Saturday, November 23, 2024
28.7 C
Jayapura

Uang Damai Dalam Konflik Rawan Penyimpangan

JAYAPURA-Pemerintah dari Lanny Jaya dan Nduga dibantu pemerintah Jayawijaya dan beberapa kabupaten lainnya akhirnya berhasil menuntaskan konflik antar warga yang melibatkan warga dari Lanny Jaya dan Nduga. Ending dari semua ini adalah keluarnya uang negara untuk mengakhiri pertikaian yang disebut hanya sesama keluarga. Terkait  penyelesaian dengan damai yang menguras hampir Rp 3 miliar uang negara ini ditanggapi oleh salah satu akademisi Uncen, Marinus Yaung.

  Dosen FISIP Uncen ini  menyampaikan bahwa pembayaran ganti kepala dan ganti uang darah oleh pemerintah adalah bentuk lain dari korupsi dan bentuk penyimpangan keuangan daerah. Ini merupakan pengeluaran APBD yang tidak sesuai dengan peruntukkan. Pasalnya anggaran untuk perdamaian konflik tidak pernah diusulkan dalam rancangan APBD. Tak ada item – item yang dibahas dan tidak ada pos anggaran khusus untuk menuntaskan sebuah konflik. Ini  kata Yaung bisa diartikan sebagai bentuk penyalahgunaan anggaran.

Baca Juga :  Pencari Besi Tua Temukan Puluhan Butir Amunisi di Tempat Sampah

   “Ini tidak akan menyelesaikan konflik melainkan hanya sebagai ladang bisnis untuk mendapatkan manfaat ekonomi. Jika ini masih terjadi dan dilakukan, maka mereka (masyarakat) tahunya jika ada konflik dan ada korban maka itu akan dibayarkan oleh pemerintah,” beber Yaung melalui ponselnya, Senin (17/1).

  Apalagi jika Bupati Nduga menyampaikan bahwa ini merupakan perang keluarga, artinya harus bisa diselesaikan tanpa mengeluarkan uang negara. Uang yang harusnya digunakan untuk pembangunan. Sesama keluarga harusnya bisa lebih mudah diselesaikan, bukan tidak menemukan kata sepakat dan akhinya semua diselesaikan dengan uang.

   Ini justru menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam menyelesaikan konflik. Sedikit –sedikit uang memanfaatkan uang APBD untuk menyelesaikan konflik. “ Saya berharap 2024 bupati dan  gubernur tak boleh lagi ada kebijakan seperti itu. Saya melihat ini kebanyakan terjadi di wilayah pegunungan dan saya pastikan ini tidak akan menyelesaikan masalah melainkan justru merawat konflik dengan memberikan ganti rugi.

Baca Juga :  Sudah Seharusnya Warga Port Numbay Dukung BTM

  “Salah juga kalau mengatakan ini kearifan lokal, sebab dampaknya sangat buruk dan ini menjadi bentuk merawat konflik. Sebab tidak ada yang diselesaikan, hanya memelihara dan sewaktu – waktu akan terjadi kembali,” imbuhnya.

   Kondisi ini dalam catatan Yaung baru saja terjadi. Pembayaran uang perdamaian konflik baru muncul di era Otsus karena salah jika mengatakan ini sebagai kearifan. “Ingat dulu perang juga ada tetapi tidak melibatkan pemerintah untuk membayar,” singgungnya.

  Apalagi kata dia nantinya ada kesan bahwa uang bisa mengganti nyawa apalagi difasilitasi pemerintah. “Nah pemerintah bisa terjebak disini,” wantinya. (ade/tri)

JAYAPURA-Pemerintah dari Lanny Jaya dan Nduga dibantu pemerintah Jayawijaya dan beberapa kabupaten lainnya akhirnya berhasil menuntaskan konflik antar warga yang melibatkan warga dari Lanny Jaya dan Nduga. Ending dari semua ini adalah keluarnya uang negara untuk mengakhiri pertikaian yang disebut hanya sesama keluarga. Terkait  penyelesaian dengan damai yang menguras hampir Rp 3 miliar uang negara ini ditanggapi oleh salah satu akademisi Uncen, Marinus Yaung.

  Dosen FISIP Uncen ini  menyampaikan bahwa pembayaran ganti kepala dan ganti uang darah oleh pemerintah adalah bentuk lain dari korupsi dan bentuk penyimpangan keuangan daerah. Ini merupakan pengeluaran APBD yang tidak sesuai dengan peruntukkan. Pasalnya anggaran untuk perdamaian konflik tidak pernah diusulkan dalam rancangan APBD. Tak ada item – item yang dibahas dan tidak ada pos anggaran khusus untuk menuntaskan sebuah konflik. Ini  kata Yaung bisa diartikan sebagai bentuk penyalahgunaan anggaran.

Baca Juga :  Tetap Jaga Toleransi Dalam Perayaan Idul Fitri

   “Ini tidak akan menyelesaikan konflik melainkan hanya sebagai ladang bisnis untuk mendapatkan manfaat ekonomi. Jika ini masih terjadi dan dilakukan, maka mereka (masyarakat) tahunya jika ada konflik dan ada korban maka itu akan dibayarkan oleh pemerintah,” beber Yaung melalui ponselnya, Senin (17/1).

  Apalagi jika Bupati Nduga menyampaikan bahwa ini merupakan perang keluarga, artinya harus bisa diselesaikan tanpa mengeluarkan uang negara. Uang yang harusnya digunakan untuk pembangunan. Sesama keluarga harusnya bisa lebih mudah diselesaikan, bukan tidak menemukan kata sepakat dan akhinya semua diselesaikan dengan uang.

   Ini justru menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam menyelesaikan konflik. Sedikit –sedikit uang memanfaatkan uang APBD untuk menyelesaikan konflik. “ Saya berharap 2024 bupati dan  gubernur tak boleh lagi ada kebijakan seperti itu. Saya melihat ini kebanyakan terjadi di wilayah pegunungan dan saya pastikan ini tidak akan menyelesaikan masalah melainkan justru merawat konflik dengan memberikan ganti rugi.

Baca Juga :  Tekankan Pentingnya Pengawasan

  “Salah juga kalau mengatakan ini kearifan lokal, sebab dampaknya sangat buruk dan ini menjadi bentuk merawat konflik. Sebab tidak ada yang diselesaikan, hanya memelihara dan sewaktu – waktu akan terjadi kembali,” imbuhnya.

   Kondisi ini dalam catatan Yaung baru saja terjadi. Pembayaran uang perdamaian konflik baru muncul di era Otsus karena salah jika mengatakan ini sebagai kearifan. “Ingat dulu perang juga ada tetapi tidak melibatkan pemerintah untuk membayar,” singgungnya.

  Apalagi kata dia nantinya ada kesan bahwa uang bisa mengganti nyawa apalagi difasilitasi pemerintah. “Nah pemerintah bisa terjebak disini,” wantinya. (ade/tri)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya