Site icon Cenderawasih Pos

Eksplorasi tentang Gamelan di Pameran Dunia Paris 1889

Angela Lopez-Lara jatuh hati pada budaya Sunda, Jawa, dan Bali sejak 2010

Angela Lopez-Lara, Mahasiswi PhD Musikologi Universitas Complutense Madrid

Angela Lopez-Lara jatuh hati pada budaya Sunda, Jawa, dan Bali sejak 2010. Perempuan asal Spanyol itu pun melakukan petualangan keliling ke berbagai tempat untuk belajar tarian dan vokal daerah. Ia juga melakukan penelitian tentang gamelan yang ada di Benua Eropa pada abad ke-19.

ADINDA AZMARANI, Surabaya

WAKTU menunjukkan pukul 18.00 WIB, Jumat (13/9), ketika Angela menerima panggilan video meeting dari Jawa Pos. Wajahnya tampak segar dan bersemangat. Di Albacete, Spanyol Timur, kampung halamannya, hari masih siang. ”Sedang terik-teriknya,” ujar Angela. Angela baru saja pulang setelah dua hari berada di Surakarta. ”Rencananya tiga bulan dulu di sini, lalu balik lagi ke Indonesia,” ujarnya dalam bahasa Indonesia yang cukup fasih.

Tak perlu heran, perempuan yang lahir dan besar di Spanyol itu menghabiskan 15 tahun terakhirnya di Indonesia. Dia mengaku kali pertama datang ke Jakarta pada 2008.Dia berkeliling dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ), lalu singgah ke Bandung, Jogjakarta, Denpasar, dan Surakarta. Dari perjalanan itu, Angela mengetahui informasi perihal beasiswa di ISI Yogyakarta. Angela pun tertarik mencoba. Perempuan yang lulus sebagai pianis klasik dari Conservatorio Superior ”Joaquin Rodrigo” (Valencia) dan mengambil spesialisasi dalam pertunjukan piano di Musikeon (Valencia) itu rupanya lolos.

Peraih gelar magister riset musik dari Universitas Internasional Valencia itu pun memulai petualangan panjangnya dalam budaya Indonesia pada 2010. Perempuan yang saat ini sedang menempuh gelar PhD di bidang musikologi di Universitas Complutense Madrid tersebut memilih jurusan tari. Tidak hanya menimba ilmu dari kampus, Angela juga datang ke banyak sanggar di Jawa, Sunda, dan Bali.

Misalnya ke Nuraini, dalang Topeng Losari di Cirebon. Dia kemudian belajar menari Bali dan menetap di kawasan Kesiman, Denpasar. Tarian Nusantara menambah khazanah dalam diri Angela.Belajar tari turut mendukung rasa penasarannya terhadap gamelan. Angela memang menaruh perhatian khusus pada alat musik gamelan.

Ketertarikan itu muncul dan terus tumbuh ketika dia banyak membaca buku dan penelitian tentang musik saat masih di Conservatorio. Dia mengetahui bahwa gamelan memengaruhi musikalitas Claude Debussy dan beberapa komposer Prancis lainnya. Hingga bagaimana pengaruhnya terhadap musik Barat. ”Semakin lama saya belajar, semakin ingin terus belajar. Nggak ada habisnya,” katanya. Keingintahuan yang besar itu membawanya untuk meneliti lebih lanjut.

Bersama Luca Chiantore, Angela menulis sebuah makalah bertajuk Sundanese Reverberances: Untangling Contradictions about the Gamelan Spectacle during the 1889 Paris World’s Fair. Dia mencoba melacak gamelan yang dipamerkan dalam pameran abad ke-19 lalu di Paris. Selama ini diketahui bahwa gamelan itu adalah Sari Oneng yang dimainkan oleh para pekerja perkebunan teh Parakan Salak.Menggali informasi tentang kejadian dua abad lalu tentu tak mudah.

Angela mencari berbagai macam sumber seperti tulisan-tulisan jadul, artikel koran, dan beberapa arsip di Mangkunegaran. Dia lalu membandingkannya dengan proses musik yang ada di Sunda saat ini.Sedikit petunjuk mengarah ke petunjuk berikutnya. Seolah seperti mencari harta karun. Salah satu artikel koran memberinya arah untuk ke sebuah museum di Jerman. Ternyata benar, gamelan itu masih tersimpan di sana. ”Saya ke sana membuktikan bahwa gamelannya di situ, sangat persis dengan apa yang digambarkan di expo di Paris,” ungkapnya.

Kebenaran itu diperkuat dengan adanya berbagai bukti. Misalnya katalog yang menjelaskan bagaimana gamelan itu masuk ke museum tersebut pada 1989. Lengkap dengan keterangan Gustav Mundt sebagai donaturnya. Mengejutkannya, bukan Sari Oneng yang ada di sana, melainkan bonang kecil. ”Gamelan Sari Oneng tidak ada hubungan dengan pameran 1889,” ujarnya.

Boneng kecil itu sama seperti yang dilukis di salah satu panduan pameran: Huard, Livre d’or de l’Exposition 1889. Serta, terdapat beberapa lukisan lainnya yang menunjukkan hasil yang sama. ”Sebenarnya lukisan ini terkenal, makanya saya heran kenapa orang-orang masih bilang Sari Oneng Parakan Salak,” tuturnya seraya menunjukkan sebuah lukisan seorang pria sedang memainkan boneng tersebut.

Angela menambahkan, bukti lain berupa koran-koran Belanda edisi Maret–April 1889. Di sana tertulis bahwa Mundt akan meminjam gamelannya selama enam bulan sebelum memberikan ke museum di Jerman. ”Pameran itu selesai akhir November. Jadi, satu bulan kemudian, gamelan masuk museumnya,” katanya.Selain bentuk fisik Sari Oneng berbeda dengan yang dilukis pada 1889, gamelan Sari Oneng itu pelog. Sedangkan gamelan yang dipamerkan pada 1889, sesuai dengan transkripsi musik tahun itu, adalah slendro. Angela menyimpulkan, gamelan tersebut dibawa dari Parakan Salak untuk mempromosikan teh di pameran dunia 1889 oleh Mundt. ”Tapi, alatnya bukan Sari Oneng,” tuturnya. (*/c17/dio)

Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

Exit mobile version