“Bikin perahu itu tidak bisa asal-asalan. Nyawa orang yang melaut tergantung dari kekuatan kayu dan bentuk perahunya,” ujarnya pelan, sambil mengelus permukaan kayu gorok yang sedang ia haluskan, Senin (20/10).
Bagi Bandu, setiap perahu bukan sekadar alat mencari ikan, melainkan warisan pengetahuan nenek moyang. Salah satu rahasia yang tak banyak diketahui orang adalah penangkal petir tradisional dari serabut pohon aren.
“Kalau di laut ada petir, kami percaya serabut ijuk warna hitam dari pohon aren bisa jadi pelindung. Itu tradisi dari kampung. Ijuk dipasang di ujung tiang perahu supaya petir tidak menyambar,” ceritanya. Keyakinan itu sudah diwariskan turun-temurun, bukan sekadar mitos, tapi juga simbol doa keselamatan para nelayan yang menggantungkan hidup di laut lepas.
Untuk membuat satu perahu ukuran 14 meter, lebat 1 meter 80 CM, kedalaman 1 meter 40 CM, Bandu butuh waktu dua bulan. Ia biasanya ditemani satu hingga empat orang pekerja. Bahan kayu didatangkan dari Sarmi atau Senggi, daerah yang masih menyimpan hutan lebat. Jenis kayu yang digunakan adalah kayu gorok ringan atau orang lokal Papua menyebutkan kayu pinang karena, kuat, ringan, dan tahan air.
Untuk harga perahunya juga berfariasi. Ada Satu perahu berharga sekitar Rp 80 juta, dan jika pemesan menginginkan mesin terpasang, bisa mencapai Rp 200–250 juta. Namun ada juga ukuran besar yang dibanderol dengan harga hampir Rp 1 miliar. Meski tampak sederhana, hasil kerjanya menjadi tumpuan banyak nelayan yang menggantungkan rezeki di laut Jayapura hingga perbatasan Papua Nugini.
“Setiap perahu saya buat seimbang, kuat, dan bisa tahan sampai 15 tahun. Dan dilakukan perawatan empat atau lima tahun sekali. Biasanya nelayan melaut sampai empat hari empat malam, jadi semua harus dihitung dengan teliti,” katanya.