SARMI-Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Sarmi, Muh. Asari Tiris, S.AP., menyoroti absennya tenaga kerja lokal dalam posisi strategis di perusahaan kayu, khususnya pada bagian pengukuran kayu atau skiller. Ia menyebut kondisi ini sebagai persoalan serius yang berdampak langsung pada hak ulayat, upah pekerja, hingga transparansi hasil hutan.
“Hari ini kayu-kayu gelondongan ditebang dari hutan orang Sarmi, diangkut ke pantai Sarmi, lalu dimuat ke tongkang dan dikirim entah ke mana. Tapi ironisnya, tak satu pun anak Sarmi dilibatkan dalam proses pengukuran kubikasi,” tegas Asari, Senin (5/5).
Dikatakan, setelah dilantik sebagai ketua DPRK, Asari langsung meminta data ke Dinas Tenaga Kerja Sarmi. Hasilnya mengejutkan, dari 460 orang yang sudah dibina, tidak ada satu pun yang disiapkan menjadi skiller.
“Padahal fungsi skiller itu sangat penting, dia yang ukur panjang dan diameter kayu untuk tentukan nilai kubikasi. Itu dasar pembayaran upah, hitungan hak ulayat, hingga laporan produksi. Tapi tidak ada satu pun anak Sarmi yang dilatih jadi skiller,” ungkapnya.
Asari menilai, tanpa kehadiran skiller lokal, Sarmi tidak pernah benar-benar tahu berapa volume kayu yang keluar dari hutannya selama 38 tahun operasi perusahaan-perusahaan salah satunya perusahan Wapoga.
“Kalau yang keluar 10 kubik, dilaporkan 5, siapa bisa bantah? Kita tidak punya data. Hak ulayat pun dibayar asal-asalan. Bahkan 600 juta dibayar ke kampung, tanpa kita tahu nilai sebenarnya dari kayu yang diambil,” ujarnya.
Untuk itu, ia mendesak Dinas Ketenagakerjaan agar segera menyiapkan putra-putri Sarmi menjadi skiller yang digaji pemerintah, agar independen dan tidak terpengaruh oleh perusahaan.