Setelah ditutup ternyata sisa puing-puing bangunan yang dirobohkan masih menyisakan sejuta cerita. Deretan wisma dengan nama Cafe Mawar, Cafe Melati, Cafe Anggrek, Cafe Payung menjadi simbol kehidupan malam yang semarak namun menyisakan luka sosial mendalam.
Namun semua berubah sejak 2015 hingga 2016. Pemerintah Kabupaten Jayapura di bawah kepemimpinan Bupati Mathius Awoitauw mengambil langkah tegas membongkar dan menutup permanen Tanjung Elmo. Satu per satu wisma dihancurkan dengan alat berat, hingga tak bersisa.
Penutupan ini disambut gembira masyarakat adat dan tokoh agama, yang menilai lokalisasi hanya membawa derita—penyebaran HIV/AIDS, keretakan rumah tangga, hingga hilangnya masa depan generasi muda. Meski begitu, tak semua menyambut gembira. Para pekerja seks komersial (PSK) melayangkan protes.
Mereka kehilangan mata pencaharian, sementara janji solusi dari pemerintah tak sepenuhnya hadir. Ada yang pulang kampung ke Jawa, sebagian ke Merauke, Nabire, Timika, bahkan ada yang tetap bertahan dengan jalan hidup lain dengan cara menikahi warga di Jayapura. Hampir 10 tahun berselang, Kamis (28/8), kemarin, Cenderawasih Pos mencoba menelisik masuk ke dalam.
Lokasinya juga mudah dijangkau dari Jalan Raya Abepura–Sentani. Dulunya ada gapura dari besi bertuliskan kawasan wajib kondom. Lalu ada dua tugu berukuran pendek sebagai simbol gapura. Memasuki area bekas lokalisasi, suasana berubah drastis. Jalan kecil dipenuhi rumput ilalang setinggi dada, pepohonan rimbun, dan kesunyian yang pekat.
Di tengah perjalanan, tampak beberapa warga yang masih bertahan. Mereka bukan lagi pekerja malam, melainkan petani ikan dengan usaha karamba di tepi danau. “Sekarang tinggal sedikit orang disini. Yang lain sudah pergi sejak lama,” ujar Nano Baikman, seorang warga yang ditemui di lokasi.