupi seluruh mahluk sedangkan air hujan yang mengalir di permukaan tanah inilah yang berpotensi menyebabkan banjir. “lalu semua kontruksi bangunan-bangunan yang dirancang untuk mengendalikan banjir mulai dari sistem drainase, restorasi sungai, pelebaran sungai , normalisasi sungai, bendungan, kanal banjir  dan sebagainya juga  harus dirancang  berdasarkan jumlah kenaikan air permukaan.  Jumlah hujan yang mengalir di permukaan  bisa dihitung berdasarkan data yang dikeluarkan oleh BMKG. Dari situlah dirancang volume salurannya,” beber Apolo.

Baca Juga :  Pengamanan Natal, Semua Wilayah jadi Prioritas TNI-Polri

 Alumni Undip Semarang ini menambahkan bahwa menurut teori debit banjir, jumlah debit banjir hanya dipengaruhi oleh 3 unsur yaitu koefisin tanah atau jenis tanah, intnsitas curah hujan  dan daerah tangkapan air. Bila jenis tanah  lempung maka air akan langsung meresap kedalam tanah, tp jika jenis tanahnya tanah liat maka air tidak akan meresap melainnya hanya mengalir di permukaan dan menambah jumlah debit air yang mengalir di permukaan.  Hal ini akan diperparah jika daerah yang seharusnya menjadi daerah resapan tapi dibangun dengan bangunan beton, aspal dan lain-lain maka aliran air ini akan terkumpul di saluran dan di sungai. “Hal-hal iniah yang menyebakan banjir bila sungai atau saluran tak mampu menampung debit,” imbuhnya. Lalu soal intensitas curah air hujan juga terdiri dari dua unsur penting yaitu besarnya hujan dan lamanya hujan. “Sekalipun hujannya besar sekali tapi cuma lima menit saja tidak akan menyebakan banjir  atau hujannya kecil tapi seminggu maka tetap berpotensi banjir,” beber Apolo. Mantan Dekan Fakultas Tehnik Uncen ini menjabarkan poin terakhir yakni daerah tangkapan atau resapan hujan. 

 Dikatakan air di bumi jumlahnya tidak bertambah  namun bersiklus dalam  satu siklus hidrologi. Air yang mengalir di sungai, laut, ada yang menguap akan terus berputar. Siklus sendiri terbagi menjadi dua, ada siklus pendek dan ada siklus panjang dan siklus  ini yang menyebakan biasanya terjadi banjir tahunan. Jika semakain lama terulang maka jumlah debitnya akan semakin besar.  Iapun menyinggung soal infrastruktur dimana jika ingin dikalkulasikan maka seharusnya drainase-drainase yang ada perlu dibuat untuk beberapa puluh tahun kedepan. 

Baca Juga :  Perayaan HUT RI Tingkat Kota Jayapura, Tak Adakan Lomba-lomba

 “Kebanyakan orang di Eropa jika membangun drainase itu untuk 50 tahun ke depan, ini yang berbeda dengan kita. Membangun untuk 25 tahun saja sudah memperhitungkan anggaran yang besar,  waktu sehingga hanya membangun  drainase untuk 5 tahun saja, dan ketika terjadi banjir dengan periode hujan yang 10 tahun sekali drainase tersebut tidak akan mampu,” singgung Apolo. Lalu untuk menangani persoalan banjir disebutkan ada dua cara. Pertama secara struktur dan kedua nonstruktur. “Untuk  struktur ini seperti perencanaan drainase, restorasi sungai , pengendali banjir sedangkan yang nonstruktur itu harus ada perangkat peraturan seperti Perda  termasuk penegakan hukum bagi yang melanggar. Tapi sekarang dari diri kita saja apakah kita mau menegakkan atau atau tidak,” singgungnya lagi.

 Kemudian dilanjutkan bahwa jika  melihat dari sisi orang geologi, gunung merupakan tumpukan batu  yang bersusun yang mana jika kita ganggu atau mengambil satu batu maka semuanya akan jatuh. Ini yang dianggap hampir sama seperti yang terjadi di Sentani. Penebangan liar yang terjadi akan sangat berpotensi merusak ketahanan stabilitas lereng dan ketika satu pohon ditebang artinya ada satu penyangga atau kaki yang dilepas. Ini mirip puzzle menumpuk yang kehilangan salah satu tumpukan di bagian bawahnya. Lalu jika berbicara soal penanaman kembali Apolo menyarankan untuk dilakukan kajian lebih dulu terkait pohon-pohon jenis apa yang harus di tanam untuk memperkuat lereng mengingat tidak semua jenis tumbuhan bisa mengikat tanah.

 “Soal solusinya saya pikir Pemkab Jayapura harus duduk dan memetakan  apa akar masalahnya kemudian mencari penyebabnya. Jadi tidak bisa langsung ditangani tanpa harus dikaji lebih dulu. Pengkajian tentunya penting untuk memahami langkah tepat yang harus dilakukan dan saya pikir tetap  memerlukan pikiran-pikiran dari akademisi yang memahami persoalan,” bebernya. Sayangnya selama ini banyak akademisi yang mampu dan telah menyampaikan buah pemikirannya namun kesannya pemerintah hanya mau menggunakan saran masukan dari kajian akademisi yang berasal dari luar Papua. “Ya kira-kira seperti itu padahal akademisi dari luar belum tentu memahami kondisi di Papua,” imbuhnya. (*)

DAMPAK BANJIR – Kondisi banjir yang menggenangi pinggiran danau Sentani dan membuat warga yang tinggal pulau akhirnya harus mengungsi. (FOTO : Gamel Cepos)

Ngobrol Soal Banjir Dengan Rektor Uncen, Dr Apolo Safanpo ST, MT

Musibah banjir bandang di Sentani memberi pelajaran bagi semua bagaimana pentingnya keseimbangan. Dibalik musibah tentu ada hikmah. Cenderawasih Pos mencoba ngobrol dengan Rektor Uncen, Dr Apolo Safanpo ST MT, yang juga ahli ilmu hidrologi tehnik tentang banjir.

Laporan : Abdel Gamel Naser – Jayapura 

Sabtu 16 Maret mungkin menjadi hari yang tidak akan dilupakan untuk masyarakat Kabupaten Jayapura. Hari yang bisa menjadi sejarah kelam bagi Kabupaten Jayapura nanti. Gunung Cycloop yang  dianggap memberi kehidupan karena menyimpan air meradang dan menumpahkan sebagian kecil isi Cycloop ke tengah kota. Tak hanya air dengan jumlah yang sangat dahsyat tetapi juga material bebatuan, pasir bahkan gelondongan pepohonan yang nyaris melumpuhkan Kota Sentani. Cycloop seperti ingin menegur sikap manusia selama ini. Yang selalu datang mengusik dan mengambil begitu saja apa yang dimiiki  tanpa memikirkan untuk dikembalikan dan dijaga. 

 Cycloop menunjukkan angkaranya dengan memporak porandakan ribuan rumah dan akhirnya 100 lebih nyawa melayang. Meski musibah ini bukan karena satu penyebab namun komitmen perlu dipegang dan penegakan hukum juga perlu dilakukan sebab bila tidak bisa saja satu saat Cycloop akan lebih marah. Banjir bandang 16 Maret kemarin juga memberi dampak pada seluruh masyarakat yang mendiami pinggiran Danau Sentani dimana ribuan rumah ikut terendam. Catatan akademisi yang juga menjabat sebagai Rektor  Uncen, Dr Apolo Safanpo  ST MT bahwa terkait kejadian di Sentani  dirinya enggan berbicara sebatas banjir tetapi tentang bencana dimana banjir disebakan oleh banyak macam faktor. 

 Namun secara teori menurutnya banjir bisa disebakan darena dua hal. Pertama banjir dari atas yang terjadi karena hujan dan yang kedua itu banjir yang terjadi dari bawah yang mana penyebabnya adalah pasang surut air laut. Namun untuk pantai utara Provinsi Papua belum pernah terjadi banjir Rob pasang surut. Yang sering terjadi yaitu banjir karena hujan. Ia menjelaskan, air yang turun ke bumi hanya mempunyai dua jalan, pertama meresap ke dalam tanah dan kedua mengalir di permukaan tanah. 

 Air hujan yang meresap ke dalam tanah tidak akan akan menyebabkan banjir melainkan tersimpan sebagai cadangan air  tanah dan menghidupi seluruh mahluk sedangkan air hujan yang mengalir di permukaan tanah inilah yang berpotensi menyebabkan banjir. “lalu semua kontruksi bangunan-bangunan yang dirancang untuk mengendalikan banjir mulai dari sistem drainase, restorasi sungai, pelebaran sungai , normalisasi sungai, bendungan, kanal banjir  dan sebagainya juga  harus dirancang  berdasarkan jumlah kenaikan air permukaan.  Jumlah hujan yang mengalir di permukaan  bisa dihitung berdasarkan data yang dikeluarkan oleh BMKG. Dari situlah dirancang volume salurannya,” beber Apolo.

Baca Juga :  Kamtimbas Kondusif Menjelang Pilkada

 Alumni Undip Semarang ini menambahkan bahwa menurut teori debit banjir, jumlah debit banjir hanya dipengaruhi oleh 3 unsur yaitu koefisin tanah atau jenis tanah, intnsitas curah hujan  dan daerah tangkapan air. Bila jenis tanah  lempung maka air akan langsung meresap kedalam tanah, tp jika jenis tanahnya tanah liat maka air tidak akan meresap melainnya hanya mengalir di permukaan dan menambah jumlah debit air yang mengalir di permukaan.  Hal ini akan diperparah jika daerah yang seharusnya menjadi daerah resapan tapi dibangun dengan bangunan beton, aspal dan lain-lain maka aliran air ini akan terkumpul di saluran dan di sungai. “Hal-hal iniah yang menyebakan banjir bila sungai atau saluran tak mampu menampung debit,” imbuhnya. Lalu soal intensitas curah air hujan juga terdiri dari dua unsur penting yaitu besarnya hujan dan lamanya hujan. “Sekalipun hujannya besar sekali tapi cuma lima menit saja tidak akan menyebakan banjir  atau hujannya kecil tapi seminggu maka tetap berpotensi banjir,” beber Apolo. Mantan Dekan Fakultas Tehnik Uncen ini menjabarkan poin terakhir yakni daerah tangkapan atau resapan hujan. 

 Dikatakan air di bumi jumlahnya tidak bertambah  namun bersiklus dalam  satu siklus hidrologi. Air yang mengalir di sungai, laut, ada yang menguap akan terus berputar. Siklus sendiri terbagi menjadi dua, ada siklus pendek dan ada siklus panjang dan siklus  ini yang menyebakan biasanya terjadi banjir tahunan. Jika semakain lama terulang maka jumlah debitnya akan semakin besar.  Iapun menyinggung soal infrastruktur dimana jika ingin dikalkulasikan maka seharusnya drainase-drainase yang ada perlu dibuat untuk beberapa puluh tahun kedepan. 

Baca Juga :  Dana dari Pusat Belum Turun, Perbaikan Jalan Tak Maksimal

 “Kebanyakan orang di Eropa jika membangun drainase itu untuk 50 tahun ke depan, ini yang berbeda dengan kita. Membangun untuk 25 tahun saja sudah memperhitungkan anggaran yang besar,  waktu sehingga hanya membangun  drainase untuk 5 tahun saja, dan ketika terjadi banjir dengan periode hujan yang 10 tahun sekali drainase tersebut tidak akan mampu,” singgung Apolo. Lalu untuk menangani persoalan banjir disebutkan ada dua cara. Pertama secara struktur dan kedua nonstruktur. “Untuk  struktur ini seperti perencanaan drainase, restorasi sungai , pengendali banjir sedangkan yang nonstruktur itu harus ada perangkat peraturan seperti Perda  termasuk penegakan hukum bagi yang melanggar. Tapi sekarang dari diri kita saja apakah kita mau menegakkan atau atau tidak,” singgungnya lagi.

 Kemudian dilanjutkan bahwa jika  melihat dari sisi orang geologi, gunung merupakan tumpukan batu  yang bersusun yang mana jika kita ganggu atau mengambil satu batu maka semuanya akan jatuh. Ini yang dianggap hampir sama seperti yang terjadi di Sentani. Penebangan liar yang terjadi akan sangat berpotensi merusak ketahanan stabilitas lereng dan ketika satu pohon ditebang artinya ada satu penyangga atau kaki yang dilepas. Ini mirip puzzle menumpuk yang kehilangan salah satu tumpukan di bagian bawahnya. Lalu jika berbicara soal penanaman kembali Apolo menyarankan untuk dilakukan kajian lebih dulu terkait pohon-pohon jenis apa yang harus di tanam untuk memperkuat lereng mengingat tidak semua jenis tumbuhan bisa mengikat tanah.

 “Soal solusinya saya pikir Pemkab Jayapura harus duduk dan memetakan  apa akar masalahnya kemudian mencari penyebabnya. Jadi tidak bisa langsung ditangani tanpa harus dikaji lebih dulu. Pengkajian tentunya penting untuk memahami langkah tepat yang harus dilakukan dan saya pikir tetap  memerlukan pikiran-pikiran dari akademisi yang memahami persoalan,” bebernya. Sayangnya selama ini banyak akademisi yang mampu dan telah menyampaikan buah pemikirannya namun kesannya pemerintah hanya mau menggunakan saran masukan dari kajian akademisi yang berasal dari luar Papua. “Ya kira-kira seperti itu padahal akademisi dari luar belum tentu memahami kondisi di Papua,” imbuhnya. (*)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya