MERAUKE- Kepala Kantor Syahbandar Otoritas Pelabuhan Perikanan Nusantara Merauke Susanto mengungkapkan bahwa sejak 2020 lalu sampai sekarang, jumlah ABK kapal nelayan baik ikan maupun cumi yang meninggal dunia lebih dari 20 orang. Sedangkan di bulan Maret 2020 ini saja, sudah tercatat 5 orang.
Menurutnya, buruknya perlindungan hak asasi yang diberikan kepada awak kapal diduga sebagai penyebab banyaknya ABK yang meninggal tersebut. “Orang berbulan-bulan di kapal sementaranya minumnya terbatas, bagaimana tidak ginjal. Makannya mie instan setiap hari. Bagaimana tidak mati di Kapal. Hidup di kapal, tidur di atas bagian palka kapal atau jaring-jaring. tidak ada tempat tidurnya. Nah, kalau dibilang kesejahteraan nelayan itu yang mana. Kalau saya melihat ini sangat miris nelayan kita,” kata Susanto Masita minggu lalu.
Menurutnya Susanto Masita, jika ada yang meninggal dunia di laut dibawa ke Pelabuhan Nusantara Merauke, namun jika tidak ada yang meninggal kapal berlabuh ke Kali Kumbe. Padahal, lanjut dia, Muara Kali Kumbe bukan pelabuhan pangkalan. ‘’Itu tidak boleh di sana karena melanggar. Tapi yang menjadi pernyataan mengapa mereka ke sana,” terangnya.
Terhadap KM Jaya Utama, dimana 7 ABK kapal tersebut melarikan diri karena tidak tahan dengan sistem kerja paksa dengan jaminan hidup yang minim, menurut Susanto Masita bahwa pihaknya telah mendapat informasi dari KSOP Sorong bahwa kapal tersebut adalah kapal angkut. Namun sudah menjadi kapal cumi.
“Ini yang belum kami dapat informasinya dari Syahbandar Dobo. Apakah saat di Dobo kapal melakukan perubahan fungsi atau bagaimana. Ini kami belum menerima informasi dari Dobo. Tapi, akan menjadi bagian investigasi dari kami,’’ tandasnya.
Pihaknya juga, lanjut Susanto Masita telah berkoordinasi dengan asosasi kapal nelayan di Jakarta yang langsung membawahi dan berkomunikasi dengan pejabat kementerian, dimana masalah tersebut sudah ditangani oleh Kementerian Kelautan dan Perikanana RI.
“Yang juga menjadi Pertanyaan mengapa kapal-kapal ini belomba-lomba masuk ke Papua. Sementara izinnya ada di Maluku. Kami tanya nelayananya, mereka sampaikan bahwa saat menangkap sudah lihat daratan Papua. Itu berarti sudah melanggar wilayah penangkapan. Ini masuk pelanggaran. Masalah ini juga kami akan bawa masalah ke Kementerian agar semua bisa buka mata apa yang terjadi sebenarnya. Tapi harapan kita, minimal ada perlindungan terhadap hak asasi manusia khususnya para awak kapal nelayan ini dari semua peristiwa yang terjadi ini,” tandasnya. (ulo/tri)