Sunday, April 28, 2024
27.7 C
Jayapura

UU KUHP Disahkan Untuk Tindakan Militeristik Hadapi Gerakan Demokrasi 

Dari Kegiatan Refleksi Gerakan Pemuda Tahun 2022 yang Digelar ALDP

Mendekati penghujung tahun 2022, Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) mengelar kegiatan refleksi Gerakan Pemuda Tahun 2022 (Efektifitas dan Tantangannya)  yang digelar di Hotel Green Abepura, Sabtu (10/12) lalu. Dalam kegiatan refleksni ini menghadirkan pemateri Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Emanuel Gobai, SH, MH.

Laporan: Noel IU Wenda_Jayapura

Bertepatan dengan hari Hak Azasi Manusia (HAM) Sedunia, memang menjadi momen yang tepat untuk melakukan refleksi terhadap penegakan HAM selama ini, khususnya di Papua. Sepanjang tahun 2022 tentunya banyak catatan  yang perlu menjadi perhatian semua pihak.

   Direktur LBH Papua, Emanuel Gobai SH MH saat menjadi pemateri dalam kegiatan Refleksi Gerakan Pemuda Tahun 2022 yang digelar ALDP di Hotel Green Abepura, Sabtu (10/12). menyampaikan materi dengan judul  “Militeristik dalam Pendekatan Terhadap Gerakan Demokrasi Pemuda dan Mahasiswa di Papua”.

   Gobai mengatakan beberapa cerita pendekatan represif yang dilakukan Aparat Keamanan dalam penanganan kebebasan berekspresi sesuai UU Nomor 9 Tahun 1998 di Papua, khususnya di Jayapura  sering kali berujung kriminalisasi beberapa pimpinan maupun masa aksi.

  Dimana mereka dijerat dengan pasal Makar maupun Pasal Lawan Petugas. Sementara Fakta tindakan kekerasan yang dilakukan Aparat Keamanan yang mengakibatkan luka-luka pada tubuh Masa Aksi tidak diproses hukum sama sekali sebagaimana yang terjadi dalam Aksi di USTJ dan Uncen pada bulan November 2022 lalu.

  Dikatakan, Selama tahun 2022 juga menunjukkan fakta pendekatan militeristik dalam semua ruang kebebasan berekspresi baik di Ruang Publik, Ruang Kampus, Ruang Diskusi dan Ruang Dunia Maya yang dilakukan dengan dalil mulai dari mengartikan kewajiban Surat Pemberitahuan sesuai UU Nomor 9 Tahun 1998 yang diartikan menjadi izin bagi aktifitas Kebebasan Berekpresi di Ruang Publik.

Baca Juga :  Bantuan dari Komite Sekolah Harus Pertanggungjawabkan!

  Kata Gobai,  dalil tidak ada izin dari pihak Kampus sehingga kegiatan mimbar bebas dalam Ruang Kampus dibubarkan. Pembubaran Diskusi dengan dalil Covid-19, sehingga Diskusi dibubarkan. Pengunaan dalil menyebarkan berita Hoax atau Informasi yang akan menciptakan konflik sara sehingga ada beberapa aktivis yang di pangil Polisi atas tuduhan melanggar UU ITE.

  Terlepas dari itu, Gobai juga mengatakan ada upaya penciptaan kondisi dengan memfasilitasi terbentuknya kelompok Pro dan Kontra sebagaimana yang terlihat dalam Isu Penolakan Otsus, Daerah Otonomi Baru dalam skup menanggapi kebijakan politik yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat.

  Menciptakan Papua dan Non Papua yang selalu dihidupkan melalui penyebaran informasi dalam sosial media (sosmed) ketika akan ada aksi demostrasi damai dengan membangunkan kembali ingatam publik terkait aksi brutal yang pernah terjadi pada bulan Agustus 2019, sehingga akan menciptakan kekhawatiran pada kubu tertentu yang menjadi korban pada bulan Agustus 2019. Pada akhirnya mereka akan mawas diri seakan langsung menyiapkan diri untuk menghadapi aksi demostrasi damai yang dilakukan sesuai mekanisme UU Nomor 9 Tahun 1998.

  “Adapun kebijakan-kebijakan baru yang dibentuk pemerintah pusat tanpa menghimpun aspirasi masyarakat seperti UU Cipta Kerja, UU Otsus, UU DOB, UU Minerba yang ujung-ujungnya akan melahirkan kemarahan rakyat sehingga dibentuklah kebijakan baru yang bertujuan untuk mengendalikan kemarahan masyarakat dengan mengesahkan UU KUHP yang akan bertentangan dengan semangat UU Nomor 9 Tahun 1998,” katanya dengan menyampaikan juga Selamat merayakan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia, 10 Desember 2022 itu.

Baca Juga :  Jalan Mulus, Ritel Modern Makin Masif

   Terkait dengan telah disahkannya UU KUHP, Emanuel Gobai  juga menilai pada prinsipnya UU KUHP akan dijadikan alat untuk melegalkan tindakan Militeristik dalam menghadapi Gerakan Demokrasi Pemuda dan Mahasiswa yang sudah memberikan Surat Pemberitahuan, namun dijawab dengan tidak mengijinkan sebagaimana yang sudah dipraktekan pada Perayaan Hari HAM Sedunia pada tanggal 10 Desember 2022  di wilayah Adat Tabi dimana ada 59 Orang Mahasiswa Papua yang ditangkap Aparat Keamanan.

  “Pendekatan keamanan di Papua telah menghidupkan praktek Militeristik di Papua sehingga segala sendi Kehidupan di Papua termasuk dalam Gerakan Demokrasi telah dikendalikan dengan Pendekatan Militeristik.”ungkapnya.

  “Dengan demikian maka kami sebagai Warga Negara yang telah memiliki Hak Konstitusional sebagaimana diatur pada BAB X, Pasal 28 dan Pasal 28a sampai dengan Pasal 28j UUD 1945 dan turunannya yang diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum wajib memikirkan cara untuk menyelamatkan Ruang Kebebasan Ekspresi dari kungkungan Militeristik yang dibangun secara sistematik dan struktural di Papua,” ujar Gobai. (*/tri)

Dari Kegiatan Refleksi Gerakan Pemuda Tahun 2022 yang Digelar ALDP

Mendekati penghujung tahun 2022, Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) mengelar kegiatan refleksi Gerakan Pemuda Tahun 2022 (Efektifitas dan Tantangannya)  yang digelar di Hotel Green Abepura, Sabtu (10/12) lalu. Dalam kegiatan refleksni ini menghadirkan pemateri Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Emanuel Gobai, SH, MH.

Laporan: Noel IU Wenda_Jayapura

Bertepatan dengan hari Hak Azasi Manusia (HAM) Sedunia, memang menjadi momen yang tepat untuk melakukan refleksi terhadap penegakan HAM selama ini, khususnya di Papua. Sepanjang tahun 2022 tentunya banyak catatan  yang perlu menjadi perhatian semua pihak.

   Direktur LBH Papua, Emanuel Gobai SH MH saat menjadi pemateri dalam kegiatan Refleksi Gerakan Pemuda Tahun 2022 yang digelar ALDP di Hotel Green Abepura, Sabtu (10/12). menyampaikan materi dengan judul  “Militeristik dalam Pendekatan Terhadap Gerakan Demokrasi Pemuda dan Mahasiswa di Papua”.

   Gobai mengatakan beberapa cerita pendekatan represif yang dilakukan Aparat Keamanan dalam penanganan kebebasan berekspresi sesuai UU Nomor 9 Tahun 1998 di Papua, khususnya di Jayapura  sering kali berujung kriminalisasi beberapa pimpinan maupun masa aksi.

  Dimana mereka dijerat dengan pasal Makar maupun Pasal Lawan Petugas. Sementara Fakta tindakan kekerasan yang dilakukan Aparat Keamanan yang mengakibatkan luka-luka pada tubuh Masa Aksi tidak diproses hukum sama sekali sebagaimana yang terjadi dalam Aksi di USTJ dan Uncen pada bulan November 2022 lalu.

  Dikatakan, Selama tahun 2022 juga menunjukkan fakta pendekatan militeristik dalam semua ruang kebebasan berekspresi baik di Ruang Publik, Ruang Kampus, Ruang Diskusi dan Ruang Dunia Maya yang dilakukan dengan dalil mulai dari mengartikan kewajiban Surat Pemberitahuan sesuai UU Nomor 9 Tahun 1998 yang diartikan menjadi izin bagi aktifitas Kebebasan Berekpresi di Ruang Publik.

Baca Juga :  Banyak Dengar Keluhan, Janji Akan Segera Kembali Bersama Instansi Teknis

  Kata Gobai,  dalil tidak ada izin dari pihak Kampus sehingga kegiatan mimbar bebas dalam Ruang Kampus dibubarkan. Pembubaran Diskusi dengan dalil Covid-19, sehingga Diskusi dibubarkan. Pengunaan dalil menyebarkan berita Hoax atau Informasi yang akan menciptakan konflik sara sehingga ada beberapa aktivis yang di pangil Polisi atas tuduhan melanggar UU ITE.

  Terlepas dari itu, Gobai juga mengatakan ada upaya penciptaan kondisi dengan memfasilitasi terbentuknya kelompok Pro dan Kontra sebagaimana yang terlihat dalam Isu Penolakan Otsus, Daerah Otonomi Baru dalam skup menanggapi kebijakan politik yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat.

  Menciptakan Papua dan Non Papua yang selalu dihidupkan melalui penyebaran informasi dalam sosial media (sosmed) ketika akan ada aksi demostrasi damai dengan membangunkan kembali ingatam publik terkait aksi brutal yang pernah terjadi pada bulan Agustus 2019, sehingga akan menciptakan kekhawatiran pada kubu tertentu yang menjadi korban pada bulan Agustus 2019. Pada akhirnya mereka akan mawas diri seakan langsung menyiapkan diri untuk menghadapi aksi demostrasi damai yang dilakukan sesuai mekanisme UU Nomor 9 Tahun 1998.

  “Adapun kebijakan-kebijakan baru yang dibentuk pemerintah pusat tanpa menghimpun aspirasi masyarakat seperti UU Cipta Kerja, UU Otsus, UU DOB, UU Minerba yang ujung-ujungnya akan melahirkan kemarahan rakyat sehingga dibentuklah kebijakan baru yang bertujuan untuk mengendalikan kemarahan masyarakat dengan mengesahkan UU KUHP yang akan bertentangan dengan semangat UU Nomor 9 Tahun 1998,” katanya dengan menyampaikan juga Selamat merayakan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia, 10 Desember 2022 itu.

Baca Juga :  Anthon: Jangan Sekali kali terlibat Dalam Mafia Peradilan

   Terkait dengan telah disahkannya UU KUHP, Emanuel Gobai  juga menilai pada prinsipnya UU KUHP akan dijadikan alat untuk melegalkan tindakan Militeristik dalam menghadapi Gerakan Demokrasi Pemuda dan Mahasiswa yang sudah memberikan Surat Pemberitahuan, namun dijawab dengan tidak mengijinkan sebagaimana yang sudah dipraktekan pada Perayaan Hari HAM Sedunia pada tanggal 10 Desember 2022  di wilayah Adat Tabi dimana ada 59 Orang Mahasiswa Papua yang ditangkap Aparat Keamanan.

  “Pendekatan keamanan di Papua telah menghidupkan praktek Militeristik di Papua sehingga segala sendi Kehidupan di Papua termasuk dalam Gerakan Demokrasi telah dikendalikan dengan Pendekatan Militeristik.”ungkapnya.

  “Dengan demikian maka kami sebagai Warga Negara yang telah memiliki Hak Konstitusional sebagaimana diatur pada BAB X, Pasal 28 dan Pasal 28a sampai dengan Pasal 28j UUD 1945 dan turunannya yang diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum wajib memikirkan cara untuk menyelamatkan Ruang Kebebasan Ekspresi dari kungkungan Militeristik yang dibangun secara sistematik dan struktural di Papua,” ujar Gobai. (*/tri)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya