19 Jam Mengapung di Laut Berpegangan pada Tripleks
Para korban selamat tenggelamnya KM Ladang Pertiwi harus menahan kencangnya angin dan dinginnya air laut yang sampai membuat jari-jari kaki melengkung. Ada yang pulang dari Makassar di tengah kegembiraan karena baru saja mendapat SK pengangkatan.
SAKINAH FITRIANTI, Pangkep
SUDAH 18 jam KM Ladang Pertiwi menempuh perjalanan. Tinggal sejam lagi akan sampai ke pulau yang dituju.
Tapi, kondisi darurat terjadi di bagian bawah kapal yang tengah berada di Selat Makassar itu. Saat Muslimin, salah seorang anak buah kapal (ABK), mengerahkan daya dan upaya memperbaiki mesin, air telanjur merangsek masuk.
Listrik pun padam. Tak ada satu pun mesin yang berfungsi. Muslimin dengan sangat tergesa-gesa berlari ke bagian atas, ke ruang kemudi nakhoda. Langkahnya begitu cepat berburu derasnya air laut yang sudah membasahi langkahnya.
”Bangun, bangun. Tenggelam kapal,” kata pria 49 tahun itu kepada Supriadi, nakhoda yang tengah terbaring lantaran sakit pada bagian pinggangnya.
Supriadi bangun dalam keterkejutan. Lebih panik lagi melihat air sudah mengalir deras ke kapal yang berangkat dari Pelabuhan Paotere, Kota Makassar, pada Rabu (25/5) lalu tersebut.
”Mama…Mamaaa…..” ucap Muslimin menirukan suara kepanikan Supriadi sebagaimana dilansir FAJAR.
Menurut Muslimin, saat panggilan kedua sang nakhoda, kapal dengan tujuan Pulau Pamantauang, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan (Sulsel), itu langsung turun tenggelam. ”Memang ikut juga mamanya. Itu yang langsung dia ingat,” katanya.
Puluhan orang mengapung di tengah derasnya gelombang air laut mencapai 3 meter lebih. Satu per satu pelampung dilemparkan kepada mereka yang masih bisa digapai Muslimin. Namun, tenaganya semakin terkuras. Dia mengalah. Mengambil tas untuk digunakan sebagai pelampung.
”Karena mau saya tolong semua tidak bisa juga. Ombak tinggi, arusnya juga deras,” ucapnya.
Arus yang begitu deras membawanya berada ke tengah laut lepas. Hampir 19 jam dia mengapung. Untung saja di tengah laut dia bisa menggapai tripleks. Kemudian, dadanya dililitkan tali untuk bisa bertahan di tengah kencangnya angin dan gelombang air laut.
Berkali-kali dia melambaikan tangan dari kejauhan ketika melihat kapal melintas. Namun, pertolongan belum juga datang. Padahal, kedua kaki sudah kram karena dihantam dinginnya air laut. Jari-jari kakinya sampai melengkung.
”Ada juga kapal yang sudah dekat sekali sama saya. Itu dia lihat juga saya karena disenter ke bawah, tetapi tidak bisa ditolong karena malam juga waktu itu,” katanya.
Hingga pagi harinya (26/5), sebuah tugboat melintas. Lambaian tangan dengan sigap dilakukan. Berharap pertolongan bisa mendekat.
”Ternyata saat saya mendekat ke kapal, di belakang saya juga ada penumpang yang ikut pakai tripleks, di situ banyak perempuan. Jadi, saya naik ke kapal, kemudian saya lompat lagi untuk bantu naik,” jelasnya.
Total ada 10 penumpang yang selamat karena berpengangan pada tripleks. Nur Hasanah salah satunya. ”SK dan ijazah saya hanyut, tapi alhamdulillah saya dan suami masih bisa selamat. Saya tidak bisa bayangkan lagi berjuang di laut, apalagi saya tidak bisa berenang juga,” katanya.
SK atau surat keputusan yang dimaksud perempuan 38 tahun itu adalah pengangkatan dirinya sebagai pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) dari Pemprov Sulsel di Kota Makassar. Guru SMAN 14 Pangkep itu memang ke ibu kota Sulsel ditemani suami untuk mengambil SK tersebut.
Sewaktu kejadian, Nur Hasanah berada di bagian belakang kapal. Yang pertama tenggelam adalah bagian depan. Kemudian perlahan-lahan ke belakang. Nur, suami, dan lima penumpang lain berpegangan pada satu tripleks. Mereka terombang-ambing di tengah laut hingga pukul 8 pagi. Sampai sebuah tugboat melintas dan menyelamatkan mereka.
Selain Nur, ada dua rekannya lagi yang lolos PPPK dan berada di kapal itu, namun satu orang belum ditemukan. Seperti Nur, Irwan juga ke Makassar tak sendirian mengambil SK PPPK. Pria 36 tahun itu ditemani sang ibu, Fatimah, dan adiknya, Nasrahyanti.
Ardan, sepupu Irwan, menyebut keluarga besarnya memang sangat bangga karena Irwan akhirnya bisa lolos PPPK setelah 12 tahun menjadi guru honorer di SMAN 14 Pangkep. Sekolah tersebut terletak di Pulau Pamantauang.
Karena itu pula, ibunda dan adik Irwan ikut menemani ke Makassar. Tapi, di tengah kegembiraan itu, musibah menghantam. ”Alhamdulillah (Irwan) selamat. Ibu dan adiknya juga selamat,” ucap Ardan. (*/fit/c19/ttg/JPG)