Friday, August 29, 2025
20.9 C
Jayapura

Berbicara Seperti Dikontrol Hal Gaib, Kecewa Hingga Ikut Potong Telinga

Miki akhirnya menahan dirinya dan hanya bisa berdoa dari jauh hingga bebera hari kemudian ia berhasil mendapatkan tiket lalu pulang. Hanya kesabarannya kembali diuji karena ketika itu ia hanya mendapatkan tiket untuk ke Sentani, Jayapura sedangkan untuk ke Merauke masih harus menunggu sehari untuk penerbangan menuju Meruke.

“Jadi ada saja cobaan saat itu, saya tidak ditempat, sulit dapat tiket, giliran dapat malah tidak bisa langsung lalu saya mendengar jika jenazah kakak saya tidak bisa dilayani untuk ibadah pelepasan karena bukan jemaat disitu. Saya sedih sekali ketika itu,” ungkapnya.

Setibanya di Merauke, Miki langsung berziarah. Disini ia memutuskan untuk memotong sebagian telinganya menggunakan pisau cutter sebagai bentuk duka dan kekecewaan yang mendalam.

“Ini (menunjuk telinga) saya potong sanking kecewanya. Saya sempat frustasi juga karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk kakak saya,” ucapnya lirih.

Baca Juga :  Cita-cita Jadi TNI Pupus Setelah Merasakan Perjalanan dengan Kereta Api

Ia kini sedang memikirkan untuk bagaimana memindahkan jenazah sang kakak kekampung. Kembali ke Warekma, yang dilakukan Miki untuk ujian skripsinya adalah membedah tradisi budaya pembakaran jenasah. Proposal skripsinya sendiri sudah beberapa kali ditolak dan baru kali ini disetujui.

Film Warekma disajikan lantaran ada keresahan pribadi dalam regenerasi budaya ini. Miki khawatir generasi sekarang tidak semua paham akan tahapan dan tata cara untuk pembakaran jenasah. Itu juga diungkapkan oleh Hendrik wuka, salah satu sosok yang dituakan dari keluarga Wuka di Jayapura. Hendrik mengaku bangga sebab selama ini banyak informasi yang tidak lengkap.

Hanya potong jari dan telinga saja, namun kali ini semua proses dijelaskan dari awal sehingga bisa menjadi pembelajaran bagi generasi sekarang.

Baca Juga :  Konflik 7 Bulan, Dua Kubu Sepakat Belah Kayu Doli

“Yang masyarakat tahu hanya sebatas itu (potong jari dan telinga saja) tapi sekarang sudah ada cerita yang lengkap dan kita bisa belajar,” jelas Hendrik

Dirinya tak menampik jika Warekma bagi masyarakat pegunungan sangat sakral dan sesungguhnya tidak bisa dipamerkan atau publikasikan. Namun karena untuk kepentingan pendidikan dan edukasi sehingga bisa dilakukan.

Terkait proses pembakaran jenazah, Miki menjelaskan bahwa tumpukan kayu harus sebanyak empat baris dan empat susun. Lalu di bagian tengah disiapkan untuk pancingan api. Kayu yang digunakan juga bukan kayu sembarang melainkan kayu khusus yang sudah digunakan secara turun temurun. Ini juga untuk memastikan kualitas awetnya api saat pembakaran. (bersambung)

Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

Miki akhirnya menahan dirinya dan hanya bisa berdoa dari jauh hingga bebera hari kemudian ia berhasil mendapatkan tiket lalu pulang. Hanya kesabarannya kembali diuji karena ketika itu ia hanya mendapatkan tiket untuk ke Sentani, Jayapura sedangkan untuk ke Merauke masih harus menunggu sehari untuk penerbangan menuju Meruke.

“Jadi ada saja cobaan saat itu, saya tidak ditempat, sulit dapat tiket, giliran dapat malah tidak bisa langsung lalu saya mendengar jika jenazah kakak saya tidak bisa dilayani untuk ibadah pelepasan karena bukan jemaat disitu. Saya sedih sekali ketika itu,” ungkapnya.

Setibanya di Merauke, Miki langsung berziarah. Disini ia memutuskan untuk memotong sebagian telinganya menggunakan pisau cutter sebagai bentuk duka dan kekecewaan yang mendalam.

“Ini (menunjuk telinga) saya potong sanking kecewanya. Saya sempat frustasi juga karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk kakak saya,” ucapnya lirih.

Baca Juga :  Mengenal Sosok Perempuan Port Numbay Masuk Kandidat Penerima Kalpataru

Ia kini sedang memikirkan untuk bagaimana memindahkan jenazah sang kakak kekampung. Kembali ke Warekma, yang dilakukan Miki untuk ujian skripsinya adalah membedah tradisi budaya pembakaran jenasah. Proposal skripsinya sendiri sudah beberapa kali ditolak dan baru kali ini disetujui.

Film Warekma disajikan lantaran ada keresahan pribadi dalam regenerasi budaya ini. Miki khawatir generasi sekarang tidak semua paham akan tahapan dan tata cara untuk pembakaran jenasah. Itu juga diungkapkan oleh Hendrik wuka, salah satu sosok yang dituakan dari keluarga Wuka di Jayapura. Hendrik mengaku bangga sebab selama ini banyak informasi yang tidak lengkap.

Hanya potong jari dan telinga saja, namun kali ini semua proses dijelaskan dari awal sehingga bisa menjadi pembelajaran bagi generasi sekarang.

Baca Juga :  Konflik 7 Bulan, Dua Kubu Sepakat Belah Kayu Doli

“Yang masyarakat tahu hanya sebatas itu (potong jari dan telinga saja) tapi sekarang sudah ada cerita yang lengkap dan kita bisa belajar,” jelas Hendrik

Dirinya tak menampik jika Warekma bagi masyarakat pegunungan sangat sakral dan sesungguhnya tidak bisa dipamerkan atau publikasikan. Namun karena untuk kepentingan pendidikan dan edukasi sehingga bisa dilakukan.

Terkait proses pembakaran jenazah, Miki menjelaskan bahwa tumpukan kayu harus sebanyak empat baris dan empat susun. Lalu di bagian tengah disiapkan untuk pancingan api. Kayu yang digunakan juga bukan kayu sembarang melainkan kayu khusus yang sudah digunakan secara turun temurun. Ini juga untuk memastikan kualitas awetnya api saat pembakaran. (bersambung)

Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

Berita Terbaru

Artikel Lainnya