Rekaman ala kadarnya ini terkadang membuat suara atau gambar bocor sana sini namun pesan yang ingin disampaikan tetap bisa dipahami. Pada pembukaan film Miki memparodikan layaknya sedang berduka ala masyarakat daerah pegunungan. Ia melumuri seluruh tubuhnya dengan lumpur dari ujung kaki hingga wajah. Ia juga menggunakan koteka sebagai bentuk memaknai jati diri yang sedang berduka. Proses memulai penayangan film Warekma ini dibawakan oleh adik kandung Miki yang baru tiba dari luar Jayapura.
Sebelum pemutaran film ia lebih dulu mengingatkan bahwa ada adegan yang sedikit horror karena berkaitan dengan kematian. Jadi anak kecil perlu didampingi dan dijelaskan lebih dulu soal potongan video pemakaman. Mikipun memulai dengan suara isak tangis. Tangisannya membelah keheningan rasa penasaran penonton yang lebih dulu disajikan trailer dokumenter Warekma. Tangisan ini dibarengi dengan komat kamit bahasa daerah.
Kepada Cenderawasih Pos usai kegiatan ia mengaku tidak sepenuhnya sadar apa saja yang diomongkan. Ia seperti dikendalikan sesuatu yang tak kasat mata.
“Saat itu saya juga tidak tahu apa yang saya sampaikan, seperti ada yang menuntun saya untuk berbicara seperti itu,” aku Miki. Ketika itu ia sempat menangis.
“Saya menangisi kepergian kakak kandung saya yang meninggal Oktober 2024 lalu. Ada kesedihan yang mendalam saat kematiannya hingga jelang penguburannya,” ceritanya.
Dikatakan kesedihan itu menjadi akumulasi karena pertama saat meninggal, Miki sedang mengikuti kegiatan di luar Papua sehingga ia hanya memonitor lewat telepon. Sempat terdengar cerita tak menyenangkan dimana Miki mengulas bahwa sang kakak berdomisili di Merauke dan ketika itu sakit dan akhirnya meninggal. Ia ingin sekali pulang untuk mengurus jenazah namun ketika itu uang yang dimiliki tak cukup, kurang Rp 6 juta untuk biasa tiket pesawat.