Sunday, April 28, 2024
24.7 C
Jayapura

Efek Jera Miskinkan Bandar Narkoba

Kerja Berat Memberantas Narkotika di Kalimantan Timur

Peredaran narkoba di Kalimantan Timur (Kaltim) seperti sulit diberantas. Selalu ada kasus baru, setiap aparat melakukan pengungkapan. Perlu penindakan yang tegas agar ada efek jera.

Peliput: M RIDHUAN & NOFFIYATUL CHALIMAH, Samarinda

KEJAHATAN penyalahgunaan narkoba tidak akan bisa ditekan tanpa ada campur tangan masyarakat. Meski negara telah membentuk peraturan dengan tingkat hukuman yang berat. Namun, dengan terbatasnya aparat penegak hukum, narkoba tetap akan jadi masalah bangsa Indonesia.

“Seperti kejahatan korupsi, saat ini yang paling bisa menentukan adalah people power (kekuatan masyarakat),” ungkap pengamat hukum dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Nur Arifudin, Sabtu (25/6).

Wakil Dekan Bidang Akademik, Kemahasiswaan, dan Alumni Fakultas Hukum Unmul tersebut menjelaskan, kondisi saat ini, masyarakat masih kurang peduli dengan aktivitas penyalahgunaan narkoba di lingkungannya. Mengetahui tapi enggan melapor. Melapor pun hanya dipicu karena faktor personal. “Ini kenyataan yang saya temukan langsung di lapangan,” ucapnya.

Di sisi lain, masih maraknya kejahatan narkoba juga belum maksimalnya edukasi ke masyarakat. Di tingkat bawah, seperti sekolah misalnya. Masih banyak anak-anak yang tidak tahu soal dampak narkoba. Pun tahu tetapi tidak sampai takut terlibat. Contoh kasus yang pernah ditelitinya adalah ketika wawancara dengan anak berhadapan dengan hukum (ABH) kasus peredaran narkoba. Di mana seorang anak SD dimanfaatkan sebagai kurir. “Anak itu berkata ke saya tahu itu narkoba dilarang. Tetapi, tidak tahu jika efeknya sampai seberat itu (dipenjara),” tuturnya.

Si murid SD tersebut beralasan, guru tidak pernah memberikan edukasi terkait dampak narkoba. Dan orangtua murid menganggap tidak perlu mengajarkan terkait narkoba, karena dikira sudah ada di sekolah.

Sementara, guru menganggap tidak memiliki waktu untuk mengajarkan soal narkoba karena banyaknya mata pelajaran yang dibebankan. Dan si murid SD nekat menjadi kurir karena lingkungan permainannya. Dia lebih takut dijauhi teman-teman daripada risiko dihukum.

“Itu sebabnya, kurikulum khusus terkait edukasi antinarkoba sangat penting diimplementasikan di sekolah sejak dini. Karena ancaman generasi muda itu salah satunya narkoba,” katanya.

Masih tingginya kejahatan narkoba juga akibat faktor tidak tuntasnya pengungkapan yang dilakukan lembaga penegak hukum. Selama ini, yang paling banyak ditangkap hanya sebatas pemakai atau kurir. Di tingkat kurir, aparat penegak hukum sangat jarang melanjutkan penyelidikan sampai ke bandar atau produsen. Padahal, pada level bandar dan produsen itulah kunci ditekannya peredaran narkoba di masyarakat.

“Saya kerap menugasi mahasiswa untuk meneliti soal pengungkapan narkoba. Di mana jarang sekali kasusnya diangkat sampai ke bandar. Jadi begitu kurir ditangkap, ya prosesnya sampai di situ saja. Itu yang harus dituntaskan,” jelasnya.

Diketahui, dalam sejumlah pengungkapan kasus narkoba khususnya sabu-sabu diketahui barang tersebut mayoritas dari Malaysia. Untuk itu, perlu upaya pemerintah dan penegak hukum untuk bisa bekerja sama dengan otoritas Malaysia. Dan jika Pemerintah Indonesia tidak melihat ada upaya dari Malaysia, maka perlu dilakukan langkah-langkah diplomasi khusus agar penyelundupan narkoba bisa diputus. “Peran pemerintah khususnya aparat penegak hukum untuk bisa memutus rantai sampai level produsen asal narkoba,” imbuhnya.

Di sisi lain, masih muncul indikasi terdapat permainan yang dilakukan oknum penegak hukum. Artinya, selama masih ada oknum penegak hukum yang berkompromi dengan pelaku narkoba, maka jangan harap pemberantasan narkoba di Indonesia bisa ditekan. Karena itu, komitmen dan pengawasan terhadap penegak hukum juga perlu dilakukan.

“Celah masih adanya permainan bersifat transaksional dengan oknum penegak hukum ini yang menjadi salah satu pertimbangan pelaku narkoba berani melakukan kejahatan,” terangnya.

Lanjutnya, kejahatan narkoba juga berkaitan dengan ekonomi. Dalam Economics Analysis of Law oleh Richard A Posner menyebut, kepatutan hukum juga dipengaruhi oleh perbandingan antara risiko hukum dengan risiko ekonomi yang ditanggung. Di mana selama risiko ekonomi akibat pelanggaran lebih menguntungkan daripada risiko hukum yang diterima, maka pelaku kejahatan narkoba tetap akan berani melakukan pelanggaran.

“Itu sebabnya dalam kejahatan narkoba juga harus dibarengi dengan masuknya Pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Tujuannya untuk memiskinkan pelaku atau bandar,” katanya.

Sayangnya, dalam banyak kasus, aparat penegak hukum jarang dan terkesan lambat dalam proses pemblokiran kekayaan pelaku narkoba. Sehingga, kesempatan pelaku untuk kembali bermain bahkan saat di penjara tetap ada. Itu terbukti dengan sejumlah pengungkapan di mana seorang narapidana narkoba masih bisa mengendalikan pasar narkoba di balik jeruji besi. Bahkan membayar oknum petugas untuk memuluskan kejahatannya. “Kasus gembong narkoba Freddy Budiman menjadi contoh nyata,” ujarnya.

Nur Arifudin juga menyoroti terkait kampanye melegalkan ganja. Di mana ada kelompok tertentu menginginkan Pemerintah Indonesia mencontoh negara lain yang sudah melegalkan peredaran ganja secara terbatas untuk penggunaan tertentu. Tetapi baginya, sebuah hukum diciptakan untuk masyarakat yang berkeadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Dan secara teori, hukum berkeadilan paling diutamakan.

“Hukum positif Indonesia itu memang peninggalan Belanda. Tetapi, tidak semua harus diadopsi. Dan nilai hukum antara negara satu dan lainnya berbeda. Kita landasannya Pancasila. Jangan disamakan dan dipaksakan hukum negara lain ke negara kita,” jelasnya.

Indonesia memiliki kompleksitas dan kearifan lokal sendiri. Jadi, setiap tuntutan perubahan terhadap hukum harus mengacu pada aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis. Melihat pada naskah akademik yang ada. Keberadaan ganja dan obat-obatan terlarang lainnya pada level dunia medis memang diperlukan. Namun, memiliki efek lain yang dianggap mampu merusak jika tidak diatur izin peredarannya.

Baca Juga :  Butuhkan KIS dan KIP Untuk Jaminan Pendidikan dan Kesehatan 

“Karena dianggap memiliki efek adiktif yang tinggi, maka negara melarang. Agar masyarakat khususnya generasi penerus bangsa tidak kecanduan. Dan ini ‘kan potensi penyalahgunaannya tinggi,” bebernya.

STIGMA NEGATIF

Penyalahgunaan narkoba hingga kini masih didominasi laki-laki. Meski begitu, efeknya berimbas kepada perempuan dan anak. Bahkan kecenderungan dampak negatifnya disebut lebih tinggi pada perempuan dan anak.

Pengamat sekaligus aktivis perempuan dan anak Helga Worojitan menjelaskan, hingga kini persentase perempuan terlibat peredaran narkoba di angka 10 persen dibandingkan laki-laki. Namun, karena streotip masyarakat Indonesia terhadap perbuatan buruk yang dilakukan perempuan lebih besar, maka stigma yang terbentuk pada perempuan lebih berat.

“Ketika laki-laki memakai narkoba, maka akan dianggap hanya kesalahan sementara akibat beratnya beban kehidupan yang dipikul. Begitu dia bersih atau keluar dari penjara, maka pandangan negatif akan hilang,” ujar Helga, Jumat (24/6).

Berbeda dengan perempuan, meski si pelaku telah insaf atau menyelesaikan hukumannya, maka stigma akan terus melekat seumur hidupnya. Kecuali, perempuan tersebut muncul ke publik sebagai seorang motivator hingga penceramah, atau pun public figure  yang mengampanyekan dirinya sebagai penyintas. Dan mengajak masyarakat agar tidak menyalahgunakan narkoba. “Begitu beratnya perjuangan perempuan untuk menyingkirkan stigma negatif yang melekat pada dirinya,” ujarnya.

Selain itu, sebagai seorang yang terdampak tidak langsung narkoba, perempuan juga memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk dicap buruk oleh masyarakat. Misalnya, seorang istri yang suaminya ditangkap karena memakai atau mengedarkan narkoba. Atau seorang ibu yang anaknya terkena kasus narkoba. Maka stereotip itu ikut melekat pada si perempuan. “Itulah kondisi yang masih banyak terjadi di lingkungan masyarakat kita,” ungkap Helga.

Lalu jika narkoba pada anak-anak. Helga menyebut, kasus narkoba pada anak memang minim. Satu sisi, karena pada banyak kasus peredaran narkoba dilakukan karena alasan ekonomi. Dan sisi lainnya, dominasi konsumsi narkoba karena latar belakang persoalan kehidupan. Dua hal tersebut yang membuat anak-anak lebih kecil kemungkinannya bersinggungan langsung dengan narkoba.

“Saya lupa angka pastinya. Namun dari sisi usia, terbanyak yang terlibat penyalahgunaan narkoba itu di umur 30 tahun ke atas. Disusul 24-29 tahun. Terakhir 24 tahun ke bawah,” jelasnya.

Itu karena semakin bertambahnya usia, maka persoalan kehidupan semakin kompleks. Helga menyebut, narkoba menjadi salah satu cara seseorang untuk mengatasinya. Baik untuk alasan ekonomi maupun psikologi. Namun, pengaruh lingkungan juga bisa menjadi faktor seseorang terjerat narkoba.

“Pada anak faktor kehidupan sosialnya belum terlalu berat. Pun jika ada kasus, lebih banyak karena faktor lingkungan atau keluarga,” ungkapnya.

Dampak narkoba sudah jelas. Di satu sisi akan berakibat pada kesehatan. Dan pada anak lebih berat karena akan mengganggu syaraf dan kemampuan otak yang sedang berkembang. Itu sebabnya, konsumsi narkoba dan zat adiktif lainnya pada anak bisa mengakibatkan gangguan mental dan fisik. Itu sebabnya, kampanye antinarkoba pada generasi muda sangat penting.

“Dampak tidak langsung, misal orangtua atau ada anggota keluarganya diketahui terlibat narkoba, maka seperti stigma negatif pada perempuan, akan melekat pada anak,” tuturnya.

Helga menyoroti stereotip masyarakat yang cenderung memaklumi praktik penyalahgunaan narkoba di kalangan public figure. Seperti pejabat atau artis. Di mana, meski disoroti tajam oleh media, namun pandangan masyarakat pada kalangan tersebut tidak sebanding dengan masyarakat biasa. Di sisi lain, public figure harus menjadi contoh, tetapi di sisi lain, perbuatannya juga bisa menjadi contoh yang berdampak pada masyarakat. “Dan sayangnya itu juga tecermin dari bentuk hukuman yang diterima kepada public figure tersebut,” jelasnya.

Sayangnya, hingga kini perlindungan perempuan dan anak akibat dampak narkoba masih minim. Terpusat hanya di Jakarta dan sekitarnya. Sementara di daerah, sangat jarang bahkan belum sampai ke dirinya yang aktif dan masif melakukan gerakan perlindungan terhadap perempuan dan anak terdampak narkoba. “Perlindungan perempuan dan anak akibat kekerasan dalam rumah tangga sudah banyak. Tetapi, minim terkait narkoba. Padahal termasuk penting,” ucapnya.

Untuk itu, saat ini yang paling berperan dalam proses perlindungan perempuan dan anak terdampak narkoba adalah lingkungan. Khususnya di keluarga sendiri. Jika keluarga mampu memberikan perlindungan sekaligus peran pendamping, maka membuat korban penyalahgunaan narkoba tetap mampu bangkit dan keluar dari efek negatifnya.

Helga mencontohkan kasus personel grup band Slank yang pernah terlibat narkoba. Namun, karena kasih sayang dan dukungan orangtua khususnya ibu mereka, maka mereka mampu keluar dan lebih kreatif.

“Peran keluarga sangat penting. Karena keluarga ini yang menjadi benteng di tengah stigma negatif dan mampu memberikan rasa diterima di tengah persoalan yang ada,” tukasnya.

Sementara itu, pada momen Hari Antinarkoba Sedunia yang jatuh hari ini (26/6), Wakil Ketua DPD RI Mahyudin juga ikut menyoroti masih tingginya kasus peredaran narkoba khususnya di Kaltim. Baginya, peredaran narkoba di Benua Etam lebih banyak berasal dari negara tetangga. Melalui pintu-pintu ilegal. Sehingga, upaya pertama yang harus dilakukan adalah pengawasan ketat pada jalur-jalur masuknya narkoba khususnya di perbatasan.

Baca Juga :  Setelah Bebas Diharapkan Mantan Napi Mampu  Mandiri

“Kita juga tidak serta-merta menuduh negara tetangga membiarkan (pengiriman narkoba ke Indonesia). Karena memang ada celah yang dimanfaatkan pelaku narkoba,” ucap Mahyudin, Rabu (22/6) malam.

Menurutnya, yang paling bisa mengurangi kejahatan narkoba adalah kesadaran masyarakat khususnya generasi muda. Karena bagaimana pun narkoba beredar, tetapi ketika masyarakat peduli, maka mampu menyempitkan gerak pelaku pengedar narkoba. “DPD RI sendiri selalu mendukung upaya pemerintah khususnya aparat penegak hukum untuk memberantas kejahatan narkoba,” ucap mantan bupati Kutai Timur itu.

Secara geografis, Kaltim jadi wilayah empuk peredaran narkotika. Ribuan orang pun dikurung di balik jeruji besi karena penyalahgunaan zat adiktif itu. Tahapan untuk bebas narkotika memang masih berat. Tapi upaya untuk ke titik itu, terus diupayakan.

Kepala Badan Narkotika Nasional (BN) Kaltim Brigjen Wisnu Andayana mengatakan, secara geografis dengan luas daratan Kaltim sekitar 127.346,92 kilometer persegi dan luas perairan 10.217 kilometer persegi menyebabkan provinsi ini adalah salah satu wilayah yang menjadi sasaran peredaran narkotika.

Dengan data geografis tersebut, Kaltim memiliki banyak titik-titik masuknya peredaran narkoba. Tentu saja, dilihat dari luas daratan dan perairan, maka modus yang digunakan sindikat bermacam-macam.

“Para sindikat jaringan peredaran narkotika menggunakan jalur darat dari wilayah utara dan selatan dengan menggunakan kendaraan roda empat dan dua. Serta titik yang paling mudah masuknya peredaran narkoba adalah melalui perairan yaitu baik dari laut maupun sungai dengan menggunakan kapal motor, kapal penumpang, kapal barang, dan kapal ikan,” papar Wisnu kepada Kaltim Post.

Maka jangan heran, dalam waktu setengah tahun saja, yaitu selama Januari sampai Juni, BNN Kaltim beserta jajaran sudah mengungkap 13 kasus narkotika, 26 berkas perkara, dan 26 tersangka. Barang bukti yang ditemukan mayoritas sabu-sabu 1.057,42 gram. Lalu, ganja 6.529 gram dan tembakau sintetis 11,96 gram.

Penanganan yang dilakukan BNN Kaltim ada beberapa kategori. Seperti upaya hard approach adalah dengan melakukan tindakan menggunakan hukum sesuai Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.

Lalu, upaya soft approach adalah dengan melakukan upaya rehabilitasi dan pencegahan terhadap penyalahguna narkoba yang ditengarai menjadi korban. Sedangkan upaya smart approach adalah bekerja sama dengan seluruh elemen masyarakat baik pemerintah maupun masyarakat.

Maka, penindakan tiap kasus juga disesuaikan dengan kondisi. Tak selalu dituntut dikurung jeruji besi. “Pada saat penindakan status pelaku yang diamankan di TKP (tempat kejadian perkara), belum tentu selalu menjadi tersangka. Bila pelaku yang ditangkap hanya sebagai pengguna atau korban penyalahguna narkoba, maka yang bersangkutan bisa direhabilitasi baik rawat inap maupun rawat jalan di balai rehabilitasi,” jelas Wisnu.

Namun, bila pelaku yang ditangkap adalah seorang bandar, pengedar, perantara, dan kurir, maka yang bersangkutan akan dijadikan tersangka dan menjalani proses hukum.

Termasuk bila pelaku yang ditangkap adalah seorang bandar, pengedar, perantara, dan kurir juga sebagai pengguna serta penyalahguna, maka yang bersangkutan saat menjalani hukuman kurungan bisa direhabilitasi di dalam lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan (rutan).

REHABILITASI DI BALIK JERUJI

Saking banyaknya kasus narkoba, Kaltim sudah punya Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Narkotika Klas IIA Samarinda. Kepala Divisi Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Kaltim Jumadi mengatakan, mayoritas penghuni lapas dan rutan di Kaltim adalah warga binaan pemasyarakatan (WBP) karena kasus narkotika. “Misalnya 20 orang dibawa ke rutan, 15-nya mungkin ya kasus narkoba,” beber Jumadi.

Sedangkan, saat ini kondisi lapas dan rutan sudah overload, bahkan ada yang mencapai 300 persen. Untuk itu, WBP di rutan maupun lapas tidak hanya menghabiskan masa hukuman, tetapi juga ada yang menjalani program rehabilitasi.

Seperti yang tengah berjalan di beberapa instansi. Salah satunya, tentu saja Lapas Narkotika Klas IIA Samarinda. Kaltim Post pun menyambangi lapas itu. Kepala Lapas Narkotika Klas IIA Samarinda Hidayat menjelaskan, lapas sudah overload. Total kapasitas hanya 450 orang. Namun, kondisinya sekarang diisi 1.279 WBP. Dengan 13 orang di antaranya, menerima hukuman seumur hidup. Semua WBP di lapas itu merupakan kasus tangkapan di Kaltim.

“Kami sekarang juga punya program rehabilitasi sosial plus. Tetapi, program pembinaan juga sudah kami lakukan untuk WBP lain,” beber Hidayat.

Tahun ini, ada 300 WBP menjadi peserta program rehabilitasi sosial plus. Nah, plusnya adalah pesantren khusus yang bekerja sama dengan pondok pesantren dan Kementerian Agama untuk peningkatan spiritual. Itu dilakukan sembari pelaksanaan program rehabilitasi dari Yayasan Sekata dan BNN.

“Kami merasa, sisi rohani yang paling pas untuk membuat mereka merasa terisi. Dengan begitu, mereka tidak menjadi pengguna lagi. Kalau yang non-Islam, juga ada pembinaan rohaninya,” ucap dia.

Peserta rehabilitasi sosial plus itu pun ditempatkan di blok khusus. Mereka yang dipilih menjadi peserta berdasarkan assessment dari BNN dan Yayasan Sekata. Jadi, pada rehabilitasi sosial, mereka akan diberikan layanan konseling yang intens. Dengan begitu, mereka bisa benar- benar lepas dari zat adiktif. Sebab, salah satu tantangan besar untuk lepas dari narkotika adalah mendapatkan niat yang kuat. “Golnya ya, masuk jadi narapidana, bebas jadi santri,” harap dia. (rom/k15/JPG)

Kerja Berat Memberantas Narkotika di Kalimantan Timur

Peredaran narkoba di Kalimantan Timur (Kaltim) seperti sulit diberantas. Selalu ada kasus baru, setiap aparat melakukan pengungkapan. Perlu penindakan yang tegas agar ada efek jera.

Peliput: M RIDHUAN & NOFFIYATUL CHALIMAH, Samarinda

KEJAHATAN penyalahgunaan narkoba tidak akan bisa ditekan tanpa ada campur tangan masyarakat. Meski negara telah membentuk peraturan dengan tingkat hukuman yang berat. Namun, dengan terbatasnya aparat penegak hukum, narkoba tetap akan jadi masalah bangsa Indonesia.

“Seperti kejahatan korupsi, saat ini yang paling bisa menentukan adalah people power (kekuatan masyarakat),” ungkap pengamat hukum dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Nur Arifudin, Sabtu (25/6).

Wakil Dekan Bidang Akademik, Kemahasiswaan, dan Alumni Fakultas Hukum Unmul tersebut menjelaskan, kondisi saat ini, masyarakat masih kurang peduli dengan aktivitas penyalahgunaan narkoba di lingkungannya. Mengetahui tapi enggan melapor. Melapor pun hanya dipicu karena faktor personal. “Ini kenyataan yang saya temukan langsung di lapangan,” ucapnya.

Di sisi lain, masih maraknya kejahatan narkoba juga belum maksimalnya edukasi ke masyarakat. Di tingkat bawah, seperti sekolah misalnya. Masih banyak anak-anak yang tidak tahu soal dampak narkoba. Pun tahu tetapi tidak sampai takut terlibat. Contoh kasus yang pernah ditelitinya adalah ketika wawancara dengan anak berhadapan dengan hukum (ABH) kasus peredaran narkoba. Di mana seorang anak SD dimanfaatkan sebagai kurir. “Anak itu berkata ke saya tahu itu narkoba dilarang. Tetapi, tidak tahu jika efeknya sampai seberat itu (dipenjara),” tuturnya.

Si murid SD tersebut beralasan, guru tidak pernah memberikan edukasi terkait dampak narkoba. Dan orangtua murid menganggap tidak perlu mengajarkan terkait narkoba, karena dikira sudah ada di sekolah.

Sementara, guru menganggap tidak memiliki waktu untuk mengajarkan soal narkoba karena banyaknya mata pelajaran yang dibebankan. Dan si murid SD nekat menjadi kurir karena lingkungan permainannya. Dia lebih takut dijauhi teman-teman daripada risiko dihukum.

“Itu sebabnya, kurikulum khusus terkait edukasi antinarkoba sangat penting diimplementasikan di sekolah sejak dini. Karena ancaman generasi muda itu salah satunya narkoba,” katanya.

Masih tingginya kejahatan narkoba juga akibat faktor tidak tuntasnya pengungkapan yang dilakukan lembaga penegak hukum. Selama ini, yang paling banyak ditangkap hanya sebatas pemakai atau kurir. Di tingkat kurir, aparat penegak hukum sangat jarang melanjutkan penyelidikan sampai ke bandar atau produsen. Padahal, pada level bandar dan produsen itulah kunci ditekannya peredaran narkoba di masyarakat.

“Saya kerap menugasi mahasiswa untuk meneliti soal pengungkapan narkoba. Di mana jarang sekali kasusnya diangkat sampai ke bandar. Jadi begitu kurir ditangkap, ya prosesnya sampai di situ saja. Itu yang harus dituntaskan,” jelasnya.

Diketahui, dalam sejumlah pengungkapan kasus narkoba khususnya sabu-sabu diketahui barang tersebut mayoritas dari Malaysia. Untuk itu, perlu upaya pemerintah dan penegak hukum untuk bisa bekerja sama dengan otoritas Malaysia. Dan jika Pemerintah Indonesia tidak melihat ada upaya dari Malaysia, maka perlu dilakukan langkah-langkah diplomasi khusus agar penyelundupan narkoba bisa diputus. “Peran pemerintah khususnya aparat penegak hukum untuk bisa memutus rantai sampai level produsen asal narkoba,” imbuhnya.

Di sisi lain, masih muncul indikasi terdapat permainan yang dilakukan oknum penegak hukum. Artinya, selama masih ada oknum penegak hukum yang berkompromi dengan pelaku narkoba, maka jangan harap pemberantasan narkoba di Indonesia bisa ditekan. Karena itu, komitmen dan pengawasan terhadap penegak hukum juga perlu dilakukan.

“Celah masih adanya permainan bersifat transaksional dengan oknum penegak hukum ini yang menjadi salah satu pertimbangan pelaku narkoba berani melakukan kejahatan,” terangnya.

Lanjutnya, kejahatan narkoba juga berkaitan dengan ekonomi. Dalam Economics Analysis of Law oleh Richard A Posner menyebut, kepatutan hukum juga dipengaruhi oleh perbandingan antara risiko hukum dengan risiko ekonomi yang ditanggung. Di mana selama risiko ekonomi akibat pelanggaran lebih menguntungkan daripada risiko hukum yang diterima, maka pelaku kejahatan narkoba tetap akan berani melakukan pelanggaran.

“Itu sebabnya dalam kejahatan narkoba juga harus dibarengi dengan masuknya Pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Tujuannya untuk memiskinkan pelaku atau bandar,” katanya.

Sayangnya, dalam banyak kasus, aparat penegak hukum jarang dan terkesan lambat dalam proses pemblokiran kekayaan pelaku narkoba. Sehingga, kesempatan pelaku untuk kembali bermain bahkan saat di penjara tetap ada. Itu terbukti dengan sejumlah pengungkapan di mana seorang narapidana narkoba masih bisa mengendalikan pasar narkoba di balik jeruji besi. Bahkan membayar oknum petugas untuk memuluskan kejahatannya. “Kasus gembong narkoba Freddy Budiman menjadi contoh nyata,” ujarnya.

Nur Arifudin juga menyoroti terkait kampanye melegalkan ganja. Di mana ada kelompok tertentu menginginkan Pemerintah Indonesia mencontoh negara lain yang sudah melegalkan peredaran ganja secara terbatas untuk penggunaan tertentu. Tetapi baginya, sebuah hukum diciptakan untuk masyarakat yang berkeadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Dan secara teori, hukum berkeadilan paling diutamakan.

“Hukum positif Indonesia itu memang peninggalan Belanda. Tetapi, tidak semua harus diadopsi. Dan nilai hukum antara negara satu dan lainnya berbeda. Kita landasannya Pancasila. Jangan disamakan dan dipaksakan hukum negara lain ke negara kita,” jelasnya.

Indonesia memiliki kompleksitas dan kearifan lokal sendiri. Jadi, setiap tuntutan perubahan terhadap hukum harus mengacu pada aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis. Melihat pada naskah akademik yang ada. Keberadaan ganja dan obat-obatan terlarang lainnya pada level dunia medis memang diperlukan. Namun, memiliki efek lain yang dianggap mampu merusak jika tidak diatur izin peredarannya.

Baca Juga :  Harus Ada Kesepahaman dan Bekerja Sama Untuk Wujudkan Impian

“Karena dianggap memiliki efek adiktif yang tinggi, maka negara melarang. Agar masyarakat khususnya generasi penerus bangsa tidak kecanduan. Dan ini ‘kan potensi penyalahgunaannya tinggi,” bebernya.

STIGMA NEGATIF

Penyalahgunaan narkoba hingga kini masih didominasi laki-laki. Meski begitu, efeknya berimbas kepada perempuan dan anak. Bahkan kecenderungan dampak negatifnya disebut lebih tinggi pada perempuan dan anak.

Pengamat sekaligus aktivis perempuan dan anak Helga Worojitan menjelaskan, hingga kini persentase perempuan terlibat peredaran narkoba di angka 10 persen dibandingkan laki-laki. Namun, karena streotip masyarakat Indonesia terhadap perbuatan buruk yang dilakukan perempuan lebih besar, maka stigma yang terbentuk pada perempuan lebih berat.

“Ketika laki-laki memakai narkoba, maka akan dianggap hanya kesalahan sementara akibat beratnya beban kehidupan yang dipikul. Begitu dia bersih atau keluar dari penjara, maka pandangan negatif akan hilang,” ujar Helga, Jumat (24/6).

Berbeda dengan perempuan, meski si pelaku telah insaf atau menyelesaikan hukumannya, maka stigma akan terus melekat seumur hidupnya. Kecuali, perempuan tersebut muncul ke publik sebagai seorang motivator hingga penceramah, atau pun public figure  yang mengampanyekan dirinya sebagai penyintas. Dan mengajak masyarakat agar tidak menyalahgunakan narkoba. “Begitu beratnya perjuangan perempuan untuk menyingkirkan stigma negatif yang melekat pada dirinya,” ujarnya.

Selain itu, sebagai seorang yang terdampak tidak langsung narkoba, perempuan juga memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk dicap buruk oleh masyarakat. Misalnya, seorang istri yang suaminya ditangkap karena memakai atau mengedarkan narkoba. Atau seorang ibu yang anaknya terkena kasus narkoba. Maka stereotip itu ikut melekat pada si perempuan. “Itulah kondisi yang masih banyak terjadi di lingkungan masyarakat kita,” ungkap Helga.

Lalu jika narkoba pada anak-anak. Helga menyebut, kasus narkoba pada anak memang minim. Satu sisi, karena pada banyak kasus peredaran narkoba dilakukan karena alasan ekonomi. Dan sisi lainnya, dominasi konsumsi narkoba karena latar belakang persoalan kehidupan. Dua hal tersebut yang membuat anak-anak lebih kecil kemungkinannya bersinggungan langsung dengan narkoba.

“Saya lupa angka pastinya. Namun dari sisi usia, terbanyak yang terlibat penyalahgunaan narkoba itu di umur 30 tahun ke atas. Disusul 24-29 tahun. Terakhir 24 tahun ke bawah,” jelasnya.

Itu karena semakin bertambahnya usia, maka persoalan kehidupan semakin kompleks. Helga menyebut, narkoba menjadi salah satu cara seseorang untuk mengatasinya. Baik untuk alasan ekonomi maupun psikologi. Namun, pengaruh lingkungan juga bisa menjadi faktor seseorang terjerat narkoba.

“Pada anak faktor kehidupan sosialnya belum terlalu berat. Pun jika ada kasus, lebih banyak karena faktor lingkungan atau keluarga,” ungkapnya.

Dampak narkoba sudah jelas. Di satu sisi akan berakibat pada kesehatan. Dan pada anak lebih berat karena akan mengganggu syaraf dan kemampuan otak yang sedang berkembang. Itu sebabnya, konsumsi narkoba dan zat adiktif lainnya pada anak bisa mengakibatkan gangguan mental dan fisik. Itu sebabnya, kampanye antinarkoba pada generasi muda sangat penting.

“Dampak tidak langsung, misal orangtua atau ada anggota keluarganya diketahui terlibat narkoba, maka seperti stigma negatif pada perempuan, akan melekat pada anak,” tuturnya.

Helga menyoroti stereotip masyarakat yang cenderung memaklumi praktik penyalahgunaan narkoba di kalangan public figure. Seperti pejabat atau artis. Di mana, meski disoroti tajam oleh media, namun pandangan masyarakat pada kalangan tersebut tidak sebanding dengan masyarakat biasa. Di sisi lain, public figure harus menjadi contoh, tetapi di sisi lain, perbuatannya juga bisa menjadi contoh yang berdampak pada masyarakat. “Dan sayangnya itu juga tecermin dari bentuk hukuman yang diterima kepada public figure tersebut,” jelasnya.

Sayangnya, hingga kini perlindungan perempuan dan anak akibat dampak narkoba masih minim. Terpusat hanya di Jakarta dan sekitarnya. Sementara di daerah, sangat jarang bahkan belum sampai ke dirinya yang aktif dan masif melakukan gerakan perlindungan terhadap perempuan dan anak terdampak narkoba. “Perlindungan perempuan dan anak akibat kekerasan dalam rumah tangga sudah banyak. Tetapi, minim terkait narkoba. Padahal termasuk penting,” ucapnya.

Untuk itu, saat ini yang paling berperan dalam proses perlindungan perempuan dan anak terdampak narkoba adalah lingkungan. Khususnya di keluarga sendiri. Jika keluarga mampu memberikan perlindungan sekaligus peran pendamping, maka membuat korban penyalahgunaan narkoba tetap mampu bangkit dan keluar dari efek negatifnya.

Helga mencontohkan kasus personel grup band Slank yang pernah terlibat narkoba. Namun, karena kasih sayang dan dukungan orangtua khususnya ibu mereka, maka mereka mampu keluar dan lebih kreatif.

“Peran keluarga sangat penting. Karena keluarga ini yang menjadi benteng di tengah stigma negatif dan mampu memberikan rasa diterima di tengah persoalan yang ada,” tukasnya.

Sementara itu, pada momen Hari Antinarkoba Sedunia yang jatuh hari ini (26/6), Wakil Ketua DPD RI Mahyudin juga ikut menyoroti masih tingginya kasus peredaran narkoba khususnya di Kaltim. Baginya, peredaran narkoba di Benua Etam lebih banyak berasal dari negara tetangga. Melalui pintu-pintu ilegal. Sehingga, upaya pertama yang harus dilakukan adalah pengawasan ketat pada jalur-jalur masuknya narkoba khususnya di perbatasan.

Baca Juga :  Setelah Bebas Diharapkan Mantan Napi Mampu  Mandiri

“Kita juga tidak serta-merta menuduh negara tetangga membiarkan (pengiriman narkoba ke Indonesia). Karena memang ada celah yang dimanfaatkan pelaku narkoba,” ucap Mahyudin, Rabu (22/6) malam.

Menurutnya, yang paling bisa mengurangi kejahatan narkoba adalah kesadaran masyarakat khususnya generasi muda. Karena bagaimana pun narkoba beredar, tetapi ketika masyarakat peduli, maka mampu menyempitkan gerak pelaku pengedar narkoba. “DPD RI sendiri selalu mendukung upaya pemerintah khususnya aparat penegak hukum untuk memberantas kejahatan narkoba,” ucap mantan bupati Kutai Timur itu.

Secara geografis, Kaltim jadi wilayah empuk peredaran narkotika. Ribuan orang pun dikurung di balik jeruji besi karena penyalahgunaan zat adiktif itu. Tahapan untuk bebas narkotika memang masih berat. Tapi upaya untuk ke titik itu, terus diupayakan.

Kepala Badan Narkotika Nasional (BN) Kaltim Brigjen Wisnu Andayana mengatakan, secara geografis dengan luas daratan Kaltim sekitar 127.346,92 kilometer persegi dan luas perairan 10.217 kilometer persegi menyebabkan provinsi ini adalah salah satu wilayah yang menjadi sasaran peredaran narkotika.

Dengan data geografis tersebut, Kaltim memiliki banyak titik-titik masuknya peredaran narkoba. Tentu saja, dilihat dari luas daratan dan perairan, maka modus yang digunakan sindikat bermacam-macam.

“Para sindikat jaringan peredaran narkotika menggunakan jalur darat dari wilayah utara dan selatan dengan menggunakan kendaraan roda empat dan dua. Serta titik yang paling mudah masuknya peredaran narkoba adalah melalui perairan yaitu baik dari laut maupun sungai dengan menggunakan kapal motor, kapal penumpang, kapal barang, dan kapal ikan,” papar Wisnu kepada Kaltim Post.

Maka jangan heran, dalam waktu setengah tahun saja, yaitu selama Januari sampai Juni, BNN Kaltim beserta jajaran sudah mengungkap 13 kasus narkotika, 26 berkas perkara, dan 26 tersangka. Barang bukti yang ditemukan mayoritas sabu-sabu 1.057,42 gram. Lalu, ganja 6.529 gram dan tembakau sintetis 11,96 gram.

Penanganan yang dilakukan BNN Kaltim ada beberapa kategori. Seperti upaya hard approach adalah dengan melakukan tindakan menggunakan hukum sesuai Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.

Lalu, upaya soft approach adalah dengan melakukan upaya rehabilitasi dan pencegahan terhadap penyalahguna narkoba yang ditengarai menjadi korban. Sedangkan upaya smart approach adalah bekerja sama dengan seluruh elemen masyarakat baik pemerintah maupun masyarakat.

Maka, penindakan tiap kasus juga disesuaikan dengan kondisi. Tak selalu dituntut dikurung jeruji besi. “Pada saat penindakan status pelaku yang diamankan di TKP (tempat kejadian perkara), belum tentu selalu menjadi tersangka. Bila pelaku yang ditangkap hanya sebagai pengguna atau korban penyalahguna narkoba, maka yang bersangkutan bisa direhabilitasi baik rawat inap maupun rawat jalan di balai rehabilitasi,” jelas Wisnu.

Namun, bila pelaku yang ditangkap adalah seorang bandar, pengedar, perantara, dan kurir, maka yang bersangkutan akan dijadikan tersangka dan menjalani proses hukum.

Termasuk bila pelaku yang ditangkap adalah seorang bandar, pengedar, perantara, dan kurir juga sebagai pengguna serta penyalahguna, maka yang bersangkutan saat menjalani hukuman kurungan bisa direhabilitasi di dalam lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan (rutan).

REHABILITASI DI BALIK JERUJI

Saking banyaknya kasus narkoba, Kaltim sudah punya Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Narkotika Klas IIA Samarinda. Kepala Divisi Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Kaltim Jumadi mengatakan, mayoritas penghuni lapas dan rutan di Kaltim adalah warga binaan pemasyarakatan (WBP) karena kasus narkotika. “Misalnya 20 orang dibawa ke rutan, 15-nya mungkin ya kasus narkoba,” beber Jumadi.

Sedangkan, saat ini kondisi lapas dan rutan sudah overload, bahkan ada yang mencapai 300 persen. Untuk itu, WBP di rutan maupun lapas tidak hanya menghabiskan masa hukuman, tetapi juga ada yang menjalani program rehabilitasi.

Seperti yang tengah berjalan di beberapa instansi. Salah satunya, tentu saja Lapas Narkotika Klas IIA Samarinda. Kaltim Post pun menyambangi lapas itu. Kepala Lapas Narkotika Klas IIA Samarinda Hidayat menjelaskan, lapas sudah overload. Total kapasitas hanya 450 orang. Namun, kondisinya sekarang diisi 1.279 WBP. Dengan 13 orang di antaranya, menerima hukuman seumur hidup. Semua WBP di lapas itu merupakan kasus tangkapan di Kaltim.

“Kami sekarang juga punya program rehabilitasi sosial plus. Tetapi, program pembinaan juga sudah kami lakukan untuk WBP lain,” beber Hidayat.

Tahun ini, ada 300 WBP menjadi peserta program rehabilitasi sosial plus. Nah, plusnya adalah pesantren khusus yang bekerja sama dengan pondok pesantren dan Kementerian Agama untuk peningkatan spiritual. Itu dilakukan sembari pelaksanaan program rehabilitasi dari Yayasan Sekata dan BNN.

“Kami merasa, sisi rohani yang paling pas untuk membuat mereka merasa terisi. Dengan begitu, mereka tidak menjadi pengguna lagi. Kalau yang non-Islam, juga ada pembinaan rohaninya,” ucap dia.

Peserta rehabilitasi sosial plus itu pun ditempatkan di blok khusus. Mereka yang dipilih menjadi peserta berdasarkan assessment dari BNN dan Yayasan Sekata. Jadi, pada rehabilitasi sosial, mereka akan diberikan layanan konseling yang intens. Dengan begitu, mereka bisa benar- benar lepas dari zat adiktif. Sebab, salah satu tantangan besar untuk lepas dari narkotika adalah mendapatkan niat yang kuat. “Golnya ya, masuk jadi narapidana, bebas jadi santri,” harap dia. (rom/k15/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya