Friday, April 19, 2024
27.7 C
Jayapura

Buka Posko Pengaduan Batuan Hukum Bagi Korban Pelanggaran HAM

Jajaran Koalisi Masyarakat Sipil Papua (KMSP) memberikan keterangan pers dengan awak media di Padang Bulan Abepura , Senin (9/9). (FOTO : Takim/Cepos)

JAYAPURA – Koalisi Masyarakat Sipil Papua (KMSP) di Jayapura, Senin (09/09) membuka Posko pengaduan untuk korban kekerasan dan pelanggaran HAM di Tanah Papua di kantor firma hukum AHIMSA di Jl. Raya Sentani, Padang Bulan. 

 Ketua Bersatu Untuk Kebenaran (BUK), Baguma mengatakan bahwa Inisiatif dalam membentuk KMSP setelah mendapatkan laporan maraknya intimidasi dan penutupan akses terhadap keluarga korban yang ingin mendapatkan informasi dan kejelasan terkait anggota keluarga mereka yang menjadi korban selama aksi kekerasan terjadi di beberapa wilayah di Papua dan Papua Barat.

 “Kami mengimbau para keluarga korban untuk melaporkan jika ada anggota keluarga mereka yang belum diketahui keberadaannya, termasuk korban luka-luka, salah tangkap dan mereka yang mengalami trauma sejak aksi kekerasan terjadi,” kata Baguma dalam jumpa pers di Padang Bulan, Senin (9/9) kemarin.

 Dirinya mengakui bahwa hal ini dilakukan salah satu upaya untuk mengimbangi informasi sepihak dari pihak aparat keamanan maupun pemerintah terkait adanya korban kekerasan di Tanah Papua.  “Informasi terkait korban juga semakin simpang siur akibat kebijakan pembatasan dan pemutusan akses internet di Tanah Papua yang dilakukan oleh pemerintah, diharapkan melalui Posko ini bisa tersalurkan semua,”katanya.

 Pihaknya mengakui pada  1 September lalu pihak kepolisian telah mengeluarkan data dengan sangat rinci terkait kerusakan dan kerugian material akibat aksi unjuk rasa pada 29 Agustus di Jayapura.  Anehnya, informasi mengenai korban luka-luka dan meninggal tidak disampaikan dalam pengumuman tersebut, sementara Koalisi Masyarkat Sipil Papua telah menerima informasi tentang adanya korban luka maupun jiwa dari warga sipil dalam peristiwa yang terjadi di Jayapura.   

Baca Juga :  Pemilihan Kepala Kampung Serentak 1 April

 Di satu sisi, aparat keamanan agresif melakukan penangkapan-penangkapan di sejumlah daerah di Papua terhadap mereka yang diduga sebagai provokator perusakan dan dituduh sebagai dalang dari peristiwa kekerasan di Tanah Papua.

 Yuliana perwakilan Elsham Papua, mengatakan bahwa, monopoli informasi yang dilakukan oleh pemerintah disertai dengan pembatasan akses bagi keluarga koban merupakan tindakan yang tidak proporsional dan bertentangan dengan prinsip keadilan dan hak atas informasi. Belum lagi pelayanan sosial di Jayapura juga terganggu karenanya. 

 Koordinator Kontras Papua, Sem Awom mengakui tidak adanya transparansi dari pemerintah terkait jumlah korban luka maupun jiwa baik dari peristiwa di Jayapura maupun di Deiyai dan beberapa kota lainnya di Papua menunjukkan bahwa pemerintah terkesan secara sengaja melakukan praktek-praktek diskriminasi terhadap korban dan keluarga korban di Papua. 

 Selain menerima pengaduan atas korban pihaknya juga akan memberikan bantuan hukum secara geratis jika persolan tersebut terus berlanjut sebagai komitmen dalam membantu masyarakat dalam memberikan edukasi dan pengaduan bagi masyarakat.

 Koalisi Masyarakat Sipil Papua mendapatkan laporan terkait adanya korban jiwa dan luka-luka yang saat ini masih berada di beberapa rumah sakit di Jayapura dan Deiyai. Namun, keluarga, jurnalis maupun pekerja kemanusiaan tidak diberikan akses untuk melihat langsung korban.

Baca Juga :  Kerukunan Umat Untuk Papua Hebat

“Pembatasan akses bagi keluarga korban adalah bentuk pelanggaran HAM dan pemerintah dan aparat harus membuka akses bagi keluarga korban, para jurnalis, dan pekerja kemanusiaan,” kata Yuliana Langowuyo dari SKPKC Fransiskan Papua. 

 Koalisi Masyarakat Sipil Papua menemukan bentuk pelanggaran HAM lainnya terhadap salah satu keluarga korban meninggal di Jayapura. Keluarga salah satu korban meninggal tidak diberi kesempatan untuk melihat jenazah korban. Kelurga korban hanya bisa menjemput jenazah korban yang disimpan di dalam peti mati dan keluarga korban tidak diberi kesempatan untuk membuka peti tersebut.

Organisasi-organisasi HAM di Papua, nasional, dan internasional telah berulang kali menyerukan adanya investigasi independen, imparsial, dan efektif atas kasus-kasus dugaan pembunuhan di luar proses hukum demi terwujudnya keadilan bagi keluarga korban dan masyarakat luas. Ketiadaan investigasi independen, imparsial, dan efektif ini merupakan sumber impunitas dan ketidakpercayaan publik terhadap institusi penegakan hukum di Papua.

 “Kami juga mengimbau kepada berbagai pihak termasuk institusi-institusi keagamaan serta asrama-asrama mahasiswa untuk membuka posko pengaduan bagi keluarga korban. Hal ini penting untuk memperkuat upaya pengungkapan kebenaran dan keadilan bagi korban,” kata Anum Siregar,SH dari  ALDP. (kim/wen) 

Jajaran Koalisi Masyarakat Sipil Papua (KMSP) memberikan keterangan pers dengan awak media di Padang Bulan Abepura , Senin (9/9). (FOTO : Takim/Cepos)

JAYAPURA – Koalisi Masyarakat Sipil Papua (KMSP) di Jayapura, Senin (09/09) membuka Posko pengaduan untuk korban kekerasan dan pelanggaran HAM di Tanah Papua di kantor firma hukum AHIMSA di Jl. Raya Sentani, Padang Bulan. 

 Ketua Bersatu Untuk Kebenaran (BUK), Baguma mengatakan bahwa Inisiatif dalam membentuk KMSP setelah mendapatkan laporan maraknya intimidasi dan penutupan akses terhadap keluarga korban yang ingin mendapatkan informasi dan kejelasan terkait anggota keluarga mereka yang menjadi korban selama aksi kekerasan terjadi di beberapa wilayah di Papua dan Papua Barat.

 “Kami mengimbau para keluarga korban untuk melaporkan jika ada anggota keluarga mereka yang belum diketahui keberadaannya, termasuk korban luka-luka, salah tangkap dan mereka yang mengalami trauma sejak aksi kekerasan terjadi,” kata Baguma dalam jumpa pers di Padang Bulan, Senin (9/9) kemarin.

 Dirinya mengakui bahwa hal ini dilakukan salah satu upaya untuk mengimbangi informasi sepihak dari pihak aparat keamanan maupun pemerintah terkait adanya korban kekerasan di Tanah Papua.  “Informasi terkait korban juga semakin simpang siur akibat kebijakan pembatasan dan pemutusan akses internet di Tanah Papua yang dilakukan oleh pemerintah, diharapkan melalui Posko ini bisa tersalurkan semua,”katanya.

 Pihaknya mengakui pada  1 September lalu pihak kepolisian telah mengeluarkan data dengan sangat rinci terkait kerusakan dan kerugian material akibat aksi unjuk rasa pada 29 Agustus di Jayapura.  Anehnya, informasi mengenai korban luka-luka dan meninggal tidak disampaikan dalam pengumuman tersebut, sementara Koalisi Masyarkat Sipil Papua telah menerima informasi tentang adanya korban luka maupun jiwa dari warga sipil dalam peristiwa yang terjadi di Jayapura.   

Baca Juga :  Papua Harus Jadi Contoh Toleransi Beragama

 Di satu sisi, aparat keamanan agresif melakukan penangkapan-penangkapan di sejumlah daerah di Papua terhadap mereka yang diduga sebagai provokator perusakan dan dituduh sebagai dalang dari peristiwa kekerasan di Tanah Papua.

 Yuliana perwakilan Elsham Papua, mengatakan bahwa, monopoli informasi yang dilakukan oleh pemerintah disertai dengan pembatasan akses bagi keluarga koban merupakan tindakan yang tidak proporsional dan bertentangan dengan prinsip keadilan dan hak atas informasi. Belum lagi pelayanan sosial di Jayapura juga terganggu karenanya. 

 Koordinator Kontras Papua, Sem Awom mengakui tidak adanya transparansi dari pemerintah terkait jumlah korban luka maupun jiwa baik dari peristiwa di Jayapura maupun di Deiyai dan beberapa kota lainnya di Papua menunjukkan bahwa pemerintah terkesan secara sengaja melakukan praktek-praktek diskriminasi terhadap korban dan keluarga korban di Papua. 

 Selain menerima pengaduan atas korban pihaknya juga akan memberikan bantuan hukum secara geratis jika persolan tersebut terus berlanjut sebagai komitmen dalam membantu masyarakat dalam memberikan edukasi dan pengaduan bagi masyarakat.

 Koalisi Masyarakat Sipil Papua mendapatkan laporan terkait adanya korban jiwa dan luka-luka yang saat ini masih berada di beberapa rumah sakit di Jayapura dan Deiyai. Namun, keluarga, jurnalis maupun pekerja kemanusiaan tidak diberikan akses untuk melihat langsung korban.

Baca Juga :  Pemkot Agendakan Safari 5 Ramadan di 10 Tempat 

“Pembatasan akses bagi keluarga korban adalah bentuk pelanggaran HAM dan pemerintah dan aparat harus membuka akses bagi keluarga korban, para jurnalis, dan pekerja kemanusiaan,” kata Yuliana Langowuyo dari SKPKC Fransiskan Papua. 

 Koalisi Masyarakat Sipil Papua menemukan bentuk pelanggaran HAM lainnya terhadap salah satu keluarga korban meninggal di Jayapura. Keluarga salah satu korban meninggal tidak diberi kesempatan untuk melihat jenazah korban. Kelurga korban hanya bisa menjemput jenazah korban yang disimpan di dalam peti mati dan keluarga korban tidak diberi kesempatan untuk membuka peti tersebut.

Organisasi-organisasi HAM di Papua, nasional, dan internasional telah berulang kali menyerukan adanya investigasi independen, imparsial, dan efektif atas kasus-kasus dugaan pembunuhan di luar proses hukum demi terwujudnya keadilan bagi keluarga korban dan masyarakat luas. Ketiadaan investigasi independen, imparsial, dan efektif ini merupakan sumber impunitas dan ketidakpercayaan publik terhadap institusi penegakan hukum di Papua.

 “Kami juga mengimbau kepada berbagai pihak termasuk institusi-institusi keagamaan serta asrama-asrama mahasiswa untuk membuka posko pengaduan bagi keluarga korban. Hal ini penting untuk memperkuat upaya pengungkapan kebenaran dan keadilan bagi korban,” kata Anum Siregar,SH dari  ALDP. (kim/wen) 

Berita Terbaru

Artikel Lainnya