Sebab, pasca pemekaran dan berbagai pergeseran kebijakan Otonomi Khusus, birokrasi di tingkat provinsi tengah mencari keseimbangan baru. Banyak urusan pemerintahan menjadi tumpang tindih, dan ruang koordinasi antarprovinsi dan kabupaten sering berjalan tanpa kejelasan hierarki.
“Mari-Yo perlu menjawab persoalan ini bukan dengan retorika seremonial, tetapi melalui penataan tata kelola yang cerdas, cepat, dan berbasis data,” ucapnya.
Tak kalah penting ucap dosen tatah negara Uncen itu adalah kelompok yang memilih berada di luar lingkar kekuasaan, baik karena perbedaan pandangan maupun posisi politik. Dalam demokrasi yang sehat, mereka bukanlah lawan, melainkan penyeimbang.
Di Provinsi Papua, fungsi ini sangat penting agar kekuasaan tidak berjalan dalam ruang gema yang hanya memantulkan suara sendiri.
Lebih jauh Lily menyampaikan, dari kacamata akademis, momen politik Mari-Yo adalah peluang untuk membangun demokrasi kolaboratif, sebuah tatanan di mana perbedaan tidak dimaknai sebagai ancaman, melainkan bagian dari sistem penyeimbang.
Karena itu pemerintah perlu terbuka terhadap kritik yang objektif, sementara kelompok di luar pemerintahan dapat memainkan peran strategis sebagai mitra pengingat dalam menjaga arah kebijakan publik tetap berpihak pada masyarakat.
Masa pemerintahan Mari-yo dapat menjadi momentum untuk memperdalam praktik politik yang menumbuhkan kepercayaan dan menjunjung integritas dalam pengelolaan pemerintahan.
“Sebab, legitimasi paling kuat tidak bersumber dari pusat kekuasaan, melainkan dari kemampuan seorang pemimpin menumbuhkan rasa percaya di tengah masyarakatnya sendiri,” ujarnya.