Fokus utama perawatan paliatif adalah meningkatkan kualitas hidup bagi mereka yang menderita penyakit kronis. Karena itulah, bagi Prof Sun, seorang dokter dalam bekerja tidak boleh hanya mengandalkan kepandaian atau akal, tetapi juga harus menggunakan hati.
”Paliatif bisa dipelajari sambil praktik karena tidak ada di dalam pelajaran kedokteran,” tuturnya.
Dia menyadari bahwa tidak mudah dan membutuhkan waktu lama melihat seluruh unsur pada pasien. Mulai kondisi fisik (tampak mata), hubungan antara pasien dan keluarga, hingga kondisi rumah, pendidikan, dan lingkungannya.
”Di sinilah yang dinamakan ilmu kedokteran paliatif,” ujar laki-laki yang kisahnya ditulis dalam buku berjudul Sepenggal Kisah Bapak Paliatif Indonesia pada 2017 itu.
Penggerak lain ketertarikannya terhadap pengobatan paliatif adalah kunjungannya ke Bombay (kini Mumbai), India, pada 1991. Dalam kunjungan tersebut, dia melihat pasien kanker yang dirawat di rumah sakit terlihat nyaman.
Prof Sun bersama istrinya pun belajar tentang ilmu paliatif lebih dalam dengan mengambil pendidikan postgraduate tentang pengobatan paliatif di Edith Cowan University, Australia. Lalu, pada 19 Februari 1992, didirikan Pusat Pengembangan Paliatif dan Bebas Nyeri di RSUD dr Soetomo-Fakultas Kedokteran Unair. Poli perawatan paliatif di RSUD dr Soetomo itu ditetapkan sebagai proyek panduan perawatan paliatif di Indonesia dengan SK (Surat Keputusan) Menkes No 0588/RSKS/SK/VI/1992.
Dibutuhkan kerja keras selama Prof Sun memberikan pelayanan paliatif. Bahkan, Prof Sun kerap memberikan pelayanan home care. Dia mendatangi rumah-rumah pasien yang berada di gang-gang sempit.
Banyak tantangan yang dihadapinya. Namun, itu tak pernah mematahkan semangatnya. Hingga akhirnya, Prof Sun dikukuhkan sebagai Bapak Paliatif Indonesia oleh Masyarakat Paliatif Indonesia berdasar SK No 03/SK/MPIP/II/2012 pada Februari 2012.
Sementara itu, atas dasar rasa kemanusiaan dan kepedulian terhadap pasien-pasien paliatif, drg Lizza Christina Hendriadi mendirikan Yayasan Paliatif Surabaya sebagai bentuk dukungan kepada Prof Sun. ”Kami memang saling kenal meski bukan yang sangat dekat,” ungkapnya.
Para relawan paliatif yang tergabung dalam yayasan tersebut rutin mengunjungi para pasien yang kondisinya sulit agar bisa langsung datang ke rumah sakit. ”Untuk yang datang home care ini, tentunya ada dokter, perawat, fisioterapis, hingga pemuka agama,” papar Lizza.
Setelah pelayanan paliatif mulai berkembang di Indonesia, Prof Sun masih tetap sering pergi ke luar negeri untuk melihat penerapannya. Di antaranya, ke Amerika Serikat, Australia, dan Jepang.
”Saya ingin menyerap ilmu dari negara lain. Bahkan, orang Amerika mengakui bahwa pelayanan paliatif yang saya lakukan lebih baik daripada di negaranya,” ujar Prof Sun. (*/c14/ttg)
Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos
BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS https://www.myedisi.com/cenderawasihpos