“Saya belajar jujur dari mama. Tapi mempertahankan itu di luar rumah jauh lebih sulit. Film ini saya buat untuk membuka ruang bicara,” ujar Natias dalam diskusi usai pemutaran.
Sementara itu, produsernya, Theo Rumansara, menyebut bahwa proyek ini adalah bentuk kejujuran kolektif bukan hanya dalam cerita, tapi dalam proses pembuatannya. Diskusi malam itu mengalir ringan, diiringi tawa penonton setelah menyimak materi stand-up comedy dari Julfix, komika asal Stand Up Indo Jayapura. Julfix membawakan kisah-kisah korupsi dalam keseharian, dengan gaya satire khas Papua yang menggoda tawa sekaligus mengundang refleksi.
Panggung berikutnya diisi dengan battle dance, dimulai dari anak-anak, remaja, hingga dewasa. Di sinilah terlihat bahwa perlawanan terhadap ketidakadilan bisa muncul dari gerakan tubuh. Tarian bukan hanya hiburan, tapi bentuk keberanian.
Semangat ini diperkuat dengan penampilan khusus dari FDBI Papua (Federasi DanceSport dan Breaking Indonesia) yang tampil memukau dalam sesi persiapan mereka menuju Kejuaraan Nasional di Mandalika, NTB, pada 27 Juli 2025.
“Panggung ini jadi latihan dan pembuktian bahwa anak-anak Papua bisa tampil sejajar,” ujar salah satu pelatih FDBI Papua.
Di tempat yang sama Ketua IAM, Muhamad Ilham Mustain Murda, yang juga alumni ACFFEST, menyebut bahwa pengalaman di festival tahun lalu memberinya perspektif baru soal sinema dan nilai.
“ACFFEST bukan hanya soal karya, tapi bagaimana kita membawa pesan yang membentuk,” ucapnya.
Lebih lanjut Ilham mengatakan tujuan kegiatan ini untuk meningkatkan kesadaran publik terhadap bahaya korupsi, terutama di Papua. “Festival ini menampilkan sejumlah film pendek yang mengeksplorasi tema jujur, peduli, mandiri, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, sederhana, berani, dan adil,” kata Ilham.